PSHI UII Kaji Kerangka Hukum Perkawinan Beda Agama dan Kepercayaan di Indonesia

beritabernas.com – Departemen Perdata dan Pusat Studi Hukum Islam (PSHI) FH UI menggelar webinar nasional guna mengkaji kerangka hukum perkawinan beda agama di Indonesia, baik perkembangan maupun tantangannya.

Webinar nasional melalui zoom meeting, Selasa 16 Agustus 2022 ini, bertujuan agar pesert memahami kerangka hukum pada perkawinan beda kepercayaan, mendiskusikan perkembangan dan tantangan perkawinan beda kepercayaan, memahami pertimbangan hakim pada penetapan pengadilan dan memahami prosedur laporan pencatatan perkawinan beda kepercayaan.

Menurut Ratna Hartanto SH LLM, Ketua Departemen Perdata FH UII, topik ini diangkat dengan merujuk pada konstitusi, dimana Indonesia adalah negara yang memadukan unsur hukum sebagai bentuk negara dan unsur agama sebagai dasar kepercayaan.

Sebagai konsekuensi dari perpaduan kedua unsur ini, maka segala bentuk peraturan perundang-undangan yang akan diselenggarakan di Indonesia harus bernilai agama berupa moral dan hukum berupa kepastian.

“Sebagai negara yang berdasar pada agama, Indonesia mengakomodir keberadaan agama-agama dan kepercayaan, setidaknya ada enam agama dan penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa di Indonesia,” kata Ratna Hartanto.

Karena itu, sangat wajar bila peraturan-peraturan yang ada di Indonesia memiliki sifat dan bentuk yang menghadirkan keberadaan moral agama. Salah satu bentuk contoh peraturan yang memadukan kedua
unsur tersebut adalah penyelenggaraan perkawinan di Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 1 yahun 1974 sebagaimana telah diamandemen melalui Undang-Undang Nomor 16 tahun 2019 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut Undang-Undang Perkawinan).

Dikatakan, UU Perkawinan merupakan peraturan yang dirumuskan untuk menciptakan kepastian hukum dan perlindungan hukum terhadap seseorang yang hendak melakukan perkawinan antara laki-laki dan wanita dalam bentuk ikatan lahir batin. Definisi Ikatan lahir batin ini merupakan ikatan yang hanya dapat dibentuk melalui suatu kepercayaan dari masing-masing mempelai yaitu berdasarkan atas nilai ritual agama dan kepercayaan.

Konsekuensi tersebut membawa mempelai kepada ikatan yang sah sebagai bentuk hubungan perkawinan di hadapan hukum. Perkawinan yang sah merupakan suatu peristiwa penting yang wajib dilaporkan atau dilakukan pencatatan perkawinan.

Menurut Ratna, pelaporan merupakan bentuk pencatatan perkawinan yang saat ini diatur oleh Undang- Undang Administrasi Kependudukan dimana negara wajib tahu dan mendata peristiwa-peristiwa yang dialami atau dilakukan penduduknya. Pelaporan pencatatan perkawinan mempunyai konsekuensi kepastian hukum sehingga negara dapat mengakui perkawinan penduduknya yang telah dilaporkan.

Pencatatan perkawinan memiliki dampak perlindungan hukum bagi seseorang yang melakukan perkawinan dan akibat-akibatnya seperti hak dan kewajiban, tanggung jawab anak, harta kekayaan, hingga perceraian.

Keberagaman agama

Dikatakan, keberagaman agama dan kepercayaan di Indonesia menimbulkan pergaulan antara penduduk yang potensi saling menyukai satu sama lain. Pergaulan ini tentu membuka kesempatan terjadinya perkawinan antara mereka yang dapat saja memiliki latar belakang agama atau kepercayaan yang berbeda.

“Terjadinya perkawinan beda kepercayaan di Indonesia adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari bila melihat sifat pluralisme kepercayaan yang ada,” kata Ratna dalam rilis yang dikirim kepada beritabernas.com, Senin 15 Agustus 2022.

Berbagai macam respon timbul di masyarakat dalam menyikapi fakta tersebut, seperti adanya upaya penolakan maupun ada yang mencoba untuk menghormati perkawinan tersebut mengingat itu adalah perbuatan privasi seseorang. Pelaku perkawinan beda kepercayaan pun tidak serta merta mendapatkan kepastian hukum oleh negara, mengingat perkawinan yang dilakukan “belum tentu” sah menurut
peraturan perundang-undangan.

Untuk itu pelaporan bagi perkawinan tersebut memerlukan penetapan dari pengadilan terhadap perkawinannya. Menurut Undang- Undang Administrasi Kependudukan pasal 35, perkawinan yang ditetapkan pengadilan dapat dilakukan pencatatan sebagaimana perkawinan yang sah berdasarkan peraturan. Oleh karena itu pelaksanaan perkawinan beda kepercayaan dapat dikatakan sah bila telah mendapatkan penetapan pengadilan, sehingga dapat dilakukan pencatatan.

Hingga saat ini perkawinan beda kepercayaan telah menjadi sorotan di masyarakat baik dari kalangan akademisi, pemuka agama dan pemeluk agama dengan topik bahasan adalah perkawinan tersebut bukan merupakan perkawinan yang sah.

Mengingat perkawinan yang sah itu berawal dari ritual keyakinan agama dan kepercayaan mempelai, sehingga bila berlaku dua ajaran agama/kepercayaan dalam satu perkawinan ritual agama apa yang hendak digunakan. Hingga saat ini setiap ajaran agama yang ada di Indonesia secara mayoritas tidak mengajarkan tindakan perkawinan semacam itu. Pada tahun 2014 Mahkamah Konstitusi pernah memutus perkara Nomor 68/PUU-XII/2014 dimana MK menolak gugatan judicial review terhadap pasal 2 ayat (1) tentang sahnya perkawinan yang dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan. MK menganggap bahwa norma tersebut sudah cukup jelas dan sepatutnya diikuti oleh masyarakat.

Menurut Ratna, hukum adalah alat untuk menciptakan keadilan, kepastia, dan kemanfaatan bagi masyarakat. Tentunya pergerakan hukum juga sangat terbatas sebagaimana hal tersebut dituangkan dalam Undang-Undang Perkawinan. Termasuk pada perkawinan beda kepercayaan, hukum mendapatkan “keterbatasannya” dalam mengatur perilaku masyarakat dengan ajaran agamanya masing-masing. Tetapi hukum tidak dapat membiarkan pelaku perkawinan beda kepercayaan untuk tidak mendapatkan kepastian. Hal ini banyak direspon oleh oknum biro jasa untuk mendapatkan kepastian dalam perkawinan beda kepercayaan dengan menawarkan layanan jasa dari akad hingga pencatatan.

Pengadilan sebagai lembaga yang memiliki kewenangan untuk menetapkan perkawinan sendiri dapat dilema dalam menetapkan permohonan perkawinan beda kepercayaan. Ketika mengabulkan permohonan pengadilan dianggap tidak mematuhi norma agama, sebaliknya jika menolak pengadilan dianggap tidak memberikan keadilan bagi pelaku. Menariknya sebagian besar hakim di pengadilan negeri memberikan pertimbangan masih terjadi kekosongan / belum jelas diatur terhadap perkawinan beda
kepercayaan, sehingga dasar tersebut yang perlu diberikan keadilan.

Terjadi kritikan ataupun penolakan pada suatu pengadilan pada salah satu kota besar di Jawa Timur sesaat setelah mengabulkan perkawinan beda kepercayaan. Bahkan pengadilan tersebut sempat diajukan gugatan terhadap penetapan yang dikeluarkannya. Bila ditelisik lebih dalam pada berbagai media maupun jurnal penelitian, pengabulan penetapan perkawinan beda kepercayaan adalah fenomena gunung es, dimana pada salah kota besar terjadi penolakan, tetapi di kota-kota lain di Indonesia hal tersebut berjalan “adem ayem” saja.

“Gambaran fakta di atas menunjukkan bahwa perkawinan beda kepercayaan adalah suatu kemungkinan yang dapat terjadi, tetapi perkawinan tersebut terjadi respon yang beragam dalam kerangka hukum sebagai moral dan hukum sebagai kepastian,” kata Ratna.

Dengan masalah tersebut maka Departemen Perdata FH UII hendak melaksanakan kegiatan rangkaian diskusi dalam rangka peningkatan kapasitas dosen hukum perdata, akademisi, masyarakat untuk dapat menambah wawasan pengetahuan dan keilmuan sebagai dosen pengampu mata kuliah hukum perdata ataupun masyarakat pada umumnya. (lip)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *