beritabernas.com – Era digital atau teknologi internet telah menghadirkan beberapa isu yang terkait dengan hak cipta. Setidaknya ada 3 isu pokok atau utama terkait hak cipta di era digital.
Menurut Prof Dr Budi Agus Riswandi SH M.Hum, Guru Besar bidang Ilmu Hukum FH UII, ada 3 isu pokok terkait hak cipta di era digital. Pertama, kurang transparan atas status hukum hak cipta karya. Kurang transparan dan database terpusat yang tersebar di berbagai penerbit, perusahaan rekaman, lembaga pengumpulan royalti dan lembaga-lembaga lainnya. Dalam hal ini terkadang tidak tersedia dengan baik dan membutuhkan waktu dan biaya yang mahal untuk mencarikannya.
Selain itu, menurut Prof Budi Agus Riswandi, tidak adanya status hukum yang pasti atas karya yang dilindungi hak cipta sehingga pengguna cenderung tidak menggunakan karya tersebut. Kurang transparannya informasi dan kepastian status hukum dari karya yang dilindungi hak cipta ini telah menimbulkan kerugian bagi pencipta untuk mendapatkan imbalan royalty.
“Persoalan ini terjadi karena tidak tersedianya teknologi yang dapat diterima secara luas dan ramah biaya,” kata Prof Budi Agus Riswandi dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar bidang Ilmu Hukum FH UII di Auditorium Abdul Kahar Muzakkir Kampus Terpadu UII pada Senin 30 Mei 2022.
Isu kedua terkait hak cipta di er digital, menurut Prof Budi Agus, adalah pembajakan (piracy). Dalam hal ini pemilik hak cipta tidak dapat melakukan pengawasan dalam penggunaan hak cipta di internet. Tindakan penyalinan secara digital merupakan tindak reflikasi yang sempurnaa dengn biaya yang rendah.
Teknologi internet menyediakan pengiriman informasi secara worldwde (seluruh dunia), biaya murah dan dilakukan seketika. Hal ini membawa konsekuensi pelaku pembajakan dapat melakukannya dengan murah dan mudah dalam mendistribusikan salinan karya digital secara tanpa hak.
“Pelanggaran hak cipta melalui teknologi internet sangat sulit untuk dapat diidentifikasi dan diketahui oleh pemiliknya. Penggunaan syarat teknologi seperti digital right management yang diharapkan dapat memberikan perlindungan hak cipta secara efektif pada kenyataannya tidak mampu mewujudkannya karena sangat memungkinkan kode pengaman di atas,” kata Prof Budi Agus Riswandi.
Di samping itu proses untuk melindungi hak cipta melalui penggunaan digital right management dianggap suatu proses yang cukup mahal biayanya dan kompleks dalam pendistribusian hak cipta.
Ketiga, kesulitan pencipta untuk memperoleh kompensasi secara fair. Tersedianya berbagai konten di internet yang dilindungi hak cipta ternyata masih tunduk kepada formalitas hukum termasuk dalam hal proses pembayaran. Hal ini cukup menyulitkan untuk mendapatkan kompensasi yang daripenggunaan hak cipta dari penggunaan hak cipta.
“Tidak sedikit kompensasi akan diberikan apabila ada suatu bentuk perjanjian secara tertulis di mana ditandatangani oleh pengguna hak cipta dan pemilik hak cipta. Di sisi lain tersedianya model lisensi dalam bentuk open source atau creative commons tidak berbanding lurus pada soal kelayakan kompensasi yang fair karena open source atau creative commons lebih menekankan pada aspek berbagi karya yang memuat hak cipta dengan berbagai atributnya dan pengecualian yang relevan tanpa memerlukan royalty,” kat Prof Budi.
Dikembangkannya sistem pembayaran dengan menggunakan uang elektronik sebagai sarana murah dan instrumen pembayaran mikro yang nyaman gagal karena kurangnya sistem pembayaran uang elektronik global yang sebenarnya disebabkan oleh keragaman undang-undang nasional dan berbagai pembatasan peraturan termasuk kebijakan moneter, kontrol mata uang, anti pencucian uang dan ketentuan legislatif terkait hukum publik lainnya.
Dalam konteks Indonesia isu-isu hak cipta yang disebabkan perkembangan teknologi internet pada dasarnya memiliki kesamaan bahkan dalam beberapa isu memiliki tingkat keseriusan yang sangat tinggi. Adapun isu-isu ini meliputi pada dua hal yaitu isu pencatatan ciptaan yang masih berbiaya. Pencacatan ciptaan bukanlah cara untuk memperoleh hak cipta tetapi dapat menjadi bukti awal atas kepemilikan hak cipta.
Dalam praktiknya hal ini telah menjadikan keyakinan di kalangan para pencipta pencatatan itu menjadi sesuatu yang penting untuk mastikan hak cipta dimiliki namun sejalan dengan itu hal ini telah menjadi beban secara finansial terutama bagi para pencipta yang produktif dalam menghasilkan karya yang dilindungi hak cipta.
Kedua, isu royalty yang belum dibayarkan secara fair dikarenakan adanya upaya , pencipta melalui peran pihak ketiga dalam hal ini Lembaga Manajemen Kolektif, Lembaga Manajemen Kolektif Nasional atau agregator digital. Sementara itu ada kesulitan sendiri dari pemegang hak cipta jika mau melakukan pengelolaan royalty tanpa melibatkan pihak ketiga tersebut. (lip)
There is no ads to display, Please add some