Moke sebagai Nafas Ekonomi Rakyat: Kritik terhadap Pendekatan Kepolisian yang Tidak Berbasis Keadilan Ekonomi

Oleh: Yohanes Robinsius Neno, Mahasiswa Pascasarjana Manajemen STIE YKPN Yogyakarta

beritabernas.com – Di Nusa Tenggara Timur (NTT), moke bukan sekadar minuman tradisional. Ia adalah simbol budaya, ekspresi sosial dan yang paling penting adalah sumber kehidupan ekonomi bagi ribuan keluarga.

Dari hasil menyuling moke, banyak warga mampu membiayai pendidikan anak-anak mereka hingga perguruan tinggi, membangun rumah dan mempertahankan martabat ekonomi di tengah keterbatasan lapangan kerja formal.

Namun, dalam beberapa tahun terakhir, tindakan aparat kepolisian yang gencar melakukan pembasmian produksi moke justru menghadirkan persoalan sosial-ekonomi baru yang serius. Alih-alih memberantas biang kekacauan, pemerintah dalam hal ini lewat kepolisian malah mengambil kebijakan yang justru menciptakan gelombang kemiskinan baru di desa-desa NTT.

Pendekatan kepolisian yang melihat moke semata-mata sebagai minuman keras dan penyebab kriminalitas adalah bentuk penyederhanaan yang menyesatkan. Realitas sosial di NTT jauh lebih kompleks. Produksi moke lahir dari kondisi ekonomi yang miskin alternatif. Di banyak wilayah pedesaan, tidak ada pabrik besar, tidak ada akses permodalan dan tidak ada jaringan ekonomi formal yang mampu menyerap tenaga kerja.

Dalam konteks itu, moke menjadi satu-satunya bentuk ekonomi lokal yang dapat diandalkan. Ia berperan seperti sektor informal di daerah urban dalam menopang kehidupan warga ketika negara gagal menghadirkan ekonomi yang inklusif. Maka, ketika kepolisian menertibkan tanpa menawarkan solusi ekonomi pengganti, tindakan itu sejatinya sama dengan memutus aliran napas ekonomi rakyat kecil.

Baca juga:

Ironinya, pemerintah dan aparat sering menggunakan narasi moral dan keamanan publik untuk membenarkan tindakan represif tersebut. Moke dianggap sebagai akar masalah sosial seperti perkelahian, kekerasan domestik, atau gangguan ketertiban umum. Namun, pandangan ini gagal membedakan antara penyebab dan akibat.

Akar masalah sebenarnya bukan pada moke-nya, tetapi pada rendahnya pendidikan, ketimpangan ekonomi dan minimnya kesempatan kerja. Menyalahkan moke atas segala bentuk kekacauan sosial sama saja dengan menyalahkan kemiskinan atas tindak kriminal yang lahir darinya. Kebijakan semacam ini hanya menyentuh gejala, bukan akar penyakit.

Dari sudut pandang ekonomi rakyat, tindakan pembasmian moke tanpa strategi alternatif merupakan bentuk ketidakadilan struktural. Negara menggunakan instrumen kekuasaan untuk mematikan sumber pendapatan masyarakat tanpa memberikan kompensasi atau mekanisme transisi ekonomi.

Di sisi lain, negara juga gagal mengembangkan potensi moke sebagai komoditas ekonomi lokal yang bernilai tinggi. Padahal, dengan pengelolaan yang baik, moke dapat dikembangkan menjadi produk khas daerah dengan nilai tambah melalui proses legalisasi, standarisasi kualitas, dan pemberdayaan ekonomi berbasis koperasi.

Banyak daerah di Indonesia berhasil mengelola produk lokal berpotensi “bermasalah” menjadi ikon ekonomi, seperti tuak di Sumatera Utara atau arak Bali yang kini menjadi produk legal dan berdaya jual tinggi. NTT bisa belajar dari pengalaman itu.

Masalah terbesar dalam kebijakan pembasmian moke bukan pada niatnya untuk menciptakan ketertiban, tetapi pada pendekatan yang digunakan. Aparat kepolisian bertindak dengan paradigma kontrol sosial, bukan pembangunan ekonomi. Mereka lebih cepat menindak daripada memahami konteks sosial di balik produksi moke. Tidak ada dialog dengan masyarakat, tidak ada riset mendalam tentang ketergantungan ekonomi warga terhadap produksi moke, dan tidak ada upaya melibatkan pemerintah daerah untuk menciptakan solusi transformatif. Akibatnya, tindakan yang semula dimaksudkan untuk menegakkan hukum justru melahirkan alienasi sosial dan ketidakpercayaan publik terhadap aparat.

Lebih dari itu, kebijakan ini menunjukkan bias kelas yang tajam. Negara bersikap keras terhadap ekonomi rakyat kecil yang dianggap melanggar aturan, namun bersikap lunak terhadap pelaku ekonomi besar yang merusak lingkungan, menguasai tanah rakyat atau menghindari pajak. Ketika rakyat kecil diseret karena memproduksi moke, para pemodal besar dibiarkan menjarah sumber daya alam dengan dalih investasi. Ketimpangan inilah yang membuat rakyat semakin sulit percaya bahwa hukum ditegakkan atas dasar keadilan, bukan kekuasaan.

Sudah saatnya kepolisian dan pemerintah daerah NTT mengubah pendekatan mereka terhadap moke, dari paradigma pelarangan menuju paradigma pemberdayaan. Penegakan hukum seharusnya tidak meniadakan kehidupan, melainkan membangun tatanan yang lebih adil. Jika benar moke dianggap bermasalah, maka solusinya bukan pemusnahan, melainkan pembenahan: legalisasi terbatas, edukasi produksi aman, dan pengawasan kualitas berbasis masyarakat. Dengan demikian, masyarakat tetap bisa mendapatkan penghasilan, sementara negara tetap mengatur agar produksi dan konsumsi moke tidak menimbulkan masalah sosial.

Moke bukan sekadar minuman, namun moke merupakan simbol perjuangan hidup, ketahanan ekonomi, dan identitas budaya masyarakat NTT. Menindas moke tanpa memberikan solusi sama saja dengan menindas rakyat yang menggantungkan hidup padanya. Keadilan ekonomi sejati bukan diukur dari berapa banyak yang ditertibkan, tetapi dari berapa banyak rakyat kecil yang bisa bertahan hidup dengan martabat.

Selama pendekatan kebijakan masih berpihak pada represi ketimbang pemberdayaan, maka keadilan itu akan tetap menjadi mimpi bagi rakyat NTT yang hidup di bawah aroma moke yang perlahan dipadamkan oleh kekuasaan. (*)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *