Oleh: Sesa Malinda
beritabernas.com – Pernah tidak merasa seperti ada “aturan tidak tertulis” yang membatasi kita untuk menjadi diri sendiri dan mengejar mimpi? Seperti ada suara-suara di sekitar yang mengatakan, “Perempuan tuh harusnya gini…”, “Mimpi perempuan tuh ya seputar itu-itu aja…”. Jika pernah merasakan itu, berarti kita senasib!
Seringkali tanpa sadar, kita seperti “termakan” dengan standar-standar sosial yang sudah lama ada. Mulai dari peran di rumah tangga, pilihan karir, hingga urusan penampilan, sudah ada “pakem”nya. Padahal kita semua unik, memiliki potensi dan keinginan yang beda-beda. Kenapa kita harus dipaksa untuk masuk ke dalam cetakan yang sama?
Begitu sering kita mendengar atau bahkan merasakan sendiri bagaimana aturan-aturan lama tersebut seperti tanpa sadar mengekang para perempuan. Dari kecil saja sudah seperti di-setting, misalnya perempuan harus lemah lembut, urusan dapur, mengurus anak, intinya hal-hal yang berhubungan dengan urusan rumah. Sementara lelaki bebas ingin menjadi apa saja, berkarir setinggi langit, dan sepertinya tidak ada yang terlalu mempermasalahkan.
Sebenarnya ini bukan kodrat dari lahir. Hal ini lebih ke “konstruksi sosial”. Artinya, aturan-aturan ini dibuat dan dipercaya oleh masyarakat dari generasi ke generasi. Seperti sudah menjadi kebiasaan, padahal sebenarnya tidak ada di kitab suci mana pun yang mengatakan persis seperti itu. Ini lebih ke tradisi yang terus berulang-ulang dan akhirnya dianggap sebagai kebenaran mutlak.
Mari kita pikirkan, mengapa perempuan selalu didorong untuk menjadi ibu rumah tangga yang baik? Kenapa jika ada perempuan yang lebih memilih fokus pada karir, sering sekali dikatakan “tidak sayang anak” atau “lupa kodrat”? Padahal pada kenyataannya tidak seperti itu. Perempuan juga memiliki hak yang setara untuk mengejar apa yang dia inginkan, memiliki ambisi, memiliki mimpi setinggi-tingginya di bidang apa pun. Sama seperti laki-laki.
Belum lagi soal pilihan karir. Dulu seperti sudah ada “jalur aman” bagi perempuan, misalnya menjadi guru, perawat, atau sekretaris. Bagaikan sudah otomatis itu pilihannya. Padahal minat dan bakat perempuan sangat luas. Ada yang pandai di bidang teknologi, ada yang memiliki jiwa pemimpin di bisnis, ada juga yang berbakat menjadi ilmuwan. Tetapi karena sudah terlanjur ada stereotip itu, kadang perempuan menjadi tidak berani untuk keluar dari jalur “aman” itu, takut dikatai, takut tidak diterima.
Lalu, soal penampilan juga tidak kalah rumit. Ada standar kecantikan yang sepertinya tidak pernah berubah dari dulu. Harus putih, langsing, rambut panjang, intinya serba “sempurna” di mata masyarakat. Padahal cantik itu relatif, dan setiap perempuan memiliki keunikan masing-masing. Namun karena standar ini sudah terlalu kuat, banyak perempuan menjadi insecure, minder, bahkan sampai rela melakukan hal-hal ekstrem agar dapat “diterima”.
BACA JUGA:
- Ketangguhan Perempuan Indonesia di Era Modern
- Perempuan dan Kesehatan Mental: Mematahkan Stigma di DIY
- Makanan Bergizi Gratis, Antara Kenyataan dan Imajinasi
Sebenarnya, semua aturan-aturan ini serupa belenggu yang tidak terlihat. Ini membatasi gerak kita, menghambat potensi kita, dan membuat kita menjadi tidak bebas untuk menjadi diri sendiri dan mengejar mimpi kita. Kita menjadi seperti hidup dalam kotak yang sudah disediakan masyarakat, padahal kita memiliki kuncinya untuk membuka pintu dan keluar dari kotak tersebut.
Otonomi atas definisi diri
Ini berinti tentang kebebasan kita sebagai perempuan untuk menentukannya sendiri, “Siapa aku?” dan “Apa yang aku inginkan?”. Terkadang, dari luar banyak sekali yang “memberikan label” kepada kita. Kamu harusnya begini, kamu cocoknya begitu. Padahal yang paling tahu diri kita sendiri ya kita sendiri.
Bayangkan saja, sejak kecil saja sering sekali kita mendengar omongan orang mengenai “perempuan itu harus lemah lembut”, “perempuan itu tidak boleh kasar”, atau “perempuan itu nanti ujung-ujungnya juga di dapur”. Ibaratkan sudah memiliki cetakan khusus untuk menjadi perempuan yang “baik” di mata masyarakat. Padahal setiap orang itu unik, memiliki karakter yang beda-beda. Ada yang memang kalem, ada juga yang enerjik dan menyukai tantangan. Kenapa kita harus dipaksa masuk ke satu cetakan saja bila kita sanggup masuk ke cetakan yang lain?
Otonomi atas definisi diri ini layaknya memberikan kita “kunci” untuk membuka semua label-label tersebut. Kita memiliki hak penuh untuk menentukan, “Aku itu orang yang bagaimana?” tanpa harus takut dengan omongan orang atau merasa bersalah karena tidak sesuai dengan ekspektasi mereka. Kita boleh menjadi perempuan yang kuat, yang berani, yang memiliki ambisi tinggi di karir, tanpa harus kehilangan sisi feminin kita. Begitu juga sebaliknya, kita boleh memilih fokus di rumah tangga jika itu memang pilihan hati kita, tanpa harus merasa “kurang” atau tidak produktif.
Intinya, kita sebagai perempuan memiliki hak untuk mendefinisikan diri kita sendiri, bukan didikte oleh orang lain. Kita memiliki hak untuk menentukan apa yang penting bagi kita, apa yang membuat kita bahagia, dan apa yang ingin kita kejar dalam hidup ini. Mimpi kita itu urusan kita, bukan urusan tetangga, bukan urusan tradisi.
Kadang memang tidak gampang untuk “mengabaikan” omongan orang. Apalagi bila sejak kecil sudah terbiasa mendengarkan stereotip-stereotip terebut. Namun pelan-pelan, kita dapat belajar untuk lebih percaya dengan diri sendiri dan lebih fokus dengan apa yang kita inginkan. Kita dapat memulai dengan mengenali diri kita lebih dalam, apa nilai-nilai yang kita pegang, apa passion kita, dan apa mimpi-mimpi kita?
Lalu, penting juga bagi kita belajar untuk tidak menilai pilihan hidup perempuan lain. Setiap perempuan memiliki perjalanan yang berbeda-beda, memiliki prioritas yang berbeda-beda. Mungkin ada yang memang ingin fokus di karir terlebih dahulu, ada yang ingin berkeluarga muda, ada yang ingin aktif di kegiatan sosial. Selama itu pilihan dia dan dia bahagia, ya sudah, kita hargai saja. Jangan malah diomongi atau dibandingkan-bandingkan.
Dengan kita memiliki otonomi atas definisi diri ini, kita menjadi lebih percaya diri untuk mengejar mimpi-mimpi kita. Kita tidak lagi terbebani oleh ekspektasi orang lain atau takut tidak sesuai dengan standar sosial. Kita menjadi lebih fokus dengan apa yang benar-benar kita inginkan dan lebih berani untuk menjadi diri sendiri yang autentik.
Kita harus ingat bahwa kita berharga apa adanya. Kita tidak perlu berusaha keras untuk menjadi orang lain atau memenuhi standar yang tidak masuk akal. Kita memiliki kekuatan dalam diri kita sendiri untuk menentukan siapa kita dan ingin menjadi apa kita di masa depan. Mimpi kita milik kita sepenuhnya, dan kita memiliki hak penuh untuk mewujudkannya sesuai dengan cara kita sendiri.
Solidaritas dan ruang aman
Bayangkan saja, jika kita sedang berjuang untuk melepaskan diri dari belenggu tradisi dan berusaha untuk menentukan definisi diri kita sendiri, pasti terkadang merasa sendiri. Bagaikan kita satu-satunya yang “berbeda” atau “aneh”. Padahal, kenyataannya, banyak sekali perempuan lain yang memiliki keresahan dan perjuangan yang serupa.
Di sinilah pentingnya yang namanya solidaritas. Solidaritas itu ibarat kita saling bergandeng tangan, saling mendukung, saling menguatkan satu sama lain. Kita sadar bila kita tidak sendirian, ada banyak perempuan lain di luar sana yang juga ingin bebas dari standar sosial yang mengekang. Dengan adanya solidaritas ini, kita menjadi punya rasa kebersamaan, rasa saling memiliki, dan yang paling penting, kita menjadi lebih kuat.
Jika kita memiliki teman-teman perempuan yang sama-sama memiliki mimpi besar, yang sama-sama ingin keluar dari zona nyaman dan mengejar apa yang mereka inginkan. Pasti rasanya berbeda sekali bukan? Kita menjadi punya tempat untuk bercerita, untuk mengeluh, untu meminta saran, bahkan hanya sekadar untuk menjadi pendengar aja. Mereka ibarat “safe zone” bagi kita, tempat di mana kita dapat mejadi diri sendiri tanpa takut dihakimi atau direndahkan.
Ruang aman ini tidak harus selalu dalam bentuk fisik. Bisa jadi berupa komunitas online, grup diskusi, atau bahkan sekadar lingkaran pertemanan yang positif dan saling mendukung. Yang penting, di ruang itu kita merasa diterima, dihargai, dan didukung sepenuhnya dalam setiap langkah yang kita ambil. Di ruang aman ini, kita tidak perlu sungkan, tidak perlu berpura-pura menjadi orang lain, kita dapat terbuka tentang apa yang kita rasakan dan impikan.
Mengapa ruang aman dan solidaritas ini begitu penting? Sebab, terkadang tekanan dari luar begitu besar. Masyarakat masih seringkali memiliki pandangan yang sempit mengenai peran perempuan. Jika kita tidak memiliki dukungan dari sesama perempuan, bisa jadi kita gampang merasa down, insecure, bahkan hingga menyerah dengan mimpi-mimpi kita. Tetapi bila kita memiliki “tim” yang solid di belakang kita, yang selalu memberikan semangat dan mengingatkan kita akan potensi diri, kita menjadi lebih kuat untuk menghadapi semua tantangan.
Solidaritas ini juga sangat penting untuk merubah pandangan masyarakat secara keseluruhan. Jika kita bersatu, suara kita menjadi lebih lantang dan lebih didengar. Kita dapat bersama-sama mengadvokasi hak-hak perempuan, memperjuangkan kesetaraan gender, dan mengubah narasi-narasi lama yang sudah tidak relevan lagi. Dengan begitu, kita tidak hanya membantu diri kita sendiri, tetapi juga membantu generasi perempuan selanjutnya agar dapat hidup di dunia yang lebih adil dan setara.
Intinya ini tentang menghargai dan mengakui bahwa setiap perempuan itu unik, dan mimpi kita juga pasti berbeda-beda. Tidak ada yang namanya “mimpi perempuan” yang seragam atau satu-satunya jalan yang benar untuk menjadi perempuan yang sukses.
Seringkali kita tanpa sadar suka membandingkan diri sendiri dengan perempuan lain. Misalnya, melihat teman sudah sukses di karir, kita jadi merasa bahwa hidup kita tidak memiliki perkembangan. Atau melihat teman sudah bahagia dengan keluarganya, kita jadi berpikir bahwa kita belum memiliki pasangan. Padahal setiap orang memiliki waktu dan jalannya masing-masing. Apa yang baik bagi orang lain, belum tentu baik juga bagi kita.
Poin ini ingin mengingatkan kita semua untuk lebih menghargai keberagaman mimpi yang dimiliki setiap perempuan. Ada yang bermimpi menjadi pengusaha sukses, ada yang bermimpi menjadi ibu rumah tangga yang bahagia, ada yang bermimpi aktif di kegiatan sosial, ada juga yang mimpinya sederhana saja, misalnya memiliki kebun bunga yang indah atau dapat keliling dunia. Semua mimpi itu sama-sama valid dan berharga.
Kita tidak boleh lagi memiliki anggapan bahwa ada satu “standar keberhasilan” bagi perempuan. Sukses itu definisinya sangat luas dan berbeda-beda bagi setiap orang. Mungkin bagi sebagian orang, sukses itu dilihat dari jabatan tinggi dan gaji besar. Namun bagi sebagian yang lain, sukses itu bisa jadi ketika dia dapat bermanfaat untuk orang banyak atau ketika dia dapat menjalani hidup yang seimbang antara karir dan keluarga.
Penting sekali bagi kita belajar untuk tidak menilai pilihan hidup perempuan lain. Mengapa kita kerap memberikan label atau komentar negatif soal pilihan orang lain? Misalnya, bila ada perempuan yang memilih tidak menikah dan fokus pada karir, sering dikatai “sayang tidak punya keturunan”. Padahal itu pilihan hidupnya sendiri, dan kita tidak memiliki hak untuk menghakimi. Begitu juga sebaliknya, bila ada perempuan yang memilih menjadi ibu rumah tangga sepenuhnya, jangan dikatai “tidak produktif” atau “hanya ngurusin dapur”. Itu pun pilihan mulia dan memiliki tantangannya tersendiri.
Kita harus belajar untuk lebih terbuka dan lebih menghargai setiap jalan yang dipilih perempuan lain dalam mengejar mimpinya. Kita rayakan keberhasilan mereka, sekecil apapun itu, dan kita berikan dukungan ketika mereka sedang menghadapi kesulitan. Dengan begitu, kita menciptakan lingkungan yang lebih positif dan suportif bagi semua perempuan.
Perlu di ingat, mimpi itu bagaikan sidik jari, tidak ada yang sama persis. Apa yang kita impikan mungkin berbeda dengan apa yang diimpikan perempuan lain, dan itu tidak masalah sama sekali. Yang penting adalah kita berani untuk bermimpi, berani untuk mengejarnya sesuai dengan cara kita sendiri, dan tidak membiarkan standar sosial yang sempit membatasi kita.
Setelah semua yang dipaparkan diatas, semoga kita semua jadi semakin sadar, bila mimpi itu sesungguhnya milik kita sepenuhnya. Tidak ada satu pun aturan atau standar sosial yang berhak membatasi apa yang boleh dan tidak boleh kita impikan. Kita memiliki kekuatan dalam diri kita untuk menentukan jalan hidup kita sendiri, untuk mengejar passion, dan untuk menjadi versi terbaik dari diri kita, tanpa harus merasa bersalah atau takut tidak sesuai dengan ekspektasi orang lain. Bertepatan juga, momen spesial bagi kita semua para perempuan Indonesia! Selamat Hari Kartini! Semangat Kartini yang dulu memperjuangkan emansipasi perempuan, semoga terus membara dalam diri kita.
Di era modern ini, perjuangan kita mungkin beda bentuknya, namun intinya tetap sama: kita berhak atas kesetaraan, kebebasan untuk berkarya, dan kebebasan untuk meraih mimpi setinggi langit. Mari kita jadikan Hari Kartini ini sebagai momentum untuk semakin solid, semakin berani, dan semakin percaya diri dalam mewujudkan mimpi-mimpi kita. Teruslah bersinar, perempuan Indonesia! Mimpi kita, milik kita! (Sesa Malinda, Universitas Cendekia Mitra Indonesia Yogyakarta)
There is no ads to display, Please add some