Pancasila Dihafal, Keadilan Dihilangkan

Oleh: Rahma Hairunnisa Regita Putri, Mahasiswa Universitas Cemdekia Mitra Indonesia

beritabernas.com – Setiap 1 Juni, Indonesia seperti terperangkap dalam drama ritual tahunan: suara serentak melafalkan Pancasila menggema dari sekolah, kantor pemerintahan, hingga ruang-ruang sidang yang selama setahun menjadi saksi bisu ketidakadilan.

Hari Lahir Pancasila dijadikan panggung teatrikal-lengkap dengan mimik serius, pidato bernada patriotik, dan foto selfie berlatar lambang Garuda-sementara isi Pancasila itu sendiri telah lama dipereteli oleh kepentingan elite. Kita hidup dalam bangsa yang fasih menghafal lima sila, tapi gagap mewujudkan satu pun secara utuh.

Menghafal Pancasila adalah seni pertunjukan nasional. Menghilangkan keadilan adalah praktik harian yang dilegalkan. Inilah ironi bangsa yang katanya menjunjung tinggi “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” tetapi membiarkan hukum berubah menjadi alat dagang dan keadilan hanya bisa dibeli oleh mereka yang memiliki koneksi atau rekening tambun.

Di balik khidmatnya upacara dan parade seremonial Hari Lahir Pancasila, terbentang kenyataan getir: Keadilan sosial hanyalah kalimat mati yang terpajang indah di dinding institusi negara, tetapi tidak pernah menetes sampai ke kehidupan rakyat jelata. Tanah-tanah petani dirampas atas nama pembangunan, buruh dipaksa patuh pada regulasi yang membungkam, dan warga miskin kota ditindas oleh aparat atas nama ketertiban. Ketika hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah, ketika pengadilan menjadi pasar tawar-menawar, maka keadilan bukan lagi cita-cita konstitusi-ia telah menjadi korban utama dari kompromi kekuasaan.

Negara Pancasila, data ketimpangan

Lihatlah kenyataan yang terpampang jelas: menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), Gini Ratio Indonesia stagnan di angka 0,38-pertanda ketimpangan yang akut. Sebanyak 26 juta orang masih hidup dalam kemiskinan ekstrem, bahkan di tengah deretan proyek infrastruktur yang bernilai triliunan rupiah. Kita membanggakan tol dan bandara baru, tapi abai bahwa angka stunting anak-anak Indonesia masih berada di atas 20%. Keadilan sosial, jika diukur dengan indikator itu, barangkali sudah mengalami mati suri.

BACA JUGA:

Setiap tahun, menurut Indonesian Corruption Watch (ICW), Indonesia kehilangan lebih dari Rp 30 triliun akibat korupsi-angka yang lebih dari cukup untuk membiayai gizi anak-anak di Nusa Tenggara Timur, membangun ribuan sekolah layak, atau menambah tenaga medis di pelosok negeri. Tapi nyatanya, negeri ini justru lebih sibuk membungkam kritik ketimbang membasmi korupsi. Kasus-kasus besar seperti korupsi Jiwasraya atau Bansos Covid-19 malah disambut dengan hukuman ringan, penuh diskon, seolah maling uang rakyat bisa ditawar seperti barang bekas.

Kita telah menjadikan Pancasila bukan sebagai ideologi pembebas, tapi sebagai tameng hipokrisi nasional. Sila demi sila hanya digunakan sebagai bahan pidato dan kutipan buku ajar, tidak pernah menjadi prinsip yang menuntun kebijakan negara. Bahkan lembaga-lembaga negara yang diamanahkan menjaga nilai-nilai Pancasila kini justru menjadi aktor utama dalam melanggengkan ketimpangan: KPK yang dikebiri, Mahkamah yang dikooptasi, birokrasi yang dibajak oligarki.

Reforma agraria berubah jadi jargon kampanye. Dana desa bocor ke kantong kepala daerah. Bantuan sosial dikorupsi saat rakyat kelaparan. Apakah ini negeri yang katanya berlandaskan “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”? Ataukah kita sedang menyaksikan ironi besar: Pancasila dibacakan dengan lantang, tapi diam-diam dikubur di balik meja kekuasaan? Politik identitas digunakan untuk memecah masyarakat, bukan untuk memperkuat persatuan. Dana masjid dikorupsi dengan alasan sakral. Penegakan hukum dijalankan seperti pesanan restoran: siapa bayar lebih dulu, dia yang dilayani dulu. Beginikah wajah negara yang katanya menjunjung “Persatuan Indonesia” dan “Keadilan Sosial”?

Mengganti hafalan dengan perlawanan

Sudah cukup bangsa ini disandera oleh teatrikalisme moral. Jika kita benar-benar mencintai Pancasila, maka tugas kita bukan menghafalnya-tetapi menggugat pengkhianatannya. Hari Lahir Pancasila tidak perlu dirayakan dengan seremonial semu, cukup dengan keberanian untuk jujur bahwa keadilan belum menjadi milik semua. Pancasila harus kembali ke akar: menjadi dasar moral, bukan sekadar alat politik.  Pendidikan Pancasila di sekolah tidak boleh berhenti di buku cetak.

Anak-anak harus diajarkan bahwa sila kelima berarti: Menolak korupsi, Menuntut transparansi anggaran, Menghormati hak rakyat kecil, Dan menolak tunduk pada kebijakan yang menindas. Pemerintah wajib memilih: menjadi pelayan oligarki atau pelayan konstitusi. Tak ada ruang untuk keduanya. Jika Hari Lahir Pancasila hanya diisi dengan pidato kosong dan perayaan simbolik, maka kita sedang memperingati bukan kelahiran nilai, tapi kematiannya.

Pertanyaan akhirnya sederhana namun menusuk: siapa yang masih benar-benar memiliki Pancasila hari ini? Apakah rakyat miskin yang ditindas, ataukah elite yang menggunakannya sebagai topeng kekuasaan? Jika jawabannya adalah yang kedua, maka kita sedang hidup dalam lakon besar bernama “Negara Pancasila”-sebuah pertunjukan sandiwara yang nyaris sempurna. Tapi lakon ini tidak bisa berjalan terus tanpa penonton yang bersuara.

Maka saatnya kita, rakyat biasa, berhenti menjadi penghafal yang patuh. Mari menjadi penggugat yang sadar. Karena selama keadilan masih dihilangkan, peringatan 1 Juni hanya akan menjadi upacara kematian makna Pancasila itu sendiri. (*)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *