Penggunaan AI dalam Jurnalisme Berpotensi Bias Informasi yang Mengancam Kredibilitas Media

beritabernas.com – Salah satu tantangan terbesar dari penggunaan AI (Artificial Intelligence) atau kecerdasan buatan dalam jurnalisme adalah risiko etika, terutama terkait potensi bias informasi dan ancaman terhadap kredibilitas media. 

Karena itu, jurnalis harus tetap menjunjung tinggi integritas dan independensi serta selalu berpegang pada kode etik jurnalistik. Hal ini untuk memastikan bahwa informasi yang disebarkan kepada publik adalah benar sehingga kredibilitas media tetap terjaga.

Hal itu disampaikan Farida Dewi Maharani, Plt Direktur Ekosistem Media pada Direktorat Jenderal Komunikasi Publik dan Media, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) dalam media talks dan workshop di Hotel Harper Malioboro Yogyakarta, pada Senin 6 Oktober 2025.

Acara yang mengusung tema Masa Depan Jurnalisme di Era Artificial Intelligence yang diikuti oleh 95 jurnalis dari media lokal, homeless media dan pers mahasiswa ini diadakan atas kerja sama Dewan Pers, Komdigi dan media Tirto.id.

Farida Dewi Maharani, Plt Direktur Ekosistem Media pada Direktorat Jenderal Komunikasi Publik dan Media, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menyampaikan sambutan dalam media talks dan workshop di Hotel Harper Malioboro Yogyakarta, pada Senin 6 Oktober 2025. Foto: Philipus Jehamun/beritabernas.com

Menurut Dewi Maharani, salah satu peran yang dilakukan Komdigi adalah mendukung kapasitas insan media atau sumber daya manusia, antara lain melalui acara seperti ini. Ia mengatakan, tantangan AI memerlukan kesiapan sumber daya manusia. Sebab, teknologi AI adalah tools, sehingga bagus atau tidaknya produk yang dihasilkan bergantung pada orang di baliknya.

“Konsen untuk peningkatan kapasitas SDM ini menjadi penting, tidak hanya bagaimana memanfaatkan teknologi yang lebih efektif, tapi juga memastikan pemanfaatan tersebut secara bijak,” kata Dewi.

Ketua Komisi Kemitraan, Hubungan Antar Lembaga, dan Infrastruktur Dewan Pers, Rosarita Niken Widiastuti, mengatakan, saat ini media memasuki era media morfosis, sehingga perkembangan teknologi menyebabkan terjadi transformasi media.

“Dengan adanya AI, inovasi tidak pernah berhenti. Jadi hanya yang bisa beradaptasi yang bisa hidup. Menghadapi tantangan dari perkembangan teknologi ini adalah bagaimana kita beradaptasi. Kita bisa memilih dan memilah karena AI itu seperti pisau bermata dua,” kata Niken.

Niken menegaskan bahwa AI hanyalah alat dan tidak akan menggantikan peran jurnalis. AI membawa tantangan serius karena sangat bergantung pada data yang diinput oleh jurnalis. “Semakin banyak jurnalis memasukkan informasi yang benar, informasi yang valid, informasi yang terverifikasi, maka AI akan memproduksi berita yang valid,” ujar Niken.

Baca juga:

Niken mengajak semua jurnalis agar membuat informasi yang terverifikasi, sehingga teknologi AI tidak berisi hoax maupun konten sampah.

Sementara dalam kacamata akademisi, Olivia Lewi Pramesti, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Atma Jaya Yogyakarta, menyebut fenomena AI dengan istilah AI Hype. AI Hype telah ditulis oleh beberapa jurnal di Eropa dan Amerika tentang bagaimana AI masuk ke dalam dunia jurnalistik. Penggunaan AI di jurnalistik sudah dimulai sejak tahun 1980, dimana pengenalan AI awal dimulai dengan pelamuran berita dengan komputer.

Berdasarkan riset dari Southeast Asia, kata Olivia, di antara negara yang lain, data menunjukkan bahwa Indonesia 95 persen tahu tentang penggunaan AI. Namun ironisnya, tidak semua media menggunakan AI dalam ruang redaksi. “Dan ketika dicari di beberapa media, itu hanya ada enam media yang mendeclare AI dalam ruang redaksi,” ujar Olivia.

Olivia menjelaskan dalam era AI Hype membutuhkan tindakan berani dengan segala resiko. Selain itu, dia menyebut sebelum AI hadir, media juga masih berjuang dalam berbagai permasalahan. Hal itu meliputi seperti layoff, kekerasan media, isu kesejahteraan hingga jurnalis yang acap kali mengalami kekerasan digital.

Menurut Olivia, seseorang yang mempelajari teknologi AI, maka hal pertama yang dipelajari adalah aspek Human-centred mindset. “Sebelum kita bicara tools ini itu, dampaknya apa, kemudian ada aspek apa yang membantu kita, maka bagaimana cara membantunya. Kalau ini negatif bagaimana kita bisa kritis terhadap itu,” papar Olivia seraya mengatakan bahwa di Indonesia belum menyentuh hal tersebut sehingga menimbulkan problem etik.

Pemberian cinderamata kepada narasumber media talks dan workshop di Hotel Harper Malioboro Yogyakarta, pada Senin 6 Oktober 2025. Foto: Philipus Jehamun/beritabernas.com

Wakil Pimpinan Redaksi tirto.id Agung DH menjelaskan dalam industri media, teknologi AI berpengaruh pada tiga hal yakni dari sisi bisnis, algoritma, hingga mempengaruhi bagaimana pembaca mempersepsikan media.

“AI ini mengubah kebiasaan mencari informasi, dulu di generasi saya langsung merujuk pada situs berita, di era AI mereka bertanya dan langsung dikasih jawaban,” kata Agung.

Sehingga hal itu juga mempengaruhi algoritma google sebagai ekosistem digital yang penting bagi media online. “Semua informasi yang terverifikasi dan valid bersumber dari media mainstream,” kata Agung,

Dalam industri media, teknologi AI bukan sesuatu yang perlu ditakuti, melainkan harus dipahami agar para jurnalis dapat menentukan peran dan posisi mereka di era digital. “Menurut saya, ini justru kesempatan buat kita para jurnalis untuk memberikan sesuatu asupan informasi yang benar,” kata Agung dalam sesi talkshow. (lip)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *