Oleh: Sesa Malinda, Mahasiswi Universitas Cendekia Mitra Indonesia
beritabernas.com – Kita hidup di negara yang katanya menjunjung keadilan, tetapi ketika perempuan berbicara tentang kekerasan yang dialami, suara mereka sering kali dianggap angin lalu. Lebih menyakitkan lagi, ketika mereka berani bersuara, justru dituduh menyebar rumor, bukan kebenaran. Padahal, yang mereka bawa bukan gosip, tetapi trauma yang tidak dapat dihapus begitu saja.
Pada Mei 1998, Indonesia mengalami salah satu bab tergelap dalam sejarahnya. Setidaknya 168 orang dibunuh. Banyak perempuan diperkosa. Sudah ada tim pencari fakta, sudah ada laporan resmi, sudah ada suara dari para penyintas sendiri. Namun hari ini, lebih dari dua dekade kemudian, masih ada tokoh publik yang dengan enteng menyebut tragedi tersebut tidak terbukti ada pemerkosaan.
Ini bukan sekadar tentang masa lalu. Ini tentang sekarang. Karena ketika kekerasan seksual dianggap dapat diperdebatkan, ketika trauma perempuan harus “dibuktikan” dulu sebelum dipercaya, maka kita sedang membuka pintu bagi kekerasan itu untuk terjadi lagi.
Mengingat Mei 1998 bukan soal membuka luka lama, tetapi soal menolak lupa. Kita tidak dapat membiarkan rasa sakit perempuan dikubur oleh kekuasaan. Kita memiliki tanggung jawab untuk mendengarkan, percaya, dan bertindak.
Kekerasan seksual 1998 adalah fakta, bukan opini
Mari kita luruskan satu hal sejak awal: pemerkosaan massal tahun 1998 itu benar-benar terjadi. Ini bukan cerita yang dibuat-buat, bukan rumor politik dan jelas bukan sekadar “isu yang belum terbukti.” Ini adalah kenyataan kelam yang tercatat dalam sejarah Indonesia, dialami oleh korban, dicatat oleh tim pencari fakta dan dikonfirmasi oleh lembaga resmi seperti Komnas Perempuan.
Tapi yang menyedihkan, bahkan setelah 26 tahun berlalu, masih ada tokoh publik yang dengan enteng berkata, itu tidak ada buktinya. Pernyataan seperti ini bukan hanya menyakitkan tapi ini berbahaya. Ia menghapus keberanian para penyintas yang sudah bersuara dengan segenap luka dan risiko. Ia menyepelekan kerja keras tim investigasi yang menyisir bukti satu per satu di tengah kekacauan dan ketakutan.
Memangnya bukti seperti apa yang mereka butuhkan agar percaya? Video rekaman? Bukti forensik yang mustahil dikumpulkan saat negara sedang terbakar? Atau mungkin, mereka hanya ingin percaya bila yang berbicara adalah laki-laki berpangkat, bukan perempuan yang berteriak sambil menahan trauma?
Menyebut pemerkosaan 1998 sebagai “rumor” bukan hanya bentuk pengingkaran sejarah, tapi itu juga bentuk kekerasan baru. Kekerasan yang tidak lagi berupa fisik, tapi simbolik: menyudutkan korban, membungkam suara mereka, dan membuat masyarakat lupa bahwa keadilan belum pernah diberikan.
BACA JUGA:
- Mimpi Perempuan, Milik Perempuan
- Ketangguhan Perempuan Indonesia di Era Modern
- Kesenjangan Moral dan Keadilan Sosial
- Pemicu Pernikahan Dini di Kabupaten Ketapang dan Dampak Sosialnya
Jangan salah. Fakta itu ada. Ada laporan Komnas Perempuan. Ada investigasi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). Ada arsip media. Ada dokumentasi independen dari kelompok masyarakat sipil. Dan yang paling penting: ada suara para penyintas. Apa mereka semua harus diam dulu agar dianggap “netral”? Atau apakah kita hanya percaya pada data yang tidak mengguncang kenyamanan?
Bila hari ini kita masih menyebut kekerasan itu sebagai “isu abu-abu”, maka sebenarnya yang sedang kabur bukan datanya, tetapi keberanian kita untuk mengakui kenyataan. Dan keberanian itu yang justru dibutuhkan sekarang: untuk berdiri di sisi korban, untuk melawan penghapusan sejarah dan untuk berkata lantang-pemerkosaan 1998 bukan rumor. Itu kejahatan. Dan kita tidak akan diam.
Berani bicara soal pemerkosaan di Indonesia bukan hanya soal mengulang trauma tetapi juga soal siap dihujat, diragukan, bahkan disalahkan. Penyintas yang angkat suara jarang disambut dengan empati. Yang lebih sering mereka terima adalah komentar sinis seperti, kenapa baru ngomong sekarang? atau pakai bukti dulu dong, jangan asal nuduh.
Seolah-olah penderitaan seseorang dapat disusun rapi seperti laporan keuangan. Seolah-olah trauma itu dapat dijadwal, dicocokkan waktunya dan diukur validitasnya dari reaksi publik. Padahal, hanya yang pernah mengalami sendiri yang tahu: berbicara soal kekerasan seksual, apalagi pemerkosaan massal di tengah konflik dan kekacauan, itu butuh keberanian luar biasa.
Dan mari jujur: kita hidup di masyarakat yang masih menganggap perempuan harus “menjaga diri”, sehingga ketika terjadi pemerkosaan, pertanyaan pertama bukan aApa yang bisa kita lakukan untuk membantu?, tapi dia pakai baju apa? atau ngapain keluar malam-malam?
Cara berpikir seperti ini bukan hanya kejam, tetapi juga mengalihkan tanggung jawab dari pelaku ke korban. Dan di kasus 1998, penyintas tak hanya disalahkan, tetapi juga dilupakan. Padahal mereka bukan hanya korban; mereka adalah saksi sejarah. Namun bukannya diberi ruang untuk bicara, mereka justru dibungkam oleh negara yang gagal melindungi dan sekarang gagal mengakui.
Lebih ironis lagi, ketika penyintas berani muncul, justru yang diragukan adalah niat mereka. Mau cari perhatian? Main politik? Serius? Mereka bicara dengan membawa beban puluhan tahun, bukan karena ingin jadi viral, tetapi karena ingin kebenaran. Ingin keadilan. Ingin kita mendengar dan percaya bahwa yang mereka alami itu nyata.
Selama kita masih memaksa korban untuk “membuktikan” trauma mereka agar dapat dipercaya, kita sedang menciptakan budaya diam. Budaya di mana lebih baik bungkam daripada diserang balik.
Jadi, saat kita berbicara tentang mendukung penyintas, itu bukan hanya soal memberikan simpati di media sosial. Itu soal percaya pada suara mereka, menghormati luka mereka dan berhenti menghakimi dari balik layar. Karena selama penyintas harus membuktikan kemanusiaan mereka, maka kita semua belum benar-benar berpihak pada keadilan.
Penyangkalan oleh pejabat publik itu berbahaya
Ada hal yang jauh lebih menyakitkan daripada luka itu sendiri yaitu saat luka itu dianggap tidak pernah ada. Lebih parah lagi, ketika yang mengatakan itu adalah orang yang memiliki kekuasaan. Pejabat publik, apalagi yang duduk di kursi kekuasaan, memiliki tanggung jawab moral dan politik yang besar. Namun ketika mereka memilih untuk menyangkal kekerasan yang terjadi, apalagi menyebutnya sebagai “rumor”, maka mereka bukan hanya gagal menjalankan tugas, mereka memperpanjang penderitaan.
Kita tidak berbicara soal perbedaan pendapat di acara debat. Ini bukan soal suka atau tidak suka. Ini soal nyawa yang hilang, perempuan yang dilecehkan secara brutal, dan trauma yang diwariskan lintas generasi. Ketika seorang pejabat mengatakan, tidak ada buktinya, itu bukan hanya bentuk penghapusan sejarah. Itu juga pesan berbahaya bahwa negara tidak berpihak pada korban.
Kita tahu, di negara ini, suara pejabat dapat lebih keras dari kebenaran itu sendiri. Saat mereka menyangkal, sebagian masyarakat ikut menyangkal. Saat mereka diam, publik ikut bungkam. Dan ini bukan pertama kali. Sejarah kita penuh dengan peristiwa kelam yang coba dikaburkan dengan narasi resmi.
Tetapi mari kita renungkan: apa yang sebenarnya dipertaruhkan ketika seorang pejabat memilih untuk membela kebenaran? Reputasi? Posisi politik? Atau sekadar kenyamanan pribadi? Sementara itu, penyintas mempertaruhkan segalanya hanya untuk didengar.
Sikap diam atau menyangkal dari atas dapat menciptakan efek domino yang berbahaya. Ia memberi sinyal bahwa kekerasan dapat diabaikan. Bahwa pemerkosaan mampu menjadi wacana yang diperdebatkan. Bahwa rasa sakit perempuan dapat dianggap “tidak sah” bila tidak cocok dengan agenda politik.
Itu sebabnya kita tidak dapat tinggal diam. Ketika pejabat publik menolak untuk mengakui kekerasan, kita harus berani bersuara. Karena bila mereka di atas tidak mampu menyebut kebenaran dengan jelas, maka kita di bawah harus melakukannya. Kita harus berbicara dengan tegas: kekerasan bukan isu politik. Itu kejahatan. Dan penyangkalan atasnya adalah bentuk kekerasan baru.
Banyak orang bilang, sudahlah, itu kan sudah lama terjadi. Jangan diungkit-ungkit terus. Namun justru kalimat seperti itulah yang membuat luka sejarah tidak pernah benar-benar sembuh. Karena yang tidak diselesaikan, akan terus berulang. Dan kita bukan sedang membicarakan masa lalu yang antik. Kita bicara soal nyawa, soal tubuh perempuan, soal negara yang gagal melindungi warganya.
Jika kita tidak ingin mengingat tragedi 1998, apa artinya itu bagi anak-anak perempuan hari ini? Bahwa negara akan diam lagi bila suatu hari mereka mengalami hal yang sama? Bahwa suara mereka juga akan dianggap “tidak cukup bukti”? Bahwa trauma mereka dapat dinegosiasikan demi kepentingan politik?
Masa lalu itu penting bukan karena kita senang meratap, tetapi karena dari situlah kita belajar. Jika hari ini kita gagal mengajarkan di sekolah tentang apa yang terjadi di 1998, bila buku sejarah tetap dikemas setengah hati, bila media lebih sibuk mengejar sensasi daripada kebenaran, maka kita sedang membiarkan kekerasan memiliki ruang hidup baru.
Dan jangan salah, kekerasan seksual itu bukan soal waktu. Ia dapat terjadi kapan saja, pada siapa saja. Yang membuatnya terus berulang adalah sistem yang diam, masyarakat yang skeptis, dan pemimpin yang enggan menyebut kekerasan sebagai kekerasan.
Maka, menghadapi masa lalu adalah bentuk perlindungan untuk masa depan. Dengan mengingat, kita membangun kesadaran. Dengan mengakui, kita membuka jalan menuju keadilan. Dan dengan mengajarkan kebenaran, kita menyiapkan generasi yang tahu mana luka sejarah, mana propaganda.
Karena bila kita terus bungkam demi “kenyamanan”, maka sebenarnya kita sedang ikut membiarkan hal yang sama terjadi lagi, mungkin dalam bentuk yang berbeda, tetapi dengan rasa sakit yang sama. Dan setiap kali negara gagal mengingat, yang paling rugi adalah perempuan-perempuan hari ini dan esok.
Jadi mari ingat. Bukan untuk menyesali, tapi untuk mencegah. Agar generasi setelah kita tidak perlu mewarisi luka yang sama, hanya karena kita terlalu takut untuk menyebutnya.
Pada akhirnya, ini bukan hanya soal tragedi 1998. Ini soal siapa yang kita pilih untuk percaya, dan keberpihakan kita hari ini. Pemerkosaan bukan rumor. Luka bukan debat. Ketika pejabat menyangkal kekerasan yang jelas-jelas terjadi, itu bukan sekadar penghapusan sejarah, tetapi juga pengkhianatan terhadap masa depan.
Setiap kali penyintas dipaksa “membuktikan” traumanya, setiap kali pelaku dibiarkan bebas karena sistem enggan bersuara, kita sedang membuka jalan bagi kekerasan berikutnya. Dan itu artinya kita belum belajar apa-apa.
Maka tugas kita jelas: percaya pada penyintas, lawan revisi sejarah, dan sebut kekerasan dengan nama yang benar. Jika hari ini kita masih diam, jangan kaget bila besok anak-anak perempuan tumbuh dalam dunia yang sama brutalnya. Kita tidak boleh mengulang kegagalan yang sama. Ingat, dengar, dan bertindak. (*)
There is no ads to display, Please add some