PSHK FH UII: Pemerintah Perlu Mempermudah Aksesibiltas Masyarakat Tehadap Layanan Keapotekeran

beritabernas.com – Pusat Studi Hukum dan Konstitusi (PSHK) FH UII meminta Komisi IX DPR RI agar melakukan pengawasan dan mendorong kepada pemerintah untuk mempermudah aksesibilitas masyarakat terhadap layanan profesional keapotekeran dan meneguhkan kedudukan strategis profesional apoteker dalam sistem kesehatan nasional.

Selain itu, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia diminta untuk melakukan harmonisasi terhadap UU 17/2023 dan peraturan pelaksanaannya dan melakukan evaluasi diri untuk mencegah terjadinya pelanggaran hak atas derajat kesehatan yang optimal dalam pengaturan dan praktek profesional keapotekeran.

Sedangkan Kementerian Kesehatan diminta untuk melakukan harmonisasi UU 17/2023 dan peraturan pelaksanaannya dengan mengadopsi ketentuan yang mempermudah akses masyarakat terhadap obat dan kewenangan klinis apoteker; melakukan penataan dan pemerataan apoeter yang berkadilan; memperteguh kewenangan apoteker dalam praktek kefarmasian dengan tidak mengeliminasi kewenangan kefarmasian dengan tenaga kesehatan lain; dan memperluas kewenangan apoeter dalam sistem kesehatan nasional.

Moderator Rahmadina Bella (kanan) bersama narasumber acara Ekspos Riset dan Peluncuran Policy Brief di Mini Auditorium FH UII, Kamis 15 Mei 2025. Foto: Philipus Jehamun/beritabernas.com

Sementara seluruh Apoteker dan masyarakat diharapkan mengawasi dan mengawal upaya untuk mempermudah aksesibilitas masyarakat terhadap layanan profesional keapotekeran dan meneguhkan kedudukan strategis profesional apoteker dalam sistem kesehatan nasional.

Demikian sejumlah rekomendasi yang disampaikan PSHK FH UII terkait masalah aksesibilitas layanan keapotekaran oleh masyarakat dan kedudukan strategis apoteker dalam sistem kesehatan nasional yang dibacakan Retno Widiastuti SH MH, Dosen dan Peneliti PSHK FH UII, di sela acara Ekspos Riset dan Peluncuran Policy Brief di Mini Auditorium FH UII, Kamis 15 Mei 2025.

Rekomendasi ini disampaikan PSHK FH UII menanggapi berbagai persoalan dan implikasi pasca diterbitkannya Undang-Undang Nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan (UU 17/2023), baik secara formal dengan pembentukan peraturan pelaksana maupun secara subtansial dengan pengaturan ketentuan baru, khususnya tentang aksesibilitas masyarakat terhadap layanan keapotekeran dan kedudukan apoteker dalam sistem kesehatan nasional.

Menurut Retno Widiastuti, ada sejumlah persoalan yang disikapi dan kritisi PSHK FH UII pasca diterbitkannya UU No 17/2023 untuk memberi pencerahan kepada publik, yakni konsep pengaturan apoteker telah menyimpang dari The International Standard Classification of Occupations (ISCO) tahun 2008 yang diterbitkan oleh World Health Organization yang memberikan kewenangan yang memadai bagi apoteker sampai pada kewenangan farmasi klinis.

Menurut PSHK FH UII, ketentuan dalam UU 17/2023 dan peraturan pelaksanaannya telah mempersulit aksesibilitas masyarakat terhadap layanan professional apoteker karena beberapa hal. Pertama, adanya distorsi standar pelayanan kesehatan yang didapatkan oleh masyarakat karena mengeliminasi eksistensi apoteker; kedua, menghilangkan aksesibilitas masyarakat terhadap kewenangan klinis yang kompeten; ketiga, peningkatan risiko kesalahan terapi pasien karena tidak adanya review oleh apoteker; keempat, penurunan kepatuhan pasien terhadap pasien terapi; dan kelima, mencegah masyarakat dalam mendapatkan perencanaan terhadap distribusi tenaga kesehatan yang berkeadilan.

BACA JUGA:

Selain itu, menurut PSHK FH UII, ketentuan dalam UU 17/2023 dan peraturan pelaksanaannya telah mempersempit kewenangan profesi apoteker yang secara teoritis dan konseptual karena adanya pengkerdilan definisi apoteker; pengaburan dan penyusutan kewenangan apoteker dalam praktek
kefarmasian; pembatasan ruang gerak apoteker dalam sistem kesehatan nasional; dan menghilangkan kewenangan klinis apoteker.

Menurut PSHK FH UII, konsep pengaturan layanan profesional keapotekeran yang menciptakan aksesibilitas yang sulit oleh masyarakat, secara tidak langsung telah melanggar jaminan hak asasi manusia yakni hak atas derajat kesehatan yang optimal (right to attainable standard to health) yang bahkan disetarakan dengan hak atas hidup (right to life) sebagaimana diatur di dalam Pasal 28H ayat (1), Pasal 34 ayat (2) dan tujuan negara alinea ke-4 Pembukaan UUD NRI 1945.

“Intinya negara menjamin hak setiap warga negara untuk mewujudkan kehidupan yang baik, sehat serta
sejahtera lahir dan batin demi tercapainya tujuan nasional dalam melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum,” kata Retno Widiastuti. (lip)



    There is no ads to display, Please add some

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *