Peringati Hari Sumpah Pemuda, Kaum Muda Diajak untuk Tiru Sosok Gus Gur dan Romo Mangun

beritabernas.com – Kaum muda perlu meniru atau meneladani nilai-nilai yang diwariskan KH Abadurrahman Wahid atau Gus Dur dan Romo YB Mangunwijaya alias Romo Mangun. Keduanya nilai-nilai keberanian, kebangsaan dan kemanusiaan.

Sebab, spiritualitas sosial dan humanisme Romo YB Mangunwijaya alias Romo Mangun tetap relevan untuk konteks Indonesia saat ini, terutama bagi generasi muda yang haus akan makna dan keadilan. Sementara Gus Dur merupakan tokoh yang jujur dan berani menyatakan sikap. Meski menghadapi risiko-yang kadang-kadang akan dijauhi oleh orang-orang atau organisasi-organisasi. Gus Dur berani menghadapi itu dan keberanian itu harus ditempa dalam setiap proses kehidupan.

Baca juga:

Demikian antara lain yang mengemuka dalam diskusi memperingati Hari Sumpah Pemuda di Aula Pusat Pastoral Mahasiswa (PPM), Jalan Dr Sutomo Yogyakarta, Selasa 28 Oktober 2025. Diskusi menghadirkan narasumber Romo Martinus Joko Lelono Pr, Dosen dan Peneliti di bidang Studi Agama dan Ketua Komisi HAK Kevikepan Yogyakarta Timur, dan Nur Kholik Ridwan, budayawan dan aktivis Jaringan Gusdurian Yogyakarta.

Romo Martinus Joko Lelono Pr yang mengulas bagaimana spiritualitas sosial dan humanisme Romo YB Mangunwijaya, mengatakan, diskusi ini diangkat berangkat dari keprihatinan bahwa di tengah-tengah bangsa yang tidak bisa dikatakan baik-baik saja, mengapa banyak pihak, seperti aktivis tidak punya keberanian bersuara.

Dramatisasi teks Sumpah Pemuda yang dikemas dengan ekspresi dan kritikan terhadap situasi yang dialami bangsa Indonesia. Foto: Istimewa

“Kita belajar, dari masa lampau bahwa selain pilar-pilar demokrasi, eksekutif, legislatif dan yudikatif, masih ada  masyarakat sipil, akademisi, pers, aktivis yang bisa menjadi perimbangan atau watch dog dari situasi yang sedang terjadi di banga kita. Tetap diperlukan suara kritis kepada pemerintah, karena pemerintah tetap membutuhkan ruang kritis itu. Kalau tidak, kesalahan akan dianggap benar, ketidakjelasan lalu dianggap sebagai sesuatu yang dilanggengkan. Romo Mangun dan Gus Dur adalah pribadi-pribadi yang tidak mau diam ketika menghadapi situasi demikian,” kata Romo Joko Lelono.

Dikatakan Romo Joko Lelono, saat ini kita banyak  temui orang-orang yang putus asa dan habis harapan, seakan-akan tidak ada hal baik di depan sana. “Kepada mereka akan kita katakan bahwa hal baik tidak hanya di belakang, tetapi ada di depan. Maka masa lampau ada pahlawannya, masa kini ada pahlawannya, masa depan juga ada pahlawannya. Seperti Romo Mangun selalu mengatakan jangan didramatisasi, setiap generasi memiliki medan juang dan pahlwannya masing-masing,” pesannya.

Sementara Nur Kholik Ridwan, budayawan dan aktivis Jaringan Gusdurian Yogyakarta, mengatakan, Romo Mangun dan Gus Dur dikenal sebagai penggerak dan penanam nilai-nilai. Penting bagi anak-anak untuk mengenal mereka. Sebab hari-hari ini sudah banyak lupa tentang pada tokoh-tokoh ini, dan nilai-nilai yang ditanamkan. “Kenapa lupa, karena ada buzzer yang melupakan tokoh-tokoh ini, karena mereka saling melempar narasi, tidak ada diskusi,” kata Nur Kholik.

Romo Martinus Joko Lelono Pr. Foto: Istimewa

Kepada para anak muda yang hadir, Nur Kholik mengatakan ada banyak bangsa di dunia itu runtuh, ada yang bertahan, termasuk Indonesia. Dan jika Indonesia ingin memiliki bangsa yang besar dan bermutu, ada dua syarat. Pertama, hati kita selalu ada keinginan terus menerus bersatu antar kelompok, ingin bersatu, bercengkerama, ngopi untuk mencari solusi-solusi jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang.

Kedua, kita harus memiliki tokoh yang jujur dan berani menyatakan sikap. Meski risikonya kadang-kadang akan dijauhi oleh orang-orang, atau dijauhi organisasi-organisasi. “Dan Gus Dur berani menghadapi itu. Keberanian itu harus ditempa dalam setiap proses kehidupan,” tutur murid Gus Dur ini.

Peringatan Hari Sumpah Pemuda yang diisi dengan diskusi tersebut dilakukan kelompok anak-anak muda Katolik dan Jaringan Gusdurian Yogyakarta. Tema yang diusung bertajuk DESIS (Dengarkan, Ekspresikan, Suarakan): Suara dalam Sunyi Mengapa Diam Saat Negara Runyam?

Nur Kholik Ridwan, budayawan dan aktivis Jaringan Gusdurian Yogyakarta. Foto: Istimewa

Dalam acara yang juga dihadiri Romo Sudaryanto SJ selaku pendamping mahasiswa sekaligus tuan rumah, diawali dengan dramatisasi teks Sumpah Pemuda yang dikemas dengan ekspresi dan kritikan terhadap situasi yang dialami bangsa Indonesia, pendidikan yang njomplang, eksploitasi kekayaan alam yang merusak dan tidak adil, kenyataan sejarah yang dirusak elite politik dan masalah sosial lainnya.

Seusai acara, anak-anak muda itu mengekspresikan kegelisahan dengan menuliskan apa yang berkecamuk di benaknya. Mereka menulis kritikan tentang MBG, tentang penambangan di Raja Ampat, kerusakan hutan, dan lingkungannya, masalah sampah, penangkapan para aktivis, pelecehan sejarah bangsa, nepotisme, oligarki dan banyak masalah sosial dan politik lainnya. (phj)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *