Oleh: Ben Senang Galus, penulis buku Kuasa Kapitalis dan Matinya Nalar Demokrasi, tinggal di Yogyakarta
beritabernas.com – Postulat kuno berbunyi, demokrasi menghendaki semua warga negara memiliki hak yang sama untuk pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka. Demokrasi mengandung makna penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia.
Prinsip demokrasi mengharuskan inklusivitas dan kebebasan politik setiap warganegara. Artinya, setiap warga negara memilik hak yang sama, tanpa memandang warga negara unggul atau pendidikannya rendah atau tinggi.
Menurut Abraham Lincoln, democracy is government of the people, by the people, and for the people atau demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Namun saat ini telah dijunggirbalikkan menjadi, democracy is government off the people, buy the people, and force the people. Sebab, kata pepatah dalam Bahasa Latin, Ibi ubi nulla democratia populi pereunt atau dalam bahasa ungkapan Bahasa Inggris, There where no democration the people perish, yang artinya dimana tidak ada demokrasi rakyat binasa.
Nietzsche (15 Oktober 1844-25 August 1900), berpandangan sebaliknya. Ia menegaskan, demokrasi (parlemen) membuat orang-orang medioker menjadi penguasa, sebaliknya orang-orang unggul direpresi. Pandangan kontroversial ini membuat Nietzsche dicap sebagai anti demokrasi. Pesan Nietzsche sebetulnya sederhana: demokrasi yang konon untuk mengakui manusia dengan potensinya justru direduksi dalam suatu prosedur buatan orang-orang kerdil yang membuat orang-orang unggul ini tidak nongol keluar.
Kalau diungkapkan dalam bahasa filsafat politik kontemporer, demokrasi itu justru terjadi kalau mereka yang selama ini tidak diperhitungkan (discounted) mulai diperhitungkan (counted) (J Rancière, 1999). Dalam argumentasi tersebut kita melihat bahaya praktik demokrasi yang justru sedang melawan demokrasi tersebut sendiri (democracy against democracy) (G Agamben, et al, 2011).
Dikendalikan oligarki
Demokrasi kita yang dikendalikan oligarki itu berskandal. Mengapa? Pertama, alih-alih mengokohkan solidaritas, demokrasi kita membiarkan ekspansi pasar yang justru merusak solidaritas. Kedua, alih-alih melindungi pluralitas, demokrasi kita malah membiarkan pertumbuhan kekuatan-kekuatan ekstrem religius yang mengancam pluralitas.
Ketiga, alih-alih menyediakan kesetaraan kondisi-kondisi, demokrasi kita justru menghasilkan kondisi-kondisi ketidaksetaraan. Bahwa skandal-skandal demokrasi kita tidak dapat diatasi dengan menghentikan demokratisasi, melainkan dengan memperdalamnya dengan “demokrasi deliberatif” untuk menghasilkan hukum-hukum legitim yang memperluas kesetaraan dan akhirnya juga dapat membatasi pertumbuhan oligarki.
BACA JUGA:
- Parasitisme atas Desa oleh Negara, Kapitalisme Sungguhan
- Terjebak dalam Kekuasaan Rule of Man
- Kritik untuk Negara, Sebuah Tuntutan untuk Perbaikan dan Keadilan Sosial
Demokrasi deliberatif yang menjanjikan harapan akan kebebasan politik, kesetaraan dan persaudaraan dalam ikatan solidaritas penuh empati atas penderitaan sesama warga negara, terancam menjadi sekedar untaian nilai yang tidak membumi ketika berbagai prosedur, arena dan instrumentasi demokrasi lainnya dibajak oleh segelintir orang yang memiliki kekuatan kapital dan bermetamorfosis menjadi kekuatan oligarki politik.
Praktik oligarki politik, sebagaimana lazim di banyak tempat, lebih berorientasi pada akumulasi dan perluasaan kekayaan dan meningkatnya pengaruh ikatan keluarga atau politik dinasti di dalam mengendalikan kebijakan pemerintahan. Konteks politik Indonesia mutakhir, semakin terasakan, betapa demokrasi berada dalam cengkeraman oligarki politik, baik itu yang direpresentasikan oleh kekuatan aktor politik lama produk Orde Baru ataupun produk politik Orde Reformasi. Langgam dan pengaruh oligarki ini tidak hanya di pusaran politik nasional, juga pusaran politik lokal .
Cengkeraman oligarki politik ini memang sangat mengkhawatirkan. Namun demikian berbagai kekuatan perlawanan masyarakat sipil masih memberi harapan, bahwa demokrasi deliberatif tidak mudah dibajak dan dikendalikan oleh para oligarch. Perpaduan antara perlawanan masyarakat sipil dengan proses penegakan hukum para pejabat korup mulai memberikan efek kejut bagi para oligarch dan pendukungnya. Untuk oligarch di level nasional memang masih tegar, daya tebas KPK terhadap mereka masih mampu dilawan dengan serangan balik yang membuat KPK kelimpungan.
Sejatinya politik adalah upaya untuk mewujudkan kesejahteraan warga dan memuliakan kemanusiaan dan politik sebagai cara untuk membangun peradaban suatu bangsa menjadi lebih beradab. Partai politik merupakan sala satu instrumen dalam mewujudkan demokrasi memiliki peran strategis dalam mewujudkan demokrasi melalui fungsi-fungsi partai politik.
Di Indonesia fungsi-fungsi partai politik belum dilakukan secara baik dan bertanggungjawab oleh partai politik. Partai politik lebih berkonsentrasi pada bagaimana merebut kekuasaan dengan cara-cara yang anti terhadap demokrasi yang melanggengkan politik dinasti, politik kekerabatan dan politik uang. Akibatnya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) menggerogoti partai politik dan pemerintahan pada berbagai level di Indonesia.
Praktik politik oligarki dalam proses perjalanan demokrasi Indonesia merupakan penyakit akut yang sulit diobati dalam waktu yang singkat, apalagi peran partai politik yang tetap memelihara praktik oligarki. Pasca reformasi, rekruitmen politik yang dilakukan oleh partai politik didominasi oleh pemilik modal, kerabat dan keluarga dekat elit partai politik yang semakin memberi ruang eksisnya politik oligarkis dalam sistem demokrasi Indonesia.
Sebagai akibat langsung dari politik oligarki, tak jarang rakyat dipertontonkan dengan sajian informasi korupsi, suap dan gratifikasi yang dilakukan oleh elit partai politik di Indonesia. Politik oligarki bukan saja terjadi pada level nasional tetapi juga terdistribusi ke Daerah, sehingga kesejahteraan rakyat yang menjadi tujuan sulit untuk dicapai.
Rekruitmen politik berbasis modal finansial dan kekerabatan mengakibatkan orang-orang potensial yang memiliki kompetensi dan integritas mumpuni dalam mewujudkan demokrasi sejati tidak dilirik oleh partai politik, oleh karena itu politik deliberatif (politik warga) merupakan jawaban terhadap peliknya pemberantasan politik oligarki di Indonesia. Politik warga adalah bagian dari partisipasi politik masyarakat yang mengarah pada perwujudan demokrasi melalui proses rekruitmen pemimpin pada berbabagai level yang lahir dari motivasi dan inisiatif warga untuk mengubah secara radikal tatanan demokrasi yang didominasi oleh praktik oligarki.
Co-creator demokrasi
Kendati negara ini menjalankan demokrasi, masyarakatnya justru sering kali disuguhi realitas politik yang terbalik. Warga seakan jauh dari proses politik akibat sejumlah elit cenderung lebih mementingkan kelompoknya. Dalam kondisi itu, semetinya warga saling berhimpun membangun kompetensi sebagai bagian dari co-creator demokrasi untuk untuk meningkatkan kualitas demokrasi.
Terkait co-creator demokrasi Haryatmoko (2025) menegaskan “sikap wakil rakyat yang cenderung tak memedulikan lagi konstituennya. Hal tersebut dicontohkannya lewat prioritas penyusunan regulasi yang sarat kepentingan elit. Sementara regulasi pemberantasan korupsi yang lebih besar kepentingan publiknya, seperti RUU Pemberantasan Aset, masih terkesan mandek pembahasannya”.
Yang lebih berpengaruh sekarang itu oligarki. Seperti pimpinan partai berpengaruh dalam menentukan agenda partai dan juga legislasi. Wakil rakyat hanya peduli pada lingkaran pendukungnya, menyumbang dana kampanye, dan organisasi pemenangnya. Politisi-politisi itu menduduki jabatannya melalui mekanisme demokrasi. Lantas, ia mendorong agar istilah demokrasi perlu didefiniskan ulang bersama-sama. Hendaknya kata itu tak dimaknai sebatas kegiatan-kegiatan pemilihan sosok-sosok yang akan menjadi representasi warga pada tataran legislatif atau eksekutif.
Demokrasi adalah bagaimana sehari-hari kita mengambil urusan bersama dengan yang lain dalam kelompok dan lebih banyak dalam kerja publik. Maka sasarannya adalah memperluas partisipasi masyarakat.
Dengan demikian, selanjutnya yang mesti dilakukan ialah membangun komptensi warga. Kesadran publik perlu digugah kembali melalui kerja-kerja kolektif. Ini menyoal peranan penting masyarakat dalam tegaknya demokrasi.
Desain kembali demokrasi sebagai suatu masyarakat yang kewarganegaraannya dibangun melalui kerja publik. Jadi warga negara aktif sebagai co-creator demokrasi.
Haryatmoko (2025), menegaskan, “sebagai co-creator demokrasi mendorong agar warga tidak tinggal diam pada setiap proses politik. Dalam hal ini warga negara bisa saja memberikan sanksi jika memang para politisi tidak menjalankan tugas sebagaimana yang dijanjikan semasa kampanye”.
Sanksi itu bisa menghalangi atau menolak keputusan dengan mengorganisasikan warga, salah satunya dengan demonstrasi, atau menuntut ganti rugi dengan memboikot aktivitasnya dan memublikasikan catatan-catatan negatif tentang kinerjanya.
Secara bersama-sama
Demokrasi sejati harus dibangun oleh warga secara bersama-sama dan bertanggungjawab dalam menginisiasi dan mendorong “lahirnya” pemimpin-pemimpin baru yang memiliki visi, kompetensi ,dan integritas personal dalam memperbaiki tatanan politik dan demokrasi di Indonesia, politik warga bisa menjadi suatu gerakan alternatif rekruitmen politik di Indonesia dan sebagai cara yang tepat untuk melumpuhkan praktik-praktik oligrakis.
Politik warga dapat menjadi sarana bagi proses-proses pendidikan politik dalam mengubah pemahaman warga tentang politik yang selama ini diabaikan oleh partai politik dan rekruitmen politik yang gagal dilakukan oleh partai politik, serta sebagai suatu kreasi dan inovasi dalam praktik politik berbiaya tinggi yang hanya dijangkau oleh orang-orang bermodal.
Tak berdayanya negara tak bekerjanya hukum publik sama artinya dengan tak bekerjaanya respublika atau rechtstaat. Pilar-pilar arsitektur respublika ini tak lagi berfungsi ketika ia dikuasai oleh kekuatan tak tampak yaitu kekuasaan rahasia (secret power) yang menguasai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Bahaya ke depan adalah apabila negara ini dikelola oleh kekuatan rahasia, para mafia, kartel, rentenir, konspirasi, komplotan, persekongkolan yang semuanya anti respublika dan menurut saya saat ini terasa sangat tajam sekali. Respublika menjadi urusan kekuatan gelap dari sebuah republik gelap. Respublika akan dikendalikan oleh potentia invisibilis yang tak tersentuh oleh negara, maka solusi yang paling tepat ialah membangun komptensi warga menjadi co-creator demokrasi. (*)
There is no ads to display, Please add some