Pembusukan Demokrasi

Oleh: Ben Senang Galus

beritabernas.com – Ketika Orde Baru runtuh 1998, demokrasi mengalami kebangkitan. Kekuasaan bergeser dari pusat ke daerah, dari bureaucratic government menjadi party government, dari executive heavy menjadi legislative heavy dan dari floating mass menjadi mass society yang penuh dengan eforia.

Kekuasaan yang sebelumnya terkonsentrasi pada ABCG (ABRI, Birokrasi, Cendana dan Golkar) terpencar ke parlemen, partai, korporatis (swasta), masyarakat sipil maupun “preman.” UU Nomor 22/1999 dan beberapa perubahannya, memberikan kekuasaan yang lebih besar kepada parlemen lokal (DPRD), termasuk kekuasaan dalam pilkada. UU itu juga mengurangi dominasi ABCG dan memberi ruang bagi bangkitnya “putera daerah” dalam pemilihan kepala daerah (pilkada). Kepala daerah, terutama bupati/ walikota, tidak lagi bertanggungjawab ke atas melainkan bertanggungjawab secara horizontal kepada parlemen (DPRD).

Dua kekuatan

Pada umumnya transisi menuju demokrasi didasarkan pada negosiasi dengan kekuatan-kekuatan yang mendukung rezim otoriter dengan alasan-alasan; permulaan demokrasi (democratic openings) yang biasanya terjadinya perpecahan koalisi kekuatan-kekuatan rezim otoriter. Di mana kekuatan-kekuatan tersebut menginginkan bentuk pemerintahan yang lebih demokratis sehingga memungkinkan mereka memperoleh kekuasaan.

Demokrasi dianggap pula dapat mengembalikan legitimasi tertib sosial dan dapat menyediakan sistem pengambilan keputusan yang teratur dan terbuka sehingga tercipta lingkungan yang kondusif untuk menjalankan roda perekonomian.

Eforia reformasi menjadi peluang bangkitnya kekuatan korporatisme dalam mengendalikan negara, terutama sektor sumberdaya ekonomi. Kekuatan negara menjadi lemah karena dikendalikan oleh tangan-tangan tersembunyi (invisible hand) yang disebut oligarki atau korporat.

Sebagaimana model korporatisme-negara dari Philippe C Schmitter, dalam Trantiton From Authoritarian Rule: Tentative Caonclusions About Uncertains Democracies (1986) menegaskan: ”korporatisme adalah suatu sistem perwakilan kepentingan di mana unit-unit yang membentuknya diatur dalam organisasi-organisasi yang jumlahnya terbatas dan bersifat tunggal. Mewajibkan (keanggotaan), tidak saling bersaing, diatur secara hirarkis yang diakui atau diberi izin (kalau tidak diciptakan sendiri) oleh negara dan diberi hak monopoli untuk mewakili kepentingan dalam bidangnya masing-masing. Sebagai imbalan atas kesediaan mematuhi pengendalian-pengendalian tertentu dalam pemilihan pimpinan mereka dan dalam artikulasi tuntutan dan dukungan.”

Korporatisme sebagai tanggapan terhadap kepentingan kapitalis dalam menciptakan tatanan politik yang mendukung pertumbuhan ekonomi memunculkan dua kekuatan korporatisme. Pertama, Korporatisme Masyarakat: terjadi di negara-negara yang maju kebutuhan utamanya adalah kestabilan rezim yang didominasi borjuis karena kaum usahawan yang dominan itu harus menghadapi persaingan dalam ekonomi internasional. Maka kebutuhan itu dipenuhi dengan cara menggandeng dan melibatkan anggota-anggota kelas bawah ke dalam proses politik dan memberi mereka keuntungan material. Sehingga kapitalis dapat bersaing dengan baik di dalam ekonomi internasional yang kemudian menyebabkan merosotnya politik pluralis secara bertahap dan munculnya korporatisme masyarakat.

Kedua, Korporatisme Negara. Biasanya terjadi pada negara-negara berkembang. Di mana lemahnya kaum borjuis dan ketergantungan pada faktor-faktor eksternal dan kurangnya sumber daya negara. Sehingga membatasi negara untuk memenuhi tuntutan kelas bawah, sehingga negara memandang perlu untuk menciptakan “ketentraman sosial”. Bukan dengan memasukkan mereka dalam sistem politik tapi menindas dan menutup kemungkinan artikulasi tuntutan kelas bawah secara bebas sehingga memunculkan korporatisme negara.

Sistem politik Indonesia termasuk dalam jenis korporatisme negara ini. Namun kemudian terjadi perubahan dengan mengadakan pemilihan kepala daerah langsung, sehingga korporatisme negara berakhir dan sebagai wujudnya di daerah adalah desentralisasi.

BACA JUGA:

Berdasarkan pemahaman tersebut sebagai pijakan dalam melihat pecahnya korporatisme kekuatan lama yang mana di masa Orde Baru berusaha untuk melakukan penekanan dan penutupan akses politik. Namun kemudian munculnya kekuatan-kekuatan baru yang memecahkan dominasi kekuatan-kekuatan yang lama sehingga kekuatan-kekuatan lama tidak mampu lagi melakukan penetrasi. Penetrasi korporatisme baru melahirkan politik identitas dalam dimensi keagamaan, sosial budaya, dan aliran di daerah dan mengancam otensitas demokrasi.

Kekuatan korporatisme yang membentuk identitas ini mendorong lahirnya identitas-identitas baru di daerah paska dikeluarkannya Undang-Undang 22 Tahun 1999 dan segala peraturan perubahannya berdasarkan (ber)latar belakang agama, budaya, suku maupun bisnis akan mengancam demokrasi. Demikian seterusnya akan memperkuat lahirnya etnonasionalisme dan dan etnodemokrasi di daerah pasca reformasi.

Sebenarnya persaingan antara etnis maupun agama dalam memperebutkan pengaruh sebenarnya sudah berlangsung lama. Pada masa awal kemerdekaan (ketika merumuskan dasar Negara Pancasila) terjadi tarik menarik antara Kristen dengan Islam. Kelompok Islam menghendaki harus mencantumkan Syariat Islam dalam Pancasila. Konflik inilah menjadi embrio terjadinya konflik di Indonesia sampai kepada praktik politik Pilkada.

Pada masa Orde Lama pengangkatan pejabat politik dilakukan harus mengakomodir aspirasi etnis. Namun pada Orde Baru persaingan antar etnis tidak muncul ke permukaan karena berhasil ditekan oleh pemerintah pusat dengan pengangkatan pejabat politik dari pemerintah pusat. Dan berdasarkan usulan dari kelompok kelompok yang mengajukan aspirasi pada saluran tertentu. Seperti misalnya kelompok kepentingan berbasis ekonomi (Kadin, Gapensi, dll), berbasis militer (Pepabri, LVRI,dll). Termasuk kelompok yang berbasis keagamaan seperti Islam atau Majelis Ulama Indonesia (MUI), Kristen atau Katolik.

Selain partai politik yang mengusung kandidat calon kepada panitia pemilihan dalam wadah lembaga penerima aspirasi yang dibentuk oleh DPRD Provinsi/kabupaten. Yang kemudian menyaring bakal calon yang dajukan kemudian diserahkan ke setiap fraksi untuk diseleksi.

Setelah reformasi, korporatisme negara tidak lagi dapat bertahan. Yang kemudian berubah menjadi pluralis karena sumber kekuasaan tidak lagi berasal dari pengangkatan pemerintah pusat dan berdasarkan akomodasi dari kelompok kepentingan tertentu. Karena terbukanya ruang politik bagi masyarakat dalam menyampaikan calon pemimpin sesuai dengan kepentingannya sehingga kemudian sumber kekuasaan menjadi banyak saluran. Termasuk dari masyarakat dengan pemilihan langsung sebagai wujud desentralisasi politik, di mana kemudian terjadi sirkulasi elite secara terbuka, kecuali di beberapa daerah tertentu.

Rakyat diberi akses luas

Demokratisasi yang berjalan dengan desentralisasi dengan asumsi bahwa rakyat sebagai pihak yang berdaulat tidak hanya dilayani dengan baik. Namun juga diberikan ruang akses yang cukup luas dalam proses pengambilan keputusan salah satunya dalam pemilihan kepala daerah. Sehingga kepala daerah yang dipilih oleh representasi rakyat secara murni tanpa intervensi dan patronase pemerintah pusat.

Karena otonomi daerah adalah buah dari kebijakan desentralisasi dan demokratisasi, maka harus dipahami sebagai sebuah proses untuk membuka ruang bagi lahirnya kepala daerah yang dipilih secara demokrastis. Dalam proses peralihan dari korporatisme negara ke pluralis tersebut mengakibatkan perubahan struktur elite politik di Indonesia terjadi peralihan dari elite agama ke suku atau bahkan kedua-duanya.

Selain teoeri korporatisme negaranya Philippe C Schmitter sebagai alat analisis sebelumnya, maka analisis terjadinya pergantian elit di Indonesia ke depan dalam konteks politik di Indonesia penulis menggunakan teori yang dikemukakan Pareto dalam Ricardo Peres Marco: On Pareto Theory of Circulation Elites (2014) tentang pergantian elite. Yakni diantara kelompok-kelompok elite yang memerintah. Pergantian diantara elite dengan penduduk lainnya yang bisa saja berasal dari individu. Dari lapisan yang berbeda ke dalam kelompok yang sudah ada atau individu-individu dari lapisan bawah yang membentuk kelompok elite baru dan masuk ke dalam kancah perebutan kekuasaan dengan elite yang sudah ada.

Selain itu diperlukan kecakapan untuk memimpin dan menjalankan kontrol politik dan pergantian elite terjadi jika elite yang berkuasa tidak mampu memberikan layanan yang diperlukan oleh massa. Atau layanan yang diberikan dianggap tidak bernilai lagi, atau muncul agama baru, atau terjadi perubahan pada kekuatan-kekuatan sosial yang ada dalam mayarakat, maka perubahan adalah sesuatu yang tidak dapat terhindarkan.

Dalam konteks politik lokal, elite politik lokal dapat dilihat dalam tiga kategori. Pertama, elite berdasarkan pelapisan sosial yang terdiri atas tiga kelompok sosial. Yaitu raja dan kerabat/kelompok bangsawan, kelompok orang yang merdeka/memiliki kebebasan, dan kelompok hamba. Kedua, elite berdasarkan charisma (elite strategis) dalam sistem pemerintahan kerajaan. Yaitu pemimpin adat, dan agama. Ketiga, elite berdasarkan kegiatan fungsional, yaitu cendekiawan, usahawan, dan pahlawan. Elite fungsional ini menempati elite strategis dalam piramida sosial. Dngan terbukanya peluang untuk menjadi elite bagi setiap lapisan masyarakat di Indonesia menyebabkan pengelompokan berdasarkan kelompok militer, suku, bangsawan, ulama, dan kelompok lainnya, semakin menguat pada pilkada serentak 2024.

Politik wacana dan biopolitik

Pandangan Foucault, dalam Haryatmoko, SJ (2022) yang mencakup dua komponen kunci yakni politik wacana dan biopolitik. Dalam politik wacana, kelompok-kelompok marginal (yang tertindas) yang berusaha untuk menghadapi wacana-wacana hegemonik yang memposisikan individu-individu ke dalam straitjacket (pengekang) identitas-identias normal untuk melepaskan kebebasan bermainnya perbedaan-perbedaan.

Dalam masyarakat apapun wacana adalah suatu bentuk kekuasaan karena hukum-hukum yang mendeterminasi wacana memaksakan norma-norma yang dianggap rasional, sehat atau benar. Dengan demikian berbicara di luar hukum-hukum tersebut berisiko terpinggirkan dan terabaikan.
Dalam pandangan Foucault semua wacana dihasilkan oleh kekuasaan, tetapi mereka tidak tunduk total terhadapnya dan dapat menggunakannya sebagai titik tolak untuk menolak bahkan pijakan awal bagi suatu strategi perlawanan.

Sebaliknya dalam biopolitik (bio struggle) entitas-entitas individual berusaha untuk memberontak dari cengkaraman kekuasaan disiplin dan menanam kembali tubuh (sebagai sebuah lembaga) dengan menciptakan model-model kesenangan dan kepuasan baru. Namun keduanya bertujuan untuk memfasilitasi perkembangan bentuk-bentuk baru dari subjetifitas dan nilai-nilai.

Penulis menggunakan politik identitas etnis dalam memahami peralihan dari korporatisme negara menjadi pluralis dalam konteks Pemilihan Kepala Daerah Langsung di Indonesia, Dengan menggunakan dua pendekatan terhadap etnisitas yakni pendekatan primordial yang membedakan ikatan sosial atas ikatan primodial, personal berdasarkan kesatuan kewilayahan, agama, kebudayaan. Di mana dalam persaingan mendapatkan simpati dan suara terbanyak, elite politik menggunakan mesin-mesin politiknya untuk mempertajam kesatuan-kesatuan politik.

Di antaranya dengan mengangkat identitas etnis yang sebenarnya berada dalam alam bawah sadar masyarakat sebagai bagian dari etnis tersebut. Etnisitas menjadi aspek yang penting dalam gagasan tentang pembedaan bermunculan sebagai politik identitas dari kelompok-kelompok etnis yang selama ini terpinggirkan oleh dominasi etnis dominasi etnis lainnya. Dan menggunakan pendekatan instrumentalism yang melihat etnisitas sebagai sumber kekuatan sosial, budaya dan politik. Dari kelompok-kelompok atau elite-elite dalam hal penentuan calon kepala daerah dalam berkompetisi memperoleh sumber kekuasaan dengan memanipulasi simbol etnis untuk mendapat dukungan massa dalam pilkada.

Pembusukan demokrasi

Bangsa Indonesia yang kini sedang mengalami proses transisi demokrasi, benar-benar sedang berada dalam situasi kritis. Karena kini kita tepat berada di persimpangan jalan keselamatan atau jalan kehancuran. Bila proses transisi ini tidak dapat kita lalui dengan baik, ancaman yang kita hadapi akan terjadi disintegrasi bangsa. Tetapi yang lebih mengkhawatirkan adalah kemungkinan terjadinya proses disintegrasi sosial atau hancurnya social bond (kerekatan sosial) dalam masyarakat.

Bila social bond hancur, akan tumbuh social distrust (iklim tidak saling mempercayai) di antara kelompok-kelompok sosial. Sehingga kelompok satu dengan yang lain dalam masyarakat akan saling curiga, saling bermusuhan atau bahkan saling berupaya meniadakan. Dalam situasi ini, tawuran massal gaya Thomas Hobbes, war of all against all (belum omnium contra omnes), bukan lagi menjadi khayalan.

Situasi yang penuh pertentangan diantara masyarakat itu dinamakan state of nature. Di mana manusia saling bersaing dan berkompetisi tanpa aturan dan ketiadaan hambatan atau restriksi untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Bahkan jika perlu membunuh dan penghalalan segala cara lainnya atau paling tidak menguasai orang lain.

Pada tataran abstraksi ini, manusia dipandang sebagai srigala yang saling berkelahi untuk mendapatkan kebebasan atau makanan bagi dirinya. Jadi aturan yang adapun hanya dipergunakan agar tidak terjadi tindakan yang mungkin menghancurkan diri sendiri atau dalam bahasa lain “Suatu proses untuk memperoleh apa yang kita kehendaki ataupun mengelakkan apa yang tidak kita sukai” (Deliar Noer, 1982).

Bagi Hobbes, cara yang paling efektif untuk menghentikan situasi itu adalah dengan menciptakan suatu pemerintahan yang kuat agar mampu melakukan represi dan menegakkan aturan. Sosok pemerintah yang kuat itu digambarkan sebagai Leviathan, makhluk yang menyeramkan dari lautan dan setiap orang menjadi lemah dan takut berhadapan dengannya. Dengan itu, masyarakat dapat ditertibkan dan dikendalikan. Uniknya, sosok itu sendiri dibutuhkan oleh masyarakat yang saling berkelahi itu untuk menciptakan ketertiban. Dalam nada yang lebih positif, John Locke menggambarkan situasi yang mendorong manusia untuk melakukan kesepakatan diantara mereka sendiri untuk mengadakan badan sendiri yang mempunyai kekuasaan politik.

Di Indonesia, konflik horizontal dan pertarungan kekuasaan antar elite politik baik yang berkedudukan di lembaga legislatif maupun eksekutif, telah menyeret kehidupan berbangsa dan bernegara kedalam kekalutan, ketegangan dan krisis berkepanjangan. Indonesia sedang mengalami pembusukan demokrasi (decaying democracy), pembusukan politik (political decay) tapi juga pembusukan sosial ekonomi (social-economic decay).

Pembusukan demokrasi, politik, dan sosial ekonomi, sangat kasat mata ketika Mahkamah Konstitusi mengumumkan untuk mengabulkan salah satu gugatan tentang batasan umur calon wakil presiden (MK RI, 2023). Modal politik (political capital) hancur berkeping-keping akibat konflik para elite yang terkesan tidak tahu diri dan irasional. Modal ekonomi (economic capital) meleleh akibat ketidakberesan dan ketidakmampuan para pengambil keputusan maupun kepemimpinan nasional dalam mengelola perekonomian, sedangkan modal sosial (social capital) tergerus habis akibat krisis kepercayaan dari masyarakat terhadap para pemimpin nasional yang ada.

Indonesia yang dilanda multi krisis dewasa ini memerlukan kepemimpinan nasional yang ikhlas dan komit untuk membangkitkan spirit, aktivisme dan intelektualisme beserta segenap sumber daya rakyat dalam menyelamatkan reformasi total yang pada hakekatnya adalah menyelamatkan bangsa dan negara.
Para pemimpin generasi tua terbukti telah menyia-nyiakan kesempatan sejarah (historical opportunity) untuk mengimplementasikan enam visi reformasi yang sudah dipertaruhkan jutaan rakyat, mahasiswa dan kaum muda dengan darah dan airmata.

Generasi tua ini ternyata sangat lembek, penuh intrik, saling sikut dan sarat pertarungan kepentingan (conflict of interest), dan menjadi dalang pembusukan demokrasi. Ujungnya adalah perebutan kekuasaan dan uang, dengan cara mendayagunakan dan menyalahgunan ”konstitusionalisme” sebagai senjata legal formal untuk mempertahankan atau menjatuhkan kekuasaan.

Sementara, supremasi hukum atau kepastian hukum belum ditegakkan pemerintah dan yudikatif dalam upaya menciptakan keadilan, kepercayaan dan harapan. Itu semua dalam rangka gerakan pembusukan demokrasi baik tingkat lokal maupun nasional. (Ben Senang Galus, Penulis buku dan Esais, tinggal di Yogyakarta)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *