Mengenal Asal Usul Nama Kampung Baduy

beritabernas.com – Aku turun ke Terminal Ciboleger, ditemani Sarpin. Dia adalah Kepala Urusan Pemerintahan Desa Kanekes, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. 

Aku berjalan tanpa membawa beban. Hanya menenteng tas plastik berisi sepotong pakaian. Maka langkahku ringan saja. Apalagi jalan dari Dusun Gajeboh ke Terminal Ciboleger menurun. Sangat berbeda pada waktu berangkat dari Dusun Cisampaka ke Dusun Gejeboh, jalan menanjak terus. Setiap langkah adalah helaan nafas yang panjang. 

“Nanti pulang lewat jalan lain aja, langsung ke Terminal Ciboleger, lebih ringan. Tidak lagi menanjak seperti ini,” ujar Sarpin waktu aku dan dia berangkat dari Cisampaka menuju Gajeboh.

Aku tersenyum gembira. Ada jalan lain rupanya. Aku tidak khawatir lagi jatuh pingsan seperti saat perjalanan naik dari Terminal Ciboleger ke Dusun Cisampaka, kemarin sore. 

Jembatan bambu di Dusun Gajeboh, batas akhir Baduy Luar, menjadi ikon wisata kampung Badui. Foto: Anton Sumarjana

Melewati sisi bukit kecil yang tertutup rimbunan pepohonan, Sarpin menceritakan asal usul nama Badui. Awalnya, aku memancing dengan pertanyaan: benarkah orang-orang Badui tidak suka disebut dengan nama Baduy? Benarkah mereka lebih suka disebut orang Kanekes, sesuai nama desa tempat bermukim komunitas masyarakat Baduy?

Sarpin lalu menunjuk sisi kiri kami berjalan. Aku berhenti lalu memandangi bukit kecil itu. “Ini adalah gunung Baduy. Dari nama gunung inilah orang-orang Belanda tempo doeloe menyebut masyarakat yang tinggal di sekitar gunung ini dengan sebutan orang Badui,” jelas Sarpin.

“Oh, seperti itu, baru tahu saya,” sahutku. 

Ternyata sebutan Baduy itu dari mulut orang-orang Belanda pada masa penjajahan yang lalu. (Keberadaan orang-orang Belanda di Lebak, mengingatkan saya pada novel yang sangat terkenal, karya orang Belanda bernama Douwes Dekker alias Multatuli: Saijah dan Adinda).

Deretan rumah berdinding anyaman bambu beratap daun rumbia, ciri khas rumah adat Baduy Foto: Anton Sumarjana

Yang disebut Sarpin sebagai gunung Badui, bukanlah gundukan tanah yang tinggi menjulang. Gunung Baduy itu bukit kecil, bahkan puncak dan lerengnya tidak tampak, tertimbun semak dan rimbun pepohonan.

Yak, kami tiba di Terminal Ciboleger. Lahan parkir yang ada tampak penuh dengan mobil para pengunjung. Ini akhir pekan, puncak dari keramaian pengunjung. Tentu ini berdampak positif bagi kehidupan ekonomi masyarakat Badui di Desa Kanekes.

Aku mampir ke kantor Desa Kanekes. Berkumpulah banyak lelaki Badui dengan pakaian serba hitam dan ikat kepala hitam. Mereka dari Badui luar yang barusan pulang dari sebo di pendopo Kabupaten Lebak.

Sarpin menunjukkan gedung baru di samping kantor desa. Rupanya esok hari akan ada peresmian museum Baduy. Bangunan bakal museum itu telah tertata rapi, siap diresmikan. Kata Sarpin, tempat ini akan menjadi show room dan penyimpanan semua hasil kerajinan tangan dan segala macam benda etnografi khas Baduy. Semoga menjadi daya tarik bari bagi wisata di Baduy ini.

Di situlah akhir dari kunjunganku selama dua hari di Baduy. Dengan jalur Terminal Ciboleger ke Dusun Cisampaka, lanjut ke Dusun Gajeboh. Di Gajeboh inilah akhir kawasan Baduy luar. Di situ para tamu budaya di Baduy bermain air sungai yang jernih. Dan melintasi serta berfoto ria di jembatan bambu yang menjadi ikon kawasan Baduy.

BACA JUGA:

Aku mengenal Sarpin dan menantunya Teh Santi, serta dua cucu cantik Nok Marnah dan Nok Mila. Tapi yang membawaku ke komunitas Badui ini adalah Ambu Emmy, rekan seperjuangan di bidang kehumasan di Jakarta.

Hari pertama, Sabtu, kami tiba di Terminal Ciboleger, perhentian terakhir untuk masuk ke kawasan Baduy. Semua kendaraan parkir di terminal ini. Kami tiba sudah hampir senja, sekitar pukul 17. Teh Santi telah menunggu sedari siang hari. Kami pun segera naik tanpa beristirahat terlebih dulu. Kami tak mau nanti kemalaman di hutan.

Melewati jalur masuk perkampungan Baduy, kami mencatatkan diri di buku tamu. Seorang pemuda yang menurutku good looking menyambut dan mempersilakan kami untuk mengisi buku tamu itu. Setelah selesai urusan administrasi, kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan pelan melewati jalan masuk. 

Di pertigaan terdapat tugu selamat datang. Seperti pengunjung lainnya, kami berhenti dan berfoto. Di sepanjang jalur masuk itu, terdapat kios-kios yang menjual aneka suvenir khas Baduy, seperti kain, caping lebar, berbagai ragam kalung dan gelang, serta gantungan kunci. Ada juga gula aren khas Baduy. 

Kami terus berjalan. Teh Santi dan dua temannya di paling depan, menyusul Ambu Emmy dan aku yang paling belakang. 

Kampung pertama tersinggahi. Tampak rumah-rumah berdinding anyaman bambu yang rapi berderet dan berjejer. Rumah beratap pelepah daun pohon aren itulah khas rumah Baduy. Kami tidak berhenti. Lanjut ke jalan setapak yang kian menanjak. Mulai senja. Satwa malam berkerik, riuh meramaikan kesunyian hutan.

Di puncak suatu tanjakan, di bawah rumpun bambu, tampak sebuah batu besar di tepi jalan. Beberapa langkah lagi di depanku. Aaah, lega bisa duduk sebentar di batu itu, pikirku.

Sesaat menjangkau batu besar itu aku sempat menguap. Aku lalu duduk. Mereka terus berjalan. Aku duduk sebentar lalu berdiri hendak berjalan lagi. Namun entah kenapa, aku kembali duduk, lalu lunglai. Aku tidak tahu apa yang selanjutnya terjadi. 

Sekitar 15 menit kemudian, aku membuka mata. Betapa kagetnya, di depanku tampak beberapa orang lelaki berpakaian serba hitam menatapku. Lalu kulihat Ambu Emmy dan Teh Santi juga memandangku.”Kamu ditandu ya. Tadi kamu pingsan,” ujar Ambu Emmy.

Duh betapa malunya aku. Dalam perjalanan itu akulah satu-satunya lelaki, dan pingsan di tengah perjalanan. “Pas aku nengok ke belakang, kulihat kamu terkulai,” ujar Ambu Emmy lagi. 

Rupanya dia tidak panik. Dia minta Teh Santi segera ke dusun terdekat mencari bantuan para lelaki. Ya, di depanku dua lelaki Baduy siap menanduku. Mereka menyiapkan dua potong bambu dan sarung. “Terima kasih. Aku jalan saja. Aku kuat,” tuturku. 

Tugu selamat datang di pintu gerbang jalan masuk perkampungan Baduy. Foto: Anton Sumarjana

Seorang lelaki memberiku sebotol air. Dia komat kamit lalu memasukkan sebutir buah kecil entah apa namanya,  ke dalam botol itu. Aku diminta meminumnya. Dan segera jalan sebelum sesaat lagi hari berganti malam. Ini di tengah hutan. Tidak baik bermalam di hutan. Kami berjalan lagi. Aku dipapah kiri kanan oleh dua lelaki itu. 

Sampailah kami di Dusun Cisampaka. Langsung aku duduk di balai rumah Teh Santi. Beberapa ibu langsung sibuk merawatku. Ada yang menberiku teh hangat dan yang mengeroki. Aku diminta tiduran di balai itu. Tapi aku ingin duduk saja sambil minum teh hangat. Aku berpikir, jika aku berbaring pasti akan tidur lelap, dan mungkin tidak akan pernah bangun lagi. 

Apa kata dunia? Begitulah kejadiannya. Pertama kali aku berkunjung ke Badui langsung bikin heboh. Kabar aku pingsan di tengah hutan dalam sekejap beredar dari mulut ke mulut. 

Aku merenungkannya.  Begini toh cara Tuhan memperkenalkan aku pada komunitas masyarakat Baduy. Belum juga aku berjumpa mereka di permukiman, aku sudah menikmati kebaikan dan keluhuran budi masyarakat di sana. (Anton Sumarjana)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *