beritabernas.com – Rektor UII Prof Fathul Wahid ST MSc PhD mengingatkan kembali gagasan Prof Zaini Dahlan (Rektor UII periode 1994-2002) tahun 2006 atau 19 tahun lalu. Gagasan itu dimunculkan kembali pada acara serah terima SK Kenaikan Jabatan Akademik Profesor untuk Dr Yusdani, Dosen FIAI UII, dari Kementerian Agama RI di Kampus Terpadu UII, Kamis 15 Mei 2025.
Ketika itu, menurut Rektor UII Fathul Wahid, Zaini Dahlan menginginkan para dosen Fakultas Ilmu Agama Islam melengkapi perspektifnya dengan beragam ilmu lain. Artinya, seorang dosen tidak terpaku pada disiplin ilmu yang ditekuninya.
Menurut Rektor UII, ketika itu beragam alasan yang disampaikan Prof Zaini Dahlan, Rektor UII 1994-2002 dan Rektor UIN Sunan Kalijaga pada 1976-1983. Dengan menggunakan “beragam ilmu lain”, ketika itu Zaini Dahlan menyebut beberapa disiplin ilmu, antara lain sosiologi dan ilmu politik.
Fathul Wahid menilai itu merupakan gagasan cemerlang meski saat itu tidak mendapatkan respon memadai. Menurut Fathul Wahi, dalam terminologi yang lebih teknis, kita bisa masukkan teori-teori sosial. Bagi ilmuwan studi Islam dengan beragam cabangnya, perlu melengkapi perspektif dengan teori-teori sosial. Kita bisa landasi gagasan ini dengan beberapa alasan.

Pertama, memahami konteks sosial dan budaya secara mendalam. Ilmu sosial membantu ilmuwan studi Islam untuk memahami praktik keagamaan, tradisi dan pandangan umat muslim dalam konteks sosial dan budaya tertentu. Misalnya, interpretasi teks-teks agama tidak bisa dilepaskan dari latar belakang budaya dan sejarah masyarakatnya. Dengan teori sosial, mereka dapat menganalisis bagaimana identitas sosial,
norma, dan nilai masyarakat mempengaruhi praktik keagamaan sehari-hari
Kedua, menjelaskan dinamika perubahan dalam masyarakat muslim. Perubahan sosial, termasuk modernisasi, urbanisasi dan globalisasi, berdampak besar terhadap umat Islam. Ilmu sosial memungkinkan studi yang lebih dinamis dan kontekstual dalam memahami bagaimana masyarakat muslim beradaptasi dan bereaksi terhadap perubahan tersebut, serta bagaimana hal ini mempengaruhi pemahaman agama dan praktik keagamaan mereka.
Beragam studi menemukan praktik berislam diterjemahkan secara kontekstual di banyak negara. Terjemahan Islam di lapangan tidak tunggal (Bowen, 2012). Asumsi ketunggalan inilah yang justru menjadikan Islam sering dilihat sebagai “musuh” di negara-negara Barat (Cerasi, 2013). Ketika
terdapat satu komunitas yang dianggap bermasalah karena pemahaman atau praktiknya, komunitas lain dianggap serupa.
Ketiga, memperkuat analisis tentang identitas dan konflik sosial. Teori sosial membantu ilmuwan untuk menganalisis isu identitas keagamaan dan konflik sosial yang melibatkan komunitas muslim, baik di dalam negeri maupun antar negara.
Misalnya, teori tentang identitas sosial atau kekuasaan dapat digunakan untuk memahami dinamika politik dan sosial yang melibatkan kelompok muslim tertentu, termasuk aspek diskriminasi dan integrasi sosial.
BACA JUGA:
- Persentase Guru Besar di UII Hampir Dua Kali Lipat Dibandingkan Rata-rata Nasional
- Forum Dosen dan Guru Besar FH UII: Telah Terjadi Pembajakan Dunia Peradilan di Indonesia
Keempat, menghindari reduksionisme dan orientasi teks semata. Studi Islam kadang-kadang terlalu berfokus pada interpretasi teks agama dan kurang memperhatikan faktor sosial yangmempengaruhi praktik dan pemikiran keagamaan. Dengan ilmu sosial, studi menjadi lebih multidimensional, mengurangi
risiko reduksionisme dan memberikan gambaran yang lebihlengkap tentang kenyataan umat muslim.
Sebagai contoh, praktik ekonomi Islam yang mengedepankan pemerataan dan menghindari pemusatan kesejahteraan pada satu kelompok masyarakat, misalnya, dapat dikuatkan dengan temuan riset dalam ekonomika terkait dengan dampak negatif dari ketimpangan (Stiglitz, 2015). Beragam temuan di bidang
psikologi perilaku bisa juga memberikan penjelasan ilmiah atas ajaran dalam ekonomika islami terkait dengan rasionalitas, misalnya (Syed Agil, 2007).
Kelima, meningkatkan relevansi dan hubungannya dengan isu-isu kontemporer. Teori sosial memungkinkan para ilmuwan untuk mengaitkan studi Islam dengan isu-isu kontemporer seperti hak asasi
manusia, gender, demokrasi, dan keadilan sosial. Pendekatan ini menghasilkan analisis yang relevan dan aplikatif dalam konteks masyarakat modern dan global.

“Saya masih ingat, tema besar diangkat pada pertemuan R20 pada 2022 lalu adalah bagaimana agama-agama dunia, termasuk Islam, menjadi bagian solusi atas beragam masalah global. Saat itu, UII menjadi salah satu lokasi kunjungan ratusan pemuka agama dunia. Di sini, relevansi ajaran Islam diuji dalam konteks yang berbeda dengan, misalnya, konteks dunia 14 abad silam,” kata Rektor UII Fathul Wahid.
Sementara itu, hingga saat ini UII telah melahirkan 55 profesor, 49 di antaranya adalah profesor aktif. Dari 834 dosen UII, sebanyak 286 telah berpendidikan doktoral dan 118 di antaranya telah menduduki jabatan akademik Lektor Kepala. Mereka adalah para calon profesor di masa depan, karena 76 di antaranya
telah memenuhi syarat untuk pengajuan ke jabatan akademik tertinggi.
Penyerahan SK Kemendikti dilakukan oleh Koordinator Kopertais Wilayah III yang juga Rektor UIN
Sunan Kalijaga Prof Noorhaidi Hasan S.Ag M.Ag M.Phil PhD kepada Rektor UII Prof Fathul Wahid untuk kemudian diteruskan kepada Dr Yusdani disaksikan oleh Sekretaris Kopertais Wilayah III Prof Dr Ahmad Arifi M.Ag dan jajarannya serta Ketua Umum Pengurus Yayasan Badan Wakaf UII, yang diwakili oleh Ketua Bidang Pengembangan Pendidikan,Prof Allwarserta para guru besar dan tamu undangan. (lip)
There is no ads to display, Please add some