Oleh: Laurensius Ndunggoma, Mahasiswa STPMD “APMD” Yogyakarta dan Ketua Himpunan Mahasiswa Pembangunan Masyarakat Desa (HMPMD)
beritabernas.com – Di tengah perkembangan modernisasi yang cepat dan dominasi hukum positif yang tertulis dan formal, keberadaan hukum adat kerap dipandang sebelah mata. Hukum adat seolah-olah hanya tinggal kenangan yang cocok dibahas dalam buku sejarah atau seminar budaya.
Banyak yang menganggapnya sekadar warisan romantis dari masa lalu, tidak lagi selaras dengan sistem hukum kekinian yang bertumpu pada regulasi dan institusi resmi. Padahal, realitas di lapangan menunjukkan bahwa hukum adat masih terus hidup, mengalir, dan menjadi pedoman bermakna bagi jutaan masyarakat di berbagai wilayah Indonesia. Negara yang menjunjung tinggi prinsip keadilan sosial justru sering mengesampingkan hukum adat dari pengakuan dan penerapan yang benar-benar nyata.
Hukum adat bukan hanya sekumpulan tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi, melainkan cerminan dari cara suatu masyarakat mengatur hubungan antarsesama, hubungan manusia dengan alam, hingga relasinya dengan Tuhan. Sistem ini lahir dari pengalaman hidup bersama, tumbuh dari konteks budaya setempat, dan tertanam kuat dalam nilai-nilai lokal yang dijalankan melalui rasa tanggung jawab kolektif. Di banyak tempat, keberadaan hukum adat bahkan lebih mampu menghadirkan keadilan dibandingkan hukum negara yang cenderung rigid dan penuh birokrasi.
Kita bisa melihat contohnya di berbagai penjuru Nusantara.seperti praktik sasi di Maluku yang menjaga kelestarian laut dan sumber daya alam, hingga pengaturan tanah ulayat di Papua yang memastikan tanah tetap menjadi hak komunitas, bukan sekadar barang yang bisa diperdagangkan.
Dalam masyarakat adat, pelanggaran bukan sekadar perbuatan yang melawan aturan, tetapi dianggap mengganggu keseimbangan antara manusia dan lingkungan. Karena itu, proses penyelesaiannya berfokus pada pemulihan harmoni, bukan hanya memberikan hukuman.
Dalam praktik hukum nasional, hukum adat seringkali hanya diperlakukan sebagai aturan tambahan yang dipakai ketika tidak ada ketentuan hukum positif yang mengatur. Padahal, Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya selama masih eksis dan selaras dengan perkembangan zaman.
Baca juga:
- Biarkan Cendrawasih Tetap Menari di Tanah Papua, Martabatnya Jangan Dibakar
- Pengaruh Modernisasi Terhadap Kedaulatan Budaya Suku Malind dari Perspektif Sosial
- Otonomi Khusus Papua Selatan, Antara Janji Kesejahteraan dan Realita Pengkhianatan
Namun, ketentuan “selama masih hidup” dan “sesuai perkembangan masyarakat” kerap ditafsirkan secara terbatas, bahkan dijadikan dalih untuk mengesampingkan keberlakuan hukum adat itu sendiri.
Negara lebih sering menaruh hukum adat di posisi yang lebih rendah.bukan sebagai landasan penting, melainkan hanya simbol budaya. Tak jarang kebijakan pembangunan, khususnya di sektor sumber daya alam, mengabaikan wilayah adat dan merusak tatanan lokal yang telah lama mengatur kepemilikan serta pemanfaatan tanah. Di Papua, Kalimantan, hingga Nusa Tenggara, izin tambang, perkebunan, hingga proyek infrastruktur kerap diberikan tanpa persetujuan masyarakat adat. Ketika mereka menolak, justru dianggap menentang hukum negara dan dikriminalisasi. Terjadilah ironi: hukum yang lahir dan hidup dalam masyarakat dianggap melawan hukum yang dibuat atas nama rakyat itu sendiri.
Ketika hukum adat dianggap sekadar budaya
Pemerintah kerap mengaburkan perbedaan antara hukum adat dan budaya, padahal keduanya tidak sepenuhnya sama. Budaya mencerminkan gaya hidup dan identitas suatu komunitas, sementara hukum adat adalah aturan yang mengatur bagaimana kehidupan itu dijalankan. Ketika hukum adat dipersempit hanya sebagai unsur budaya, kekuatan hukumnya di hadapan negara pun melemah. Ia hanya dihargai sebatas simbol, bukan sebagai dasar hukum yang wajib dihormati. Akibatnya, masyarakat adat kehilangan otoritas untuk mengatur serta mempertahankan hak-hak mereka sendiri.
Cara pandang seperti ini menjadikan hukum adat layaknya benda pameran di museum dilestarikan dalam ucapan, tetapi diabaikan dalam praktik. Padahal, masyarakat adat tidak hidup dalam ruang yang statis; mereka hidup di kebun, hutan, pesisir, dan kampung-kampung yang setiap hari bersinggungan dengan keputusan pemerintah dan kepentingan perusahaan.
Bagi mereka, tanah, air, dan hutan bukan sekadar aset ekonomi, melainkan sumber kehidupan yang harus dijaga. sekadar sumber ekonomi, tetapi bagian dari identitas dan spiritualitas. Ketika hukum adat dilemahkan, maka hilanglah mekanisme lokal yang menjaga keseimbangan sosial dan ekologis itu.
Dalam pandangan hukum adat, keadilan tidak ditentukan oleh banyaknya aturan tertulis atau besarnya denda yang dijatuhkan, melainkan oleh kembalinya keseimbangan dalam masyarakat. Tujuan penyelesaian konflik bukanlah memperberat hukuman, tetapi memulihkan hubungan yang terganggu. Contohnya, pada masyarakat Dayak, pelanggaran diselesaikan melalui ritual adat yang melibatkan seluruh komunitas untuk mengembalikan keharmonisan. Sementara di Bali, desa pakraman memiliki mekanisme sanksi sosial untuk memastikan kehidupan bersama tetap selaras.
Prinsip seperti musyawarah, pemulihan keseimbangan, serta penghormatan terhadap alam menjadi landasan utama keadilan dalam hukum adat. Namun, nilai-nilai ini seringkali tidak terwadahi oleh hukum negara yang cenderung formal, sempit, dan menitikberatkan pada pemidanaan. Negara seolah lupa bahwa keadilan bukan sekadar menjalankan aturan, tetapi juga memastikan martabat dan kemanusiaan tetap terjaga.
Hukum adat sebagai pilar kedaulatan lokal
Menghormati keberlakuan hukum adat berarti mengakui otoritas masyarakat lokal dalam mengatur dirinya sendiri. Namun, negara kerap memandang kata “kedaulatan” sebagai ancaman terhadap persatuan nasional. Padahal, pengakuan terhadap keberagaman nilai dan aturan lokal justru menjadi dasar kokohnya keutuhan Indonesia. Negeri ini tidak dibangun atas satu wajah yang seragam, melainkan bertumpu pada berbagai tradisi, bahasa, dan sistem hukum. Dengan menyingkirkan hukum adat, negara pada dasarnya menolak sebagian dari identitas bangsanya sendiri.
Kita membutuhkan perubahan perspektif: hukum adat bukan penghalang kemajuan, melainkan pilar penting bagi pembangunan yang adil dan inklusif. Dalam bidang agraria, misalnya, pengakuan atas hak tanah adat dapat mencegah konflik yang selama ini banyak merugikan masyarakat akar rumput. Di bidang lingkungan, prinsip-prinsip hukum adat telah terbukti lebih menjaga kelestarian alam. hutan, tanah, maupun perairan.dibandingkan regulasi formal yang sering berpihak kepada kepentingan modal besar.
Sudah waktunya negara berhenti memposisikan hukum adat seperti dongeng tradisional. Sekadar pengakuan tidak lagi memadai; perlu ada langkah nyata untuk memperkuat perannya. Pengakuan berarti menempatkannya sebagai bagian yang sah dalam sistem hukum nasional. Sementara pemberdayaan berarti memberi kewenangan yang nyata kepada masyarakat adat untuk mengelola sumber daya, menyelesaikan konflik, dan melindungi lingkungan sesuai mekanisme hukumnya sendiri.
Upaya ini membutuhkan keberanian politik: keberanian untuk meninggalkan pola pikir serba terpusat dan memberi ruang bagi hukum yang tumbuh dari realitas lokal. Lembaga-lembaga negara seperti Mahkamah Agung, Kementerian ATR/BPN, hingga pemerintah daerah harus bersinergi untuk memasukkan prinsip-prinsip hukum adat dalam perumusan kebijakan. Sistem pendidikan hukum pun perlu direformasi: tidak hanya berfokus pada perundang-undangan, tetapi juga menanamkan nilai-nilai lokal sebagai dasar etika dan keadilan.
Hukum adat sebenarnya tidak pernah mati. Ia hanya dibungkam oleh gemuruh hukum modern yang menjunjung tinggi dokumen dan prosedur, tetapi sering gagal memahami akar sosial masyarakat. Hukum adat tidak menghilang. ia sekadar tertutup oleh tumpukan aturan resmi yang tidak menengok realitas rakyat. Namun, di setiap kampung, di balik rimbun hutan, dalam setiap ritual adat, hukum itu tetap berdenyut. Ia menunjukkan bahwa masyarakat masih memiliki mekanisme sendiri untuk menjaga ketertiban, memulihkan keseimbangan, dan menegakkan keadilan.
Jika suatu saat negara mampu menyadari bahwa hukum bukan sekadar teks yang dingin, melainkan juga konteks yang hidup; bahwa keadilan tidak hanya lahir dari pasal-pasal, tetapi juga dari nilai-nilai luhur yang menjadi nadi kehidupan masyarakat, maka pada saat itulah hukum adat akan kembali ditempatkan pada martabatnya yang semestinya. Ia bukan cerita lama yang hanya pantas dikenang, bukan pula legenda yang dibiarkan pudar.
Hukum adat adalah realitas yang terus bekerja-menjaga hubungan manusia dengan sesamanya, menjaga alam tetap lestari, dan meneguhkan hubungan manusia dengan Sang Pencipta. Dengan mengakui dan memberdayakannya, kita tidak hanya merawat identitas bangsa, tetapi juga memastikan masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan bagi seluruh rakyat Indonesia. (*)
There is no ads to display, Please add some