Perlu Penguatan Kapasitas dan Integritas Penegak Hukum dalam Upaya Perampasan Aset

beritabernas.com – RUU Perampasan Aset menuntut adanya penguatan kapasitas dan integritas penegak hukum, terutama lembaga yang akan terlibat dalam perampasan aset. Hal ini penting agar perampasan aset tidak dimanfaatkan untuk kepentingan oknum tertentu, terutama untuk memeras pihak lain yang asetnya diduga akan dirampas oleh negara.

Selain itu, perlu ada pengaturan di dalam RUU Perampasan Aset bahwa proses hukum dalam semua rangkaian perampasan aset harus dibuka kepada publik dan dilakukan secara transparan. Hal ini penting agar publik betul-betul dapat mengawasi segala proses perampasan aset.

Demikian antara lain catatan Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PSAD) UII atas hasil diskusi online #7 dengan tema RUU Perampasan Aset: Peluang dan Tantangan, Rabu 24 September 2025. Diskusi yang diselenggarakan pasca bergulirnya kembali isu pengesahan RUU Perampasan Aset ini menghadirkan dua narasumber yakni Sugeng Purnomo, mantan Deputi Bidang Koordinasi Hukum dan HAM Kemenkopolhukam RI) dan Zainal Arifin Mochtar (Pakar Hukum Tata Negara/Dosen UGM).

Menurut Despan Heryansyah, Peneliti PSAD dan Dosen Fakultas Hukum UII, dalam rilis yang dikirim kepada beritabernas.com, Kamis 25 September 2025, RUU Perampasan Aset berpotensi melanggar hak asasi manusia. Namun karena secara faktual dibutuhkan mekanisme perampasan aset tanpa proses pidana, maka perlu ada pengaturan atau skema yang fair dalam RUU tersebut untuk menjaga agar hak asasi manusia tidak dilanggar.

Karena itu, menurut Despan Heryansyah, PSAD UII mendorong DPR dan pemerintah untuk dengan serius merancang, membahas dan mengesahkan RUU Perampasan Aset, tidak hanya sekedar menjadi gimmick sebagai respon reaktif atas tuntutan masyarakat.

Baca juga:

Selain itu, perlu ada ruang yang lebih besar untuk melibatkan publik membicarakan hal-hal substantif dalam pembentukan RUU atau meaningfull participation. Representasi yang memadai ini sekaligus menjadi legitimasi “pembatasan hak” yang menjadi isu terpenting dalam RUU Perampasan Aset. Sebab, PSAD UII melihat proses pembahasan RUU Perampasan Aset sampai hari ini masih sangat elitis dan tertutup.

“Perlu ada pengaturan di dalam RUU Perampasan Aset bahwa proses hukum dalam semua rangkaian perampasan aset harus dibuka kepada publik dan dilakukan secara transparan. Hal ini penting agar publik betul-betul dapat mengawasi segala proses perampasan aset. Selain itu, RUU Perampasan Aset menuntut adanya penguatan kapasitas dan integritas penegak hukum, terutama lembaga yang akan terlibat dalam Perampasan Aset,” kata Despan Haryansyah.

Perampasan aset tidak didasarkan pada pemidanaan

Dalam diskusi itu, Sugeng Purnomo, mantan Deputi Bidang Koordinasi Hukum dan HAM Kemenkopolhukam RI, mengatakan, secara substansial, RUU Perampasan aset tidak akan didasarkan pada pemidanaan. Artinya, pelaku tidak perlu dipidana terlebih dahulu seperti yang selama ini berlaku di Indonesia.

“RUU Perampasan Aset tidak menggantungkan pada proses pidana. Ini yang selama ini menjadi debat publik, karena belum membaca secara utuh substansi dalam RUU Perampasan Aset,” kata Sugeng Purnomo.

Dikatakan, perampasan aset yang diduga merupakan hasil kejahatan, sejatinya bukanlah hal yang baru sama sekali karena memang sudah diatur dalam KUHAP yang lama. Roh dari RUU Perampasan aset ini adalah kekayaan yang tidak wajar pada seorang pejabat negara, yang dapat diproses tanpa ada pemidanaan terhadap pelaku terlebih dahulu.

Perampasan aset juga terutama dilakukan bagi terdakwa yang meninggal dunia, melarikan diri, sakit permanen atau tidak diketahui keberadaannya. Jadi, meskipun seseorang meninggal dunia, perampasan aset tetap dilakukan. Selama ini, jika menggunakan ketentuan konvensional, proses pidana tidak dapat dilanjutkan. Begitupun pemblokiran dapat dilakukan setelah mendapatkan izin pemblokiran dari Pengadilan Negeri.

Sementara bagi pihak-pihak yang merasa dirugikan atas perampasan aset, menurut Sugeng Purnomo, RUU juga perlu mengatur ruang bagi pihak yang merasa keberatan atas putusan perampasan aset. Artinya, tidak serta merta akan dirampas begitu saja tanpa adanya upaya hukum yang lebih lanjut.

Sugeng Purnomo menambahkan bahwa dari aspek penamaan, sejatinya perampasan aset hanyalah salah satu dari proses panjang terkait dengan aset negara. Maka akan lebih baik jika yang digunakan adalah pemulihan aset, sebagai tujuan akhir dari agenda perampasan, yaitu pemulihan aset negara.

Sementara dari aspek teoritik dan praktik, menurut Sugeng Purnomo, upaya perampasan aset memang harus dilakukan di luar proses pidana. Dalam praktik, hal ini memang sudah dilakukan, misalnya dalam konteks administrasi, ada kewenangan petugas imigrasi untuk merampas aset orang yang membawa uang melebihi dari standar tertentu. Jadi konteks RUU ini adalah perampasan tanpa ada proses pidana.

Sedangkan Zainal Arifin Mochtar mengatakan bahwa dari aspek kewenangan, perdebatannya adalah siapakah yang berwenang melakukan perampasan aset tanpa pemidanaan. Sebab, tidak hanya sampai ke level perampasan, malainkan juga akan melakukan pengelolaan aset secara keseluruhan, mulai dari pengelolaan sampai pada penjagaan agar tidak rusak.

Pada level ini, menurut Dosen UGM ini, perlu ada pihak lain secara profesional yang terlibat dan diatur di dalam UU ini. Harus ada lembaga yang secara profesional dan terpercaya yang melakukan pengelolaan terhadap aset ini, tidak meletakkan sepenuhnya pada kewenangan Kejaksaan. (lip)


          There is no ads to display, Please add some

          Tinggalkan Balasan

          Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *