Prof Anas Hidayat Soroti Krisis Etika dan Implikasinya Terhadap Perilaku Bisnis

beritabernas.com – Prof Drs Anas Hidayat MBA PhD dan Prof Dr Unggul Priyadi MSi, keduanya Dosen Fakultas Bisnis dan Ekonomika (FBE) UII, menyampaikan pidato pengukuhan sebagai Guru Besar/ Profesor di Auditorium Abdulkahar Muzakkir Kampus Terpadu UII, Selasa 11 Pebruari 2025.

Pidato pengukuhan Prof Anas Hidayat mengangkat tema Krisis Etika Manusia dan Implikasinya Terhadap Perilaku Bisnis dan Konsumen di Indonesia, sementara Prof Dr Unggul Priyadi MSi mengangkat tema Kelembagaan sebagai Pilar Kesejahteraan dan Keadilan dalam Transformasi Ekonomi Global dan Ekonomi Syariah.

Dalam pidato pengukuhan Guru Besar dalam Sidang Terbuka Senat UII itu, Prof Anas Hidayat mengatakan, tema etika yang diangkat dalam pidato pengukuhan terinspirasi dari pidato Ketua Umum Yayasan Badan Wakaf UII Dr Suparman Marzuki SH MSi dan Rektor UII Prof Fathul Wahid ST MSc PhD ketika penyerahan SK Guru Besar untuk dirinya beberapa bulan lalu yang membahas tentang persoalan etika di dunia akademik dan di tengah masyarakat luas.

Mengutip Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Prof Anas Hidayat mengatakan bahwa etika merupakan ilmu tentang apa yang baik dan yang buruk serta tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Menurut Ketua Umum Yayasan Badan Wakaf UII Dr Suparman Marzuki SH M.Hum, etika itu adalah hak yang menyangkut orang lain. Artinya, persoalan etika adalah persoalan mikro dan makro kosmos, persoalan peduli dengan lingkungannya, bisa dalam lingkup keluarga, masyarakat, berbangsa dan bernegara, hingga skop global. Kepedulian pada hak sesama (kepedulian sosial) adalah kata kunci.

Sudang Terbuka Senat UII mendengarkan pidato pengukuhan dua Guru Besar/ Profesor di Auditorium Abdulkahar Muzakkir Kampus Terpadu UII, Selasa 11 Pebruari 2025. Foto: Humas UII

Mungkin ada yang menyebut bahwa manusia adalah social animal, hewan sosial, yaitu hewan yang mempunyai naluri untuk senantiasa hidup bersama membangun peradaban. Inilah yang disebut dengan
masyarakat. Perbedaan manusia dengan hewan adalah dalam hal membangun sistem sosial. Manusia
mengedepankan kepedulian antar sesama dalam mempertahankan hidup. Hewan lebih cenderung saling
menghabisi antar sesamanya untuk bertahan hidup.

Dengan demikian, menurut Prof Anas Hidayat, membangun kepedulian sosial atau kepedulian antar sesama adalah esensi dari eksistensi manusia sebagai pembeda manusia dengan hewan. Secara umum, ‘etika merupakan masalah kepedulian sosial’. Dengan demikian, beda manusia dengan hewan adalah eksisnya etika dalam kehidupan manusia membangun peradaban.

“Etika tidak hanya berfungsi untuk menjelaskan perilaku moral, tetapi juga menawarkan kerangka rasional dalam memahami dan mengevaluasi tindakan manusia. Melalui refleksi mendalam, etika berupaya memberikan pedoman dalam pengambilan keputusan moral serta membantu manusia merenungkan tujuan dan makna hidup berdasarkan nilai-nilai yang dianut,” kata Prof Anas,

Etika manusia Indonesia dalam perspektif kearifan lokal

Menurut Prof Anas, etika manusia tidak dapat dipisahkan dari kearifan lokal tempat ia hidup. Bagi bangsa Indonesia, kearifan lokal ini telah berkembang seiring perjalanan peradaban yang panjang. Walaupun Indonesia sebagai sebuah negara telah merdeka hampir 80 tahun, peradaban Nusantara telah eksis selama ribuan tahun.

BACA JUGA:

Sejarah mencatat keberadaan kerajaan-kerajaan besar seperti Kerajaan Pasai, Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Majapahit, dan banyak lainnya. Interaksi sosial yang berlangsung selama berabad-abad ini telah membentuk nilai-nilai luhur yang menjadi identitas bangsa.

Para pendiri bangsa memahami pentingnya nilai-nilai luhur ini. Mereka menyarikan esensi dari kearifan
lokal tersebut menjadi Pancasila, yang kemudian menjadi dasar falsafah negara. Kelima sila ini adalah
pernyataan sakral yang berhasil mempersatukan beragam suku, etnis, dan bahasa di Indonesia.
Pancasila bukan hanya dasar negara, tetapi juga pedoman etis yang membentuk karakter luhur bangsa. Setiap sila mencerminkan sifat dan nilai yang melekat dalam masyarakat Indonesia. Setiap sila mencerminkan sifat dan nilai yang melekat dalam masyarakat Indonesia.

Jika nilai-nilai luhur ini ditegakkan secara konsisten, bangsa Indonesia memiliki potensi untuk menjadi bangsa terbaik. “Mungkin berlebihan pernyataan saya ini, tapi paling tidak menjadi bangsa terbaik di akhir zaman. Betapa tidak? Masyarakat yang religius akan memiliki kasih sayang yang mendalam, yang menjadi fondasi kuat bagi semangat kekeluargaan. Dalam semangat kekeluargaan ini, segala tantangan di masyarakat dapat diatasi melalui musyawarah dan gotong royong, menghasilkan solusi yang membawa manfaat bagi semua rakyat Indonesia,” kata Prof Anas.

Prof Anas Hidayat. Foto: Humas UII

Keyakinan ini mungkin terkesan idealis, tetapi sejarah membuktikan bahwa Indonesia adalah bangsa
yang memiliki daya tahan dan kekuatan luar biasa dalam menghadapi berbagai tantangan. Dengan
kembali kepada nilai-nilai Pancasila, bangsa Indonesia dapat terus membangun peradaban yang adil, beradab, dan membawa kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya.

Studi etika manusia dan dampak pada praktek bisnis

Fakta empiris menujukkan bahwa dinamika ekonomi kapitalis telah meningkatkan kesenjangan antara perusahaan besar dan pelaku bisnis kecil. Perusahaan multinasional atau saat ini populer istilah oligorki sering kali memiliki keunggulan besar dalam hal sumber daya dan pengaruh, memungkinkan mereka mendominasi pasar dan memperburuk ketimpangan ekonomi.

Dalam konteks ini, muncul dilema etis terkait distribusi kekayaan. Perusahaan besar mestinya dapat memainkan peran dalam menciptakan ekonomi yang lebih inklusif tanpa mengorbankan daya saing mereka. Akhirnya muncul moral dilema, maukah mereka memberikan manfaat yang lebih merata kepada berbagai kelompok masyarakat, termasuk kelompok yang kurang beruntung atau terpinggirkan, tanpa mengurangi daya saing perusahaan di pasar?

Karena bisnis kapitalistik sangat oportunis, praktik korupsi tetap menjadi tantangan serius di banyak negara (termasuk Indonesia), terutama dalam interaksi antara sektor swasta dan publik. Perusahaan sering kali dihadapkan pada tekanan untuk terlibat dalam praktik tidak etis, seperti suap, demi memenangkan kontrak atau mengamankan izin.

Tantangan ini menimbulkan pertanyaan penting akan sangat sulit perusahaan dapat memastikan transparansi dalam tata kelola mereka di lingkungan yang secara sistemik tidak mendukung integritas. Sehingga ada anekdot di tengah masyarakat: jujur ajur, sebuah istilah ini pernah ditulis oleh Ronggowarsito dalam tulisannya yang disebut Ramalan Ronggowarsito, yang ditulis berdasarkan pengalaman dan kenyataan sosial politik yang terjadi saat itu. Mungkinkah ramalan ini sudah terjadi saat ini?

Prof Unggul Priyadi. Foto: Humas UII

Penelitian tentang etika bisnis di Indonesia masih banyak berfokus pada isu-isu yang berkaitan dengan
konteks lokal, seperti penerapan etika bisnis di Indonesia, Islamic business ethics, dan corporate social responsibility (CSR). Selain itu, perhatian besar para peneliti juga tertuju pada persoalan korupsi dan
perilaku belanja etis (ethical purchasing), yang mencerminkan tantangan dalam pengambilan
keputusan etis di Indonesia.

Kajian terkait Islamic business ethics dan perbankan syariah mencerminkan pengaruh signifikan nilai-nilai agama dalam dunia bisnis di Indonesia masih diperhitungkan. Dalam konteks perilaku konsumen, kajian ini mengeksplorasi pandangan konsumen Indonesia terhadap pentingnya etika dalam proses pembelian. Hal ini mencakup kesadaran terhadap produk yang diproduksi secara berkelanjutan, perilaku belanja yang etis (ethical purchasing), serta respons konsumen terhadap praktik bisnis yang dianggap melanggar norma sosial atau nilai-nilai agama.

Namun, yang menarik adalah masih minimnya publikasi penelitian yang membahas fenomena seperti moral double standard, konsumerisme, dan praktik hedonisme, meskipun isu-isu ini relevan dalam memahami dinamika perilaku konsumen modern. (lip)



There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *