Penyelesaian Masalah HAM Berat Secara Non Yudisial Mengundang Kontroversi

beritabernas.com – Rencana pemerintah untuk menyelesaikan sejumlah kasus pelanggaran HAM berat secara non yudisial seperti tertuang dalam Keppres Nomor 17 tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat Masa Lalu mengundang kontroversi di tengah masyarakat. 

Kontroversi terjadi karena Keppres tersebut belum disosialisasikan dengan baik. Apalagi masyarakat, terutama korban, menilai penyelesaian pelanggaran HAM secara non yudisial terkesan mengesampingkan penyelesaian secara yudisial. 

Karena itu, menurut Dr Nandang Sutrisno SH LLM, Dosen Fakultas Hukum UII, penyelesaian pelanggaran HAM berat secara yudisial maupun non yudisial baik dari perspektif hukum nasional dan internasional, perlu dikaji ulang.

Seminar nasional tentang praktik penyelesaian HAM berat di Auditorium FH UII, Sabtu 24 Desember 2022. Foto: Philipus Jehamun/beritabernas.com

Sebab, dari perspektif hukum internasional, apakah penyelesaian sengketa secara yudisial atau non yudisial merupakan hal yang legal di mata hukum internasional. Sementara dari perspektif hukum nasional, apakah penyelesaian secara non yudisial bisa diterima oleh para korban atau tidak.

Menurut Nandang Sutrisno, pelanggaran HAM yang berat memiliki beberapa ciri antara lain sistematis, meluas, dilakukan oleh aparatur dan ada perintah serta menggunakan senjata. Pelanggaran yang termasuk di dalamnya adalah kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida, kejahatan perang dan agresi.

Baca juga:

Sementara Anggota Komnas HAM Choirul Anam mengatakan, Keppres Nomor 17/2022 tetap membuka peluang penyelesaian pelanggaran HAM berat secara yudisial. Karena menurut para korban penyelesaian pelanggaran HAM berat secara yudisial lebih memenuhi rasa keadilan.

“Rasa keadilan terjawab bila penyelesaian pelanggaran HAM berat melalui pengadilan atau secara yudisial,” kata Choirul Anam mengutip aspirasi sejumlah korban.

Anggota Komnas HAM Choirul Anam. Foto: tangkapan layar YouTube

Sementara Dekan FH UII Budi Agus Riswandi mengatakan, isu penyelesaian pelanggaran HAM yang berat perlu dibahas, terutama mengenai istilah pelanggaranHAM berat itu sendiri. Sebab, dalam UU 26/2000 disebutkan pelanggaran HAM ada dua yaitu pelanggar HAM dan pelanggaran yang berat. Hal itu berkaitan dengan genosida dan pelanggaran terhadap kemanusiaan.

Sedangkan dalam statuta Roma yang menjadi rujukan para ahli hukum internasional ditemukan istilah yang berbeda. Istilah yang digunakan yakni kejahatan internasional. “Jika ada dua istilah seperti ini apa konsekuensinya secara hukum, karena itu perlu didiskusikan,” kata Budi saat membuka seminar nasional yang diadakan oleh Departemen Hukum Internasional dan Hukum Tata Negara FH UII itu. (lip)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *