Penyitaan Buku oleh Polisi Tanda Kekhawatiran Berlebihan terhadap Gerakan Sipil

Oleh: Laurensius Bagus, Mahasiswa Jurusan Teknik Sipil Universitas Cokroaminoto Yogyakarta

beritabernas.com – Penyitaan buku dari tangan demonstran oleh aparat kepolisian belakangan ini menimbulkan perdebatan serius di ruang publik. Peristiwa itu menyalakan tanda tanya besar: mengapa sebuah buku yang seharusnya dipandang sebagai media pengetahuan justru diperlakukan layaknya barang berbahaya?

Apakah negara memang sudah sebegitu takutnya pada gagasan hingga memilih mengawasi bahkan isi tas seorang pendemo? Pertanyaan-pertanyaan itu seharusnya membuat kita sadar bahwa fenomena ini tidak hanya persoalan teknis hukum, tetapi juga berkaitan dengan arah demokrasi, posisi kebebasan sipil, dan kualitas penegakan hukum kita.

Buku adalah simbol pengetahuan, sekaligus medium pembebasan manusia dari belenggu kebodohan. Ketika polisi menjadikan buku sebagai barang bukti, sesungguhnya negara sedang mengirim pesan keliru: seakan-akan gagasan yang tertulis di dalamnya lebih berbahaya dibanding senjata tajam. Padahal, buku tidak pernah melukai secara fisik, tidak pernah menimbulkan luka langsung pada tubuh seseorang. Ia hanya menyajikan perspektif, pandangan, bahkan kritik yang bisa diperdebatkan. Justru melalui buku, masyarakat bisa menemukan ruang untuk berdialog dan memperkaya wacana. Jika negara sampai melihat buku sebagai ancaman, berarti ada kekhawatiran berlebihan terhadap suara kritis yang sesungguhnya sah dalam demokrasi.

Penyitaan buku dari tangan demonstran bukan sekadar peristiwa hukum biasa. Ia adalah simbol ketakutan negara terhadap gerakan sipil. Dalam logika demokrasi, demonstrasi dan kebebasan berpendapat adalah hak fundamental warga negara. Demonstrasi bukan kejahatan, melainkan bentuk partisipasi politik yang dijamin konstitusi. Namun, ketika buku yang dibawa pendemo dianggap sebagai barang bukti, maka yang diadili bukan lagi tindakan, melainkan pikiran. Negara sedang memperlihatkan wajah otoritarian yang menekan ide sebelum ia berkembang. Ini tentu membahayakan demokrasi, karena demokrasi tidak mungkin tumbuh dalam suasana penuh ketakutan.

Bahaya penyitaan buku juga terlihat dari dampaknya terhadap ruang sosial masyarakat. Mahasiswa, penulis, atau aktivis akan mulai ragu membawa bacaan tertentu karena khawatir dicurigai. Penulis pun bisa merasa terintimidasi untuk tidak menuliskan gagasan yang tajam karena takut karyanya disalahartikan. Akibatnya, ruang publik akan kehilangan warna kritis. Diskusi akademik bisa terganggu, kebebasan berpikir akan menyusut, dan kreativitas masyarakat terancam mandek. Demokrasi tanpa ruang gagasan hanyalah prosedur kosong yang penuh ritual, tetapi miskin isi.

Lebih jauh, penyitaan buku menunjukkan bagaimana hukum dapat dipelintir untuk kepentingan kekuasaan. Hukum yang seharusnya berfungsi menimbang fakta nyata, kini dipakai untuk menjerat isi kepala seseorang. Hal ini bertentangan dengan prinsip dasar hukum pidana modern, di mana yang bisa dihukum adalah perbuatan, bukan pikiran.

Dengan memproses buku sebagai barang bukti, aparat secara tidak langsung sedang melakukan kriminalisasi pemikiran. Jika pola ini terus berlangsung, kita berpotensi masuk ke era di mana berpikir kritis dianggap tindak pidana.

Masyarakat tidak boleh menganggap hal ini sebagai persoalan kecil. Penyitaan buku adalah alarm bahwa kebebasan sipil kita sedang mundur. Negara yang percaya diri tidak akan takut pada buku, karena buku bisa dilawan dengan buku, gagasan bisa dibalas dengan gagasan. Justru negara yang rapuh yang gemetar menghadapi kritik. Sejarah dunia sudah berulang kali membuktikan bahwa semakin sebuah gagasan ditekan, semakin besar pula ia dicari orang. Dengan kata lain, tindakan penyitaan buku justru kontraproduktif: ia bukan memadamkan kritik, melainkan memperluasnya.

Fenomena ini juga menimbulkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap hukum. Ketika rakyat melihat buku bisa diperlakukan sebagai barang bukti, publik akan mulai meragukan akal sehat hukum itu sendiri. Apakah hukum masih bekerja untuk keadilan, atau hanya menjadi alat represi? Jika masyarakat sudah kehilangan kepercayaan pada hukum, maka legitimasi negara ikut terkikis. Dan negara yang kehilangan legitimasi hanya bisa bertahan dengan cara represif. Jalan itu jelas berbahaya, karena membawa kita semakin jauh dari cita-cita demokrasi.

Baca juga:

Oleh karena itu, penyitaan buku harus dilihat sebagai tanda kegagalan negara dalam mengelola kritik. Bukannya membangun ruang dialog, negara justru memilih jalan pintas dengan menakut-nakuti rakyat. Padahal, kritik adalah vitamin bagi demokrasi. Gerakan sipil yang kritis adalah bagian dari mekanisme koreksi agar kekuasaan tidak melenceng. Jika negara benar-benar ingin membangun demokrasi yang sehat, seharusnya gagasan tidak ditakuti, melainkan diajak berdiskusi.

Kita perlu menegaskan bahwa membiarkan praktik penyitaan buku sama saja dengan merelakan kemunduran demokrasi. Hari ini mungkin hanya sebuah buku, tetapi besok bisa saja diskusi kampus, seminar, atau bahkan tulisan di media sosial. Tanpa disadari, kita bisa masuk pada era di mana ruang publik steril dari gagasan kritis, dan hanya menyisakan suara-suara yang seragam. Demokrasi yang demikian adalah demokrasi yang sakit, demokrasi tanpa ruh.

Tugas kita sebagai masyarakat sipil adalah menolak normalisasi tindakan semacam ini. Akademisi, mahasiswa, penulis, jurnalis, hingga warga biasa harus bersuara bahwa penyitaan buku bukan sekadar prosedur hukum, melainkan ancaman terhadap hak asasi. Media perlu kritis mengawal kasus semacam ini agar tidak menjadi preseden buruk. Jika kita diam, maka generasi mendatang akan tumbuh dalam ketakutan membaca dan menulis. Itu adalah bentuk kemunduran paling parah bagi sebuah bangsa yang sedang berusaha maju.

Pada akhirnya, persoalan ini bukan hanya tentang buku, tetapi tentang cara negara memperlakukan rakyatnya. Apakah rakyat dianggap mitra dalam membangun bangsa, ataukah dilihat sebagai ancaman yang harus dibungkam? Jika negara terus menempatkan rakyat sebagai musuh, maka jurang ketidakpercayaan akan semakin lebar. Hukum kehilangan fungsinya, demokrasi kehilangan maknanya, dan rakyat kehilangan ruangnya untuk berpartisipasi.

Penyitaan buku adalah simbol ketakutan negara. Tetapi rakyat tidak boleh ikut takut. Gagasan tidak bisa dipenjara, pikiran tidak bisa disita. Justru di saat seperti ini, keberanian untuk berpikir kritis dan bersuara harus terus dipertahankan. Sebab hanya dengan begitu, demokrasi bisa tetap hidup dan masa depan bangsa tetap punya harapan. (*)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *