Pindahkan Altarmu ke Tempat yang Lebih Dalam Lagi

Oleh: Ben Senang Galus, Penulis buku/esais, tinggal di Yogyakarta

beritabernas.com – Sebuah group Whatsapp (WA) Alumni Yogyakarta sejak mata hari terbit hingga siang hari membahas kemiskinan dan sedikit menyinggung gereja dan para imam. Selesai terlibat dalam diskusi di WA itu, saya teringat dengan tulisan saya berjudul: 100 Tahun SVD di Tanah Manggarai: Momentum Moventur Super Altare(S), dalam buku Terang Sabda di Bumi Penuh Rahmat, Kenangan 100 Tahun SVD Berkarya di Manggarai, editor P Wilfridus Babun SVD (Percetakan Obor 2021). Sebagian besar tulisan ini diambil dari tulisan saya dalam buku tersebut, dengan sedikit catatan dan perubahan.

Sejak masuk ke tanah Manggarai awal abad ke 19, Gereja Katolik Manggarai yang dirintis oleh misionaris SVD, telah banyak karya yang dikerjakan, dirasakan dan dinikmati oleh orang Manggarai dalam berbagai dimensi kehidupan. Tidak hanya dalam bidang Opus praedicate ad Christi, ut verbum dei currat-mewartakan karya Kristus, mewartakan firman Tuhan (bidang iman dan moral)-tetapi juga dalam bidang sosial karitatif lainnya, seperti membangun sekolah, membangun kapel, membangun rumah percontohan, kursus pertukangan, membangun rumah sakit, membangun jalan raya, dan membangun jembatan, pengembangan ekonomi umat, dan sebagainya.

Kehadiran dan keberadaan Gereja di tanah Manggarai tidak saja, mengutip pepatah bahasa Latin, Signo Temporum (menafsir tanda zaman), melainkan juga Tempora Mutandur Signum, mengubah tanda zaman menjadi sebuah vita reali (kehidupan nyata). 

Makna Gereja sejati bukan hanya terletak pada kepemilikan nota ecclesia: adanya pemberitaan firman Allah yang benar; penyelenggaraan sakramen yang kudus dan penekanan disiplin, tetapi telah menjadi Ecclesia Enim Esse Alios (Gereja bagi orang lain). Garam dan terang tidak hanya berfungsi bagi dirinya sendiri, tetapi juga bagi orang lain.            

Etos kerja

Banyak stigma buruk yang melekat dalam tubuh Gereja Katolik Manggarai, di antaranya Gereja sudah keluar dari misi sejatinya dan lebih berpihak pada kaum kapitalis dan berselingkuh dengan birokrasi lokal. Gereja dalam penziarahannya belum mampu mengatasi persoalan sosial yang dihadapi oleh orang Katolik Mangggarai, seperti kemiskinan, kesehatan (buruk) dan mutu pendidikan rendah dan sebagainya semacam itu. Sehingga tidak heran orang kristiani yang miskin pun mudah dijumpai di Manggarai.

Manggarai, yang selama ini dikenal sebagai salah satu kantong Katolik di NTT pun ada semacam stereotip dengan kemiskinan, kesehatan buruk, mutu pendidikan rendah, ada imam “nakal”, dan persoalan lainnya seperti banyak umat Katolik yang belum dibaptis, belum nikah Gereja. Apakah ini sebuah pertanda kegagalan Gereja Katolik Manggarai  dalam mengemban misi sejatinya?

Studi Max Weber (1958) menjelaskan, bahwa salah satu penyebab kemajuan ekonomi negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat adalah adanya Etika Protestan; di mana kepastian nasib di akhirat ditentukan oleh keberhasilan (etos) kerja. Apabila seseorang bekerja dan selalu sukses, maka pasti masuk surga. Ini berarti agama Kristen sudah terbukti atau berkorelasi positif dengan kesuksesan kesejahteraan ekonomi Eropa Barat dan Amerika.  

Robert Neli Bellah pada Agama Tokugawa di Jepang, dalam Tokugawa Religion (1957), mengatakan, apa yang ada pada etika protestan, juga terdapat dalam ajaran agama tradisional Tokugawa di Jepang. Itulah sebabnya, Jepang berhasil menjadi kapitalis tangguh Asia yang mensejajarkan diri dengan Eropa dan Amerika.

BACA JUGA:

Tertarik dengan temuan Weber, David C McClerlland mengakui, bahwa kesuksesan ditentukan oleh ethos kerja. McClelland menyimpulkan, kesuksesan tergantung kebutuhan akan prestasi (the need for achievement atau n-ach) (McClelland, 1984; 1961), termasuk prestasi untuk menjalani ajaran agama yang dianut seseorang.

Penyebarluasan agama-agama Kristeni (baca: Katolik) di Manggarai tidak sepihak dengan the protestan ethic seperti Weber dan Tokugawa Religion-nya Robert Neli Bellah. Penyebarluasan agama-agama kristiani di Manggarai lebih menekankan pada kemiskinan sebagai jalan menuju surga dan kekayaan sebagai jalan menuju neraka.

Elaborasi ayat-ayat dalam Injil lebih berpihak kepada kemiskinan. Tidak banyak, bahkan tidak ada, elaborasi ayat-ayat Injil yang memahami kemiskinan sebagai dosa. Atau gereja-gereja di Indonesia belum memposisikan teologi bahwa kemiskinan adalah dosa. 

Tuhan datang untuk kaum miskin

Elaborasi ayat-ayat Injil selalu memberi inspirasi pembenaran atas kemiskinan, misalnya ajaran yang membenarkan kemalasan dan tidak perlu gelisah dengan hari esok (Matius 6: 25-34; Luk: 22-31), kemiskinan sebagai jalan ke surga (Matius, 5: 3; Lukas, 6: 20), jangan mengumpulkan harta (Matius, 6: 19, 21), dan meninggalkan kekayaan(Matius, 19: 16-24; Markus, 10: 17-27; Lukas, 18: 18-27).

Selain elaborasi ayat-ayat Injil, juga dielaborasi lewat simbol-simbol kejadian seputar kehidupan Yesus. Kesederhanaan proses kelahiran Yesus, dipilihnya Yosef yang tukang kayu sebagai ayah Yesus dan selama hidupNya, Yesus berkarya untuk orang-orang kecil. Setiap orang Kristiani yang saleh pasti mendambakan hubungan yang dekat dengan Yesus. Salah satu cara untuk didekati Yesus adalah menjadi orang miskin; sebab  kalau sudah kaya tidak akan diperhatikan Yesus.

Gereja-gereja lokal Manggarai cukup getol melakukan siaran teologi kemiskinan yang mengarah kepada kemiskinan sebagai jalan menuju surga. Ini berarti kemungkinan bagi mereka yang Kristiani saleh akan memilih kemiskinan sebagai jalan hidup. Apakah ini benar?

Kalaupun Gereja ikut dalam pemberantasan kemiskinan, itupun masih sama juga dengan gerakan-gerakan yang dilakukan oleh pemerintah dan swasta yang lainnya, yaitu pelatihan keterampilan, bantuan permodalan, penciptaan pasar, dan pengelolaan modal. Aspek teologi kerja tidak disentuh. Kalaupun disentuh, tetap dalam rangka menghibur kaum miskin, Tuhan datang untuk kaum miskin.

Kemiskinan iman di Manggarai merupakan persoalan yang saling berkaitan. Kemiskinan iman telah membuat ribuan anak Manggarai belum di babtis, ribuan umat yang bermurtat, ribuan umat kawin di luar nikah gereja, ribuan umat pada hari Minggu tidak beribadah, ribuan umat kawin lari. Itu semua merupakan bagian persoalan kecil dari persoalan Gereja Katolik Manggarai dan masih ada lagi persoalan yan besar seperti kurangnya jaminan sosial dan perlindungan terhadap keluarga, menguatnya arus urbanisasi ke kota, ke luar negeri, meninggalkan istri dan anak, Tenaga Kerja Wanita dan yang lebih parah, kemiskinan menyebabkan ribuan rakyat Manggarai tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan dan semakin menjauh dari gereja.

Di sisi lain, kemiskinan di Manggarai, bahkan membuat ribuan umat rela mengorbankan apa saja demi mempertahankan keselamatan hidup (Bandingkan dengan James C Scott, 1981), menyebabkan ribuan orang menjadi tenaga kerja ke luar negeri (TKI). Seakan-akan gereja tutup mata.

Kondisi yang menimpa banyak anak kecil belum dibabtis, banyak umat yang belum nikah gereja, banyak orang Katolik Manggarai menjadi penghuni rutan, merupakan potret buram terhadap kegagalan Gereja Katolik Manggarai, sekaligus kegagalan Gereja.  

Menyalakan obor

Beberapa abad lalu seorang filsuf Yunani Diagne le Cynique menyalakan obor di siang hari, seraya berjalan di tengah kerumunan manusia. Ketika salah seorang di antara kerumunan itu bertanya perihal perbuatannya itu, sang filsuf menjawab uffatisu an insanin” Artinya aku sedang mencari manusia.

Apa yang dilakukan sang filsuf tadi, sebenarnya adalah reaksi keprihatinan atas kehidupan manusia pada zaman dan tempatnya, kondisi kehidupan mana sudah terlalu jauh dari alam kemanusiaan manusia, alam kerohaniaan, karena tergilas oleh semangat gaudeamus igitur iuvenes dum sumus (bersenang-senang selama kita masih muda/hidup). 

Sudah saatnya Gereja dan para imam menyalakan obor di siang hari seraya berjalan di tengah umat, dengan menyerukan Uffatisu an Catholic Manggarainin (aku sedang mencari orang Katolik Manggarai). Hal ini beranjak dari hasil refleksi intens saya selama beberapa tahun terakhir ini di mana banyak orang Katolik Manggarai saat ini sedang menjauhi kehidupan Gereja yang dicita-citakannya dan dicita-citakan oleh sebuah Gereja umumnya.

Orang Katolik Manggarai yang semestinya menampilkan semangat Kristus, justru begitu tumpul dalam kehidupan Gereja. Kultur Gereja yang semestinya bertumbuh subur, namun justru tertimpa kemarau panjang, kemarau kemiskinan.

Tidak sedikit umat kita meninggalkan identitas kekatolikkannya dan lebih memilih “hijrah ke dunia provan atau dunia sekuler”. Banyak umat Katolik terlibat korupsi, perjudian, perselingkuhan (diduga tidak sedikit juga imam) demi pemenuhan keinginan sosial dan kebendaan semata. Sehingga hubungan Gereja  dengan umat tidak lebih bersifat  loco parentis, sebagai anak asuhan dari sebuah Gereja dan selebihnya sebagai bohemians ecclesia (petualang-petualang gereja).

Kebesaran sebuah Gereja tidaklah ditentukan oleh lancar dan tertibnya seluruh peraturan Gereja dan proses ibadah (misa), akan tetapi sejauhmana seluruh umat Katolik itu menegakkan dan menjunjung tinggi kehidupan (kultur) Gereja, yang tampak dalam semangat morality bewareness dan semangat morality inquiry. Kedua semangat ini merupakan faktor kunci bagi tumbuhnya suatu kehidupan menggereja di Manggarai.

Ibadah (“misa”) hanyalah salah satu elemen penting, namun bukan satu-satunya jantung utama yang menggerakkan kehidupan Gereja. Jantung kehidupan Gereja (menggereja) bukan hanya terletak pada proses ibadah (“misa”) pada hari Minggu. Menurut saya ada tiga elemen penting yang menjadi modal pertumbuhan kehidupan menggereja.

Pertama, Injil (doa) atau disebut “morality machine”, sebagai mesin yang menggerakkan sendi-sendi kehidupan iman umat Katolik. Kedua, lingkungan sosial atau disebut laboratory church, sebagai tempat untuk melatih umat Katolik dalam menaburkan semangat Injil demi menunjang kegiatan peran sosial Gereja secara keseluruhan.

Ketiga, hubungan kooperatif umat-imam/uskup. Antara umat-imam atau uskup perlu dikembangkan relasi partnership demi terwujudnya suatu hubungan kooperatif yang harus dilandasi oleh semangat Injil dan Ajaran Sosial Gereja tentunya berlandaskan keterbukaan dan  kejujuran (lihat Ben Senang Galus (ed) Spiritualitas Kekaryaan Gereja Katolik Manggarai Memandang Masa Depan, Refleksi 100 Tahun Gereja Katolik Manggarai h. 17-21).

Penggungah hidup

Gereja harus hadir sebagai penggugah hidup masyarakat atau penguasa. Oleh karena itu Gereja tidak hanya puas menyebut diri animale rationale, tetapi lebih dari itu ia juga sebagai ens sociale, artinyaimam bercendekiawan, berperan mengabdikan dirinya kepada kebenaran, kejujuran, kebaikan, keadilan, kedamaian dan keindahan serta memiliki moral dan agama yang kuat serta lebih berpihak kepada masyarakat kecil.

Persoalan ini memang tidak berdiri sendiri. Seiring dengan munculnya sistem kekuasaan yang korup, Gereja harus mengambil peran sebagai serviens in lumine veritatis (melayani dalam cahaya kebenaran) yang lebih menekankan aspek ens sociale. Karakteristik sistem pelayanan seperti menciptakan hubungan umat dengan gerejanya bersifat loco parentis, sudah saatnya ditinggalkan. Dengan pengertian bahwa para umat ibarat “anak asuhan” dari sebuah Gereja  yang bertanggungjawab atas bimbingan dan perkembangan pribadi iman umat.  

Agar Gereja sungguh berakar, maka umat harus berteriak: “tanggalkan jubahmu, berdiri lalu bertindak. Bangunlah altarmu di tempat-tempat yang lebih dalam lagi”, di Mukang-Mukang (pondok besar di kebun), di Sari-Sari (rumah tempat produksi gula aren), di Sekang-Sekang (pondok kecil di kebun), di Uma-Uma (di kebun-kebun), di lahan pertambangan, di bawah pohon kopi, di hutan-hutan (puar), di kampung nelayan, dan lain sebagainya.

Dengan bertindak demikian Gereja atau para imam membangun Gereja Kristus, meneruskan perutusan Yesus Kristus, Gereja yang setia pada perutusannnya, Gereja yang memiliki komitmen dan keberanian untuk menegakkan Kerajaan Allah di Tanah Manggarai, bukan Gereja Pilatus, yang memilih mencuci tangan dan tak peduli pada hidup manusia.

Gereja harus terlibat secara aktif memberantas kemiskinan dan keterbelakangan. Jangan hanya berteriak, hentikan proyek geotherma, itu bukan tugasmu. Dengan cara demikian Gereja telah mewartakan prinsip moral Gloria Dei Vivens Homo, Irenius, Adversus Haereses (memancarkan cahaya kemuliaan Allah penciptanya).  Dan segera di momen tahun Yubelium ini, jadikan Gereja sebagai momentum moventur super altare(s), memindahkan altarmu di tempat yang lebih dalam lagi. (*)

 

There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *