Pameran Khazanah Literasi Islam Indonesia, Rektor UII: Bentuk Hormat pada Masa Lalu

beritabernas.com –Lembaga Kebudayaan Embun Kalimasada YBW UII mengadakan pameran bertajuk Khazanah Literasi Islam Indonesia: Koleksi Eks-Perpustakaaan Islam di Gedung Moh Hatta Kampus Terpadu UII mulai 12 Juli hingga 31 Juli 2023. Pameran ini dinilai oleh Rektor UII Prof Fathul Wahid ST Msc PhD sebagai salah satu bentuk hormat pada masa lalu.

Menurut Hadza Min Fadhli Robby SIP MSc, Direktur Eksekutif Lembaga Kebudayaan Embun Kalimasada YBW UII, melalui pameran ini, Lembaga Kebudayaan Embun Kalimasada YBW UII hendak menyadarkan para pengunjung akan pentingnya menjaga budaya literasi dengan memamerkan manuskrip dari ragam zaman, terutama dari pertengahan abad ke-19 hingga abad ke-20.

Suasana pameran Khazanah Literasi Islam Indonesia. Foto: Philipus Jehamun/ beritabernas.com

Manuskrip-manuskrip tersebut, menurut Hadza Min Fadhli Robby, bercerita tentang pengalaman hidup masyarakat masa lampau, merefleksikan pandangan pemikir di zamannya, bahkan menjadi katalis yang mendorong perubahan zaman.

Rektor UII Prof Fathul Wahid mengatakan, pameran seperti ini penting untuk mengetahui bagaimana sikap kita atau orientasi temporal kita terhadap masa lalu, masa kini dan masa depan. Yang pertama hormat pada masa lalu, kedua kritis terhadap masa kini agar lebih baik dan optimis menjemput masa depan.

BACA BERITA TERKAIT: Lembaga Kebudayaan Embun Kalimasada YBW UII Dorong Peningkatan Literasi Lewat Pameran

Mengapa kita perlu hormat pada masalah lalu? Menurut Prof Fathul karena masa lalu membetuk masa kini. Keputusan, tradisi, budaya dan pilihan-pilihan masa lalu mempengaruhi masa kini. Bisa jadi apa yang dialami dan terjadi saat ini karena pilihan dan keputusan kita pada masa lalu.

Orasi kebudayaan

Sementara Diaz Nawaksara, pegiat manuskrip dalam orasi budaya bertajuk Mengulik Khanah Manuskrip di Era Tiktok titik-tutuk-taktik-tiktok, mengatakan bahwa kita harus mulai menyadari, merasa bangga dan mengetahui lebih jauh titik peradaban bangsa ini, suatu masa di mana para citraleka, para pujangga, para ulama Nusantara pernah menorehkan tinta emas untuk mencatat kejadian, keilmuan dan segala temuan-temuan besar pada masanya. Kesadaran itu akan menjadi bekal kita untuk bangkit percaya diri di tengah percaturan dunia hari ini dan masa yang akan datang.

Diaz Nawaksara menyampaikan orasi budaya. Foto: Philipus Jehamun/beritabernas.com

“Kesadaran dan sikap percaya diri tentu harus diimbangi dengan kerja keras dan pembuktian-pembuktian yang valid atas seluruh atestasi yang dianggap penting bagi lajunya roda kebudayaan bangsa ini yang semuanya harus disuarakan dan disampaikan dengan bijak sesuai papan panggone. Ini adalah tugas kita bersama sebagai para punggawa ilmu pengetahuan yang sadar pada kondisi sosio-kultural di sekitar, para sejarawan tampaknya harus lebih mengutamakan penggalian data nilai-nilai keteladanan tokoh hikmah sejarah masa lalu, dari pada sibuk memperdebatkan keabsahan data empiris di lapangan penelitian,” kata Diaz.

Dikatakan, para budayawan tampaknya harus lebih menajamkan perhatian dari sekdar merias rupa raga dengan aksesoris budaya yang pragmatis, menuju pendalaman esensial mengenai substansi budi dan daya manusia Nusantara, yang tepa selira, tenggang rasa, teguh, mandiri dan berdaulat. Sementara para sastrawan dan seniman perlu menyeimbangkan karya-karyanya dari aesthetic priority menjadi ethic priority yang lebih menyentuh sisi-sisi kepedulian,toleransi dan semangat membangun bangsa dari sekedar melambungkan khayal para penikmatnya menuju nirwana lamunan yang romantis dan melankolis. (lip)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *