Oleh: Ben Senang Galus, Penulis buku Kuasa Kapitalis dan Matinya Nalar Demokrasi, tinggal di Yogyakarta
beritabernas.com – Sudah banyak seminar maupun kajian akademik tentang ekonomi politik pedesaan. Bahkan teman saya pernah berkelakar, ”kertas hasil seminar maupun kajian jika disusun bisa mencapai bulan”.
Tidak bisa dihitung pula berapa uang yang dikeluarkan untuk membiayai berbagai kajian itu. Silih berganti pimpinan yang memimpin Indonesia. Sekian dasawarsa kita memikirkan, menganatomi ekonomi politik pedesaan, namun hasilnya tidak membawa perubahan apa-apa di desa. Pemerintah sibuk menghitung rejeki hasil keringat rakyat.
Kredo pembangunan tidak lebih dari sekadar menghibur rakyat, birokrasi telah dijadikan lembaga perbaikan gizi bagi sebagian aparat maupun para LSM yang mempunyai kepentingan dengan birokrasi.
Sementara mayoritas masyarakat menjadi pusat pemberdayaan termarjinalkan dan terhempas dari realitas sosial di masyarakat, dan tidak bisa menikmati hasil-hasil pembangunan, memicu ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Bahkan bisa berakibat buruk, manakala masyarakat akan menarik diri dari kesetiaannya pada pemerintah dan membentuk getho. Dikhawatirkan pula sikap-sikap ini akan berkelanjutan dan dengan demikian kemiskinan menjadi salah satu masalah sosial yang terus menerus menjadi bagian dari kehidupan masyarakat kita sehari-hari.
Karena itu apa yang dipersoalkan selama ini adalah apa yang dinamakan ekonomi kerakyatan atau ekonomi berbasis desa. Karena itu ekonomi politik pedesaan adalah usaha sadar pemberdayaan ekonomi rakyat banyak. Dan sasaran utamanya adalah menggerakkan potensialitas desa sehingga menimbulkan perubahan-perubahan sosial ekonomi pada masyarakat.
Ini berarti transformasi besar-besaran dari kebudayaan pertanian tradisional menuju ke kebudayaan industri (alisasi) masif di desa menjadi keharusan. Transformasi tidak cukup hanya mendirikan mall-mall atau super-market. Sangat diperlukan transformasi sosial, teknologi, dan cara hidup bermasyarakat, artinya perlu adanya transformasi kebudayaan ke desa.
Industrialisasi desa merupakan conditio sine gua non. Sebab kesejahteraannnya tidak mungkin meningkat dengan lahan kurang dari dua hektar, apalagi lahan kering, walau dengan teknologi dan manajemen pertanian mutakir sekalipun. Dengan demikian penduduk pedesaan, yang merupakan sebagian besar penduduk Indonesia harus memperoleh penghasilan dari industri dan jasa di pedesaan itu sendiri.
Menjadi persoalan apakah gagasan ekonomi pedesaan ini bisa diterapkan, sementara pembangunan di Indonesia sudah telanjur menerapkan developmentalisme. Dengan demikian konsep pemba-ngunan semestinya selalu berarti suatu proyek humanisasi, yang merangkul aspek pembebasan manusia desa, partisipasi masyarakat desa secara penuh, dan pembebasan struktur, di dalamnya manusia melaksanakan peran sesuai dengan statusnya. Tulisan ini mencoba mewacanakan ekonomi politik pedesaan dan melihat hadirnya negara di desa.
Hegemoni negara
Memperbincangkan ekonomi politik pedesaan memang tidak terlepas dari lingkup kebijakan publik di suatu negara. Hadirnya negara ke desa yang dilakukan secara legal formal berimplikasi banyak pada perubahan besar terkait dengan independensi desa dalam mengatur perekonomiannya sendiri. Secara garis besar, desa merupakan entitas sosio ekonomi yang merdeka dan terbebas sama sekali dari pengaturan negara.
Pelbagai macam studi antropologis maupun seminar ilmiah di berbagai kampus yang mengkaji tentang desa. Namun studi atau kajian antropologis tidak satu pun mengalahkan hegemoni Negara atas desa di Indonesia. Melihat proses hegemon negara atas ekonomi politik yang berlangsung di pedesaan sendiri bernuansa kapitalisme periferi. Hal itu dikarenakan moda dan alat produksi dalam melakukan aktivitas kegiatan perekonomian di pedesaan sendiri masih bercorak ekstraktif dan subsisten.
BACA JUGA:
- Pindahkan Altarmu ke Tempat yang Lebih Dalam Lagi
- Kebijakan Inkremental Tata Ruang Publik
- Problematika Pekerja Migran NTT
Adapun nilai lebih yang dihasilkan dari proses produksi sedemikian tersebut hanyalah bersifat mikro material. Oleh karena itulah, adanya upaya improvisasi terhadap peningkatan faktor produksi maupun moda produksi sendiri masih sangatlah minim. Ada beberapa poin yang bisa dipetik yakni: 1) Proses redistribusi material ekonomi sendiri berjalan secara seimbang dan setara dengan memanfaatkan modal sosial antar sesama warga Negara; 2) Penyaluran dana di pedesaan yang masih mikro menjadikan ketimpangan ekonomi sendiri sangatlah minim terjadi.
Hal itulah yang bisa kita simak dari perkembangan kearifan lokal dalam pengaturan redistribusi perekonomian di desa seperti halnya lumbung, banjar, dan lain sebagainya. Artinya, dengan adanya kearifan lokal tersebut, perekonomian diatur oleh pedesaan secara adil dan seimbang. Adapun potensi sumber daya alam yang dimiliki oleh desa sendiri sejatinya memiliki potensi sumber daya ekonomi besar dalam bentuk pengusahaan ulayat (Duto Sosialismanto, 2006:37).
Dalam rezim pengaturan sumber daya ekonomi di tingkat pedesaan sendiri dikenal sebagai istilah common pool resources. Istilah ini sendiri diartikan sebagai bentuk pengelolaan bersama yang dilakukan oleh setiap anggota komunitas masyarakat. Dalam mekanisme pengelolaan bersama tersebut, setiap anggota masyarakat sendiri memiliki cara untuk memastikan bahwa sumber daya alam sendiri terbagi secara merata (Garret Hardin, 1968: 1250)
Peran aktif yang ditunjukkan oleh masyarakat dalam menjamin ketersediaan masyarakat tersebut merupakan cara efektif dalam mengamankan sumber daya ekonomi berjalan seimbang. Common Pool Resources tersebut sejatinya merupakan bagian dari ketiga rezim pengaturan sumber daya ekonomi seperti halnya state way maupun market way. Adapun state way sendiri lebih mengedepankan adanya pengaturan negara dalam pengaturan redistribusi tersebut (Ellinoir, 1990:119).
Pengaturan oleh negara sendiri lebih bisa fleksibel dan dilakukan secara simultan dan gradual. Hal inilah yang menjadi karakteristik khas dari sebuah negara untuk melakukan monopoli tunggal atas pelayanan publik tersebut. Artinya negara menisbikan adanya peran negara sendiri dalam melakukan pengaturan tersebut. Hal itulah yang menjadikan peran masyarakat sendiri kemudian dikucilkan dalam arena tersebut karena ekonomi sendiri masuk dalam domain negara secara penuh dan absolut.
Masyarakat tidak lagi memiliki pilihan lain selain memilih pengaturan sumber daya yang dikuasai negara. Pasar sebagai aktor kedua dalam pengaturan sumber daya ekonomi memang memberikan banyak pilihan bagi masyarakat untuk bisa memilih, namun juga disesuaikan dengan rasionalitas harga yang sedemikian tinggi pula. Adanya kepemilikan sumber daya yang masif dan besar dimiliki oleh desa itulah yang menjadi polemik. Dominasi negara sudah berjalan di desa sebelum menginjak pada globalisasi pada abad ke-21 sekarang ini.
Otonomisasi dan independensi desa sebagai entitas yang kemudian tergerus oleh pengaruh negara. Setidaknya hal tersebut dapat diindikasikan dengan pola penetrasi yang dilakukan oleh negara untuk mensubordinasikannya sebagai objek pengaturan negara. Tentunya praktik hegemoni negara yang demikian bukanlah barang baru dalam relasi negara dengan desa. Hal itu sebenarnya dapat dilihat mundur ke belakang pada masa kolonialisme Belanda.
Adapun transformasi perekonomian desa semasa negara kolonial dimulai dari diundangkannya Agrarische Wet maupun Suiker Wet pada tahun 1870 dimana pola industrialisasi yang digencarkan terutama pada sektor agroindustri seperti halnya perkebunan maupun pertanian secara gradual telah mulai menancapkan taringnya ke dalam hubungan sosio ekonomi desa pada waktu itu.
Ditengarai bahwa pola feodalisme maupun merkantilisme menjadi fondasi awal prakapitalis yang berkembang di pedesaan hingga menjelang fase kemerdekaan. Dalam implementasinya, negara kolonial menjadikan desa sebagai basis ekonomi industri kolonial yang kemudian membawa berbagai macam implikasi yang hadir dalam konteks pedesaan. Adapun berbagai macam implikasi tersebut paling utama adalah restrukturisasi agraria sebagai sumber daya dasar berdirinya industrialisasi perkebunan maupun pertanian di pedesaan. Dalam hal ini, progam restrukturisasi tanah yang dilakukan secara permisif akan mengancam kedudukan tanah sebagai sumber daya desa seperti halnya kepemilikan hak ulayat, hak apanage dan sebagainya.
Adapun efek domino dari restrukturisasi tanah tersebut kemudian membawa isme-isme lain yang dibawa negara kolonial kepada desa seperti halnya monetisasi, komoditisasi, modernisasi, dan lain sebagainya yang kemudian mengakibatkan kapitalisme lanjutan terus mereduksi otonomi desa sebagai entitas ekonomi.
Kemudian hal itu menimbulkan involusi pertanian dimana terjadi pengurangan lahan pertanian besar-besaran untuk pendirian pabrik maupun infrastruktur lainnya serta transformasi warga desa yang dulunya petani tulen kini beralih menjadi buruh pabrik dikarenakan semakin menyempitnya lahan pertanian di Jawa seiring dengan adanya kapitalisasi pertanian dan ledakan penduduk yang naik secara gradual. Pada dasarnya, tujuan involusi pertanian sendiri baik yakni mendorong adanya ekspor hasil pedesaan sendiri ke dalam ranah global (Wasisto Raharjo Jati, 2014:17–26)
Namun perlu juga mencermati untuk mengelaborasi lebih lanjut mengenai pembahasan tesis Clifford Geertz pada tahun 1976 mengenai “Involusi Pertanian” sendiri menarik untuk dikaji. Geertz menilai dampak kapitalisme global banyak memberikan andil terhadap perubahan struktur perekonomian global (Clifford Geertz, 1976: 34.)
Pertama, hadirnya monetisasi dan kapitalisasi desa sendiri tidaklah ikut merubah tatanan ekonomi desa tersebut. Kapital sendiri hanya berjalan pada proses produksi hingga konsumsi. Hal inilah yang kemudian menciptakan adanya dualisme ekonomi yakni pada satu sisi, kapitalisasi telah merombak sector produksi dan industrialisasi agraria, namun di satu sisi tetap mempertahankan adanya perekonomian berbasis subsisten.
Kedua, adanya bentuk upaya subsistenisasi terhadap petani tersebut merupakan upaya untuk mempertahankan secara konservatif kelas petani yang miskin. Implikasinya kemudian adalah menciptakan adanya dua kelas petani yang berbeda yakni peasant maupun farmer.
Adapun kelas farmer sendiri memiliki alat dan moda produksi yang masif sedangkan peasant sendiri adalah kelas petani yang subsisten dengan mengandalkan pada faktor produksi yang sedikit. Hal itulah menjadikan kelas peasant sendiri kemudian menjadi sulit berkembang Adanya konteks nilai lebih (added value) inilah yang menjadi diferensiasi atas kedua kelas.
Kelas farmer dibentuk atas kapitalisasi instan yang kemudian mengukuhkan adanya kelas-kelas tuan tanah menjadi kelas kapitalis. Dampak dari dibentuknya kedua kelas tersebut adalah munculnya guremisasi di masyarakat. Kelompok petani desa gurem inilah yang menjadi titik-titik awal involusi pertanian di desa (Riza Sihbudi & Moch. Nurhashim (eds.), Kerusuhan sosial di Indonesia : Studi Kasus Kupang, Mataram, dan Sambas, (Jakarta: Grasindo, 2001), hlm. 28.)
Ketiga, adanya guremisasi itulah yang menjadikan sektor pendapatan di desa sendiri 4 Clifford Geertz, Involusi Pertanian, (Jakarta: Bharata Aksara, 1976), hlm. 34. Riza Sihbudi & Moch. Nurhashim (eds.), Kerusuhan sosial di Indonesia: Studi Kasus Kupang, Mataram, dan Sambas, (Jakarta: Grasindo, 2001, hlm. 28) kurang berkembang dan stagnan sehingga tidak ada sama sekali improvisasi dalam kehidupan. Hal paling kentara yang penting untuk dicermati adalah transisi nilai-nilai budaya dalam internal desa itu sendiri.
Perekonomian desa yang sebelumnya bersifat komunalistik dan kooperatif lantas kemudian diubah menjadi kelas-kelas yang individualistik dan liberal. Pola redistribusi perekonomian yang dulunya dilakukan secara seimbang dan setara mulai bergeser pada rasionalitas uang. Bahwa uang sendiri mejadi kunci atas pola pembagian tersebut.
Akar untuk memahami globalisasi dalam tingkat pedesaan adalah bagaimana kita juga melihat konteks di masa lalu bahwa globalisasi sekarang ini merupakan bentuk kolonialisme di masa lalu. Maka penting juga untuk disimak untuk melihat konteks keterbelakangan (underdevelopment) yang terjadi di ranah pedesaan saat era zaman kolonialisme (Wasisto Raharjo Jati, 2014:17–26)
Parasitisme atas desa
Desa adalah entitas ekonomi mikro sedangkan negara adalah entitas kapitalisme makro. Keduanya bersinergi dalam relasi simbiosis parasitisme. Negara hadir sebagai parasit atas tatanan perekonomian desa yang kian involutif. Namun demikian, mencermati fondasi dasar atas perkembangan ekonomi di desa sendiri juga perlu melihat adanya karakteristik dari negara itu sendiri.
Dalam hal ini, dibalik alasan neoklasik yang menjadi paradigma ekonomi negara bukanlah menjadi kapitalisme sungguhan (real capitalism) akan tetapi lebih menuju kepada ekonomi pinggiran dikarenakan karakter negara yang mengejar keuntungan dalam jangka pendek dengan cara mendisplinkan warganya terutama pedesaan yang mengakibatkan proletarisasi dan marjinalisasi warga desa karena praktik trickle up effect yang dilakukan negara sehingga pedesaan umumnya mengalami keterbelakangan secara ekonomi (underdevelopment).
Kondisi underdevelopment yang berlangsung dalam pedesaan dikarenakan adanya ketimpangan pembangunan yang terjadi di pedesaan akibat pola kebijakan yang eksploitatif. Secara makro, konteks pengaruh negara di desa yang termanifestasikan dalam pola desa dilihat sebagai self governing community dikarenakan memiliki hak asal usul dan bawaan sebelum negara hadir sehingga “desa” dipahami republik mini. Sekarang kemudian berubah menjadi desa dilihat sebagai local state government.
Adapun strategi penerapan prinsip otonomi murni kepada desa sendiri lebih diartikan ketidaksiapan kapasitas negara dalam mengatur desa sehingga dengan menempatkan kembali desa sebagai republik mini, desa akan mudah untuk mengatur dirinya dan mengorganisir diri sebelum kemudian diatur negara. Oleh karena itu, cara instrumentasi yang digunakan untuk mengikat loyalitas desa kepada negara. Maka negara kemudian memaksakan prinsip kepada perangkat desa untuk dijabarkan dalam pola perilaku pemerintahan desa.
Kemudian selain itu pula, semua perangkat desa adalah birokrat yang ditunjuk dan diangkat dari lembaga supra desa, sehingga mereka hanya menjalankan mandat dari lembaga supra desa untuk menyelenggarakan rumah tangga desa dan menyebarkan kredo negara kesejahetraan.
Melalui strategi administrasi dan institusionalisme, negara mulai hadir dengan wajah baru dalam pengaturan desa seperti munculnya Lembaga Badan Perwakilan Desa, Badan Usaha Milik Desa, pengaktifan Babinsa dalam rangka menjaga teritorial, dan menempatkan sekdes sebagai birokrat sekaligus agen spionase negara. Akan tetapi, desa juga tidak mau kalah dengan mengaktifkan kembali berbagai macam institusi desa untuk mengimbangi negara. Sehingga seringkali muncul dualisme dalam desa seperti halnya pengakuan hukum adat dan positif nasional, komunalisasi tanah dan privatisasi tanah, dan lain sebagainya (Wasisto Raharjo Jati, 2014:17–26)
Pemaknaan desa sebagai local state government menjadi legitimasi pemerintah untuk menunjukkan eksistensinya sebagai negara, namun bagi masyarakat desa hal itu tak ubahnya sebagai bentuk aksi represif dan koersif pemerintah kepada masyarakat desa. Pola repetisi tersebut menunjukkan bahwa negara sedikit memahami makna otonomi sebenar-benarnya karena masalah otonomi maupun kedaulatan merupakan milik negara bukan desa sebagai entitas lokal yang terlebih dulu memiliki otonomi sebelum lahirnya negara. Sehingga diibaratkan kehadiran negara dengan produk legislasinya merupakan bentuk “penjajahan” baru negara terhadap desa.
Dalam era sekarang, kita bisa melihat dimensi desa sebagai local state government sendiri mulai tereduksi. Terlebih lagi selama dalam masa penerapan otonomi daerah dalam konteks kekinian. Kita bisa melihat bahwa adanya revitalisasi atas bangkitnya unsur-unsur lokal untuk diafirmasi dan direkognisi. Penguatan itu dilakukan dengan cara memberikan penguatan pada entitas kultural lokal setempat seperti halnya Gampong di Aceh, Banjar di kawasan Kalimantan Barat, dan juga Nagari. Adanya upaya penguatan berbagai kelembagaan lokal tersebut merupakan upaya untuk mereduksi atas pengaruh uniformisasi desa yang dilakukan oleh Pemerintah selama ini (Wasisto Raharjo Jati, 2014:17–26)
Membangun brand desa
Dalam krangka mendinamisasikan politik ekonomi pedesaan, baik pemerintah pusat maupun daerah harus membangun keunggulan daya saing desa, antara lain: perekonomian, sistem keuangan, governance, kebijakan, manajemen makro/mikro ekonomi. Ini adalah tantangan yang dihadapi oleh pemerintah kita saat ini dan mendatang. Membangun keunggulan lewat branding yang kuat akan muncul kesan positif pada pemerintah maupun pemeritah daerah.
Politik ekonomi membangun brand desa adalah sebuah proses yang berkesinambungan, keluarannya adalah reputasi. Penelitian yang dilakukan oleh Ammon (1995: 211), Cunningham (1997:333), Martin dan Kettner (1996:211) menghasilkan temuan bahwa pemerintah yang mampu membangun keunggulan daya saing, yaitu mampu mencapai kinerja di atas normal pada pelbagai bidang ternyata adalah mereka yang memiliki reputasi sebagai penyelenggara pemerintah yang baik (good governance).
Politik ekonomi pedesaan pemerintah harus memelihara dan membangkitkan core capability yang memiliki empat dimensi, yaitu pengetahuan dan keterampilan, teknologi, manajemen, nilai-nilai, dan norma-norma yang ada di masyarakat. Dengan mengelola dan meningkatkan core capability secara langsung pemerintah itu sedang melakukan branding, maka dengan demikian pemerintah akan lebih mudah memasarkan produknya yang berupa kebijakan untuk menghasilkan general social goods yang memenuhi harapan seluruh warganya dibandingkan dengan pemerintah yang tidak melakukan branding.
Ketersediaan general social goods yang berkualitas sebagai akibat keberhasilan melakukan branding akan memicu aliran investasi masuk ke desa tidak hanya capital, tetapi juga teknologi dan human brain.
Seperti halnya perusahaan, pemerintah berkepentingan menarik berbagai kelompok pelanggan, baik di dalam negeri maupun luar negeri, harus memasarkan dan menjual produk, ide, dan jasa kepada orang-orang di dalam maupun luar negeri dalam kerangka meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran warga desa.
Brand adalah asset strategis, dengan brand organisasi memperoleh dukungan kekuatan dan keuangan. Brand yang kuat akan menjadi magnet yang memiliki daya tarik sehingga orang akan selalu menjadikannya sebagai referensi. Dalam kerangka percepatan pembangunan di Indonesia, maka diperlukan suatu image yang sangat kuat yang menjadikan dirinya tampil beda.
Brand adalah suatu proses yang berkesinambungan. Dr. Paul Temporal (1997: 78) seorang pakar dalam brand creation, development, and management, mengatakan ada empat hal yang harus diperhatikan dalam membangun brand, yaitu: 1) pemerintah harus memahami bahwa branding itu bukan sekadar membuat logo, melainkan melakukan kegiatan yang dapat dilihat dan dirasakan manfaatnya oleh pelanggan, 2) brand yang kuat itu dibangun melalui strategi yang jelas. Brand yang kuat selalu dicirikan dengan mudah dipahami dan diingat oleh rakyat. Brand adalah janji dan oleh karena itu harus realistik, kredibel, dan dapat dipercaya. Satu hal yang paling penting brand harus mampu di deliver, 3) brand memerlukan konsistensi dalam berbagai bentuk, 4) perlu ada upaya yang serius untuk mengawal dan menjaga brand. Brand dalam konteks daerah adalah aset strategis, oleh karena itu harus dipelihara sepanjang waktu oleh siapa saja baik oleh mereka yang berada dalam pemerintahan maupun oleh warga masyarakat.
Dengan demikian, maka setiap desa di Indonesia harus segera menetapkan dirinya sebagai daerah argopolitan dengan core competency di bidang pertanian, perikanan, atau dengan kata lain sesuai dengan potensi desanya dengan memanfaatkan alokasi dana desa satu milyar setiap desa. Untuk itu pemerintah desa perlu memacu diri meningkatkan kapabilitasnya, yaitu kemampuan untuk melakukan dan mengembangkan tindakan efektif secara efisien.
Dengan peningkatan kapabilitas maka pemerintah desa dapat melakukan perubahan yang berkesinambungan. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Dean Joseph Nye dari Kennedy School’s of Government, bahwa pemerintah (desa) dengan jelas harus melakukan perubahan yang berkesinambungan sebagai suatu proses fundamental. Tidak ada cara yang lebih baik selain melakukan inovasi dalam pemerintahan yang tidak hanya mencakup perubahan menuju best practise atau menyediakan informasi yang mudah diakses, tetapi yang lebih penting inovasi itu sendiri harus melembaga dalam pola pikir aparatnya yang benar-benar di pahami oleh masyarakat.
Inovasi dalam kerangka untuk membangun brand agar memiliki perceived value yang unggul, paling tidak harus mencakup enam bidang yaitu: 1) produktivitas, pemerintah harus dapat menghasilkan lebih banyak pelayanan dengan memungut (pajak) lebih rendah. Ini akan meningkatkan daya saing; 2) marketization, pemeraintah harus dapat menggunakan marketstyle incentives untuk membasmi penyakit birokrasi pemerintah ; 3) orientasi pelayanan, pemerintah harus dapat mencari jalan bagaimana menjalin hubungan yang lebih baik dengan warganya; 4) desentralisasi, pemerintah harus dapat mendorong jajarannya untuk melaksanakan program yang lebih responsif dan efektif; 5) kebijakan, pemerintah senantiasa meningkatkan kapasitasnya untuk merumuskan dan menjalankan kebijakkannya dengan benar; 6) accountability for result, pemerintah senantiasa meningkatkan kemampuannya agar bisa mewujudkan apa yang dijanjikan ( Ben Senang Galus, 2014: 507)
Enam bidang yang direkomendasikan tadi, untuk membangun desa yang bereputasi harus menjadi agenda utama pemerintah. Dengan asumsi bahwa pemerintah harus menetapan sekurang-kurangnya tiga strategi percepatan pembangunan, yaitu pertama, menjadikan salah satu atau lebih sektor pembangunan atau sesuai dengan potensi wilayah sebagai brand kabupten, kedua, peningkatan kualitas SDM agar produktivitasnya meningkat, ketiga, menjaga kepercayaan masyarakat.***
There is no ads to display, Please add some