Oleh: Yunita Ayu Lestari, Mahasiswa Program Studi Psikologi Universitas Cendekia Mitra Indonesia, Yogyakarta
beritabernas.com – Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa orang lain. Dalam interaksi sosial, setiap individu membawa nilai, kepercayaan, dan pandangan hidup yang berbeda. Perbedaan inilah yang membuat kehidupan sosial menjadi berwarna, namun juga dapat memicu gesekan.
Fenomena intoleransi muncul ketika seseorang atau kelompok menolak keberadaan pihak lain yang dianggap berbeda, baik dalam hal agama, budaya, ras, maupun pandangan politik. Fenomena intoleransi dapat dipahami sebagai hasil dari proses psikologis dan sosial yang kompleks, bukan sekadar hanya persoalan moral atau etika.
Psikologi sosial adalah cabang ilmu psikologi yang mempelajari bagaimana pikiran, perasaan, dan perilaku individu dipengaruhi oleh kehadiran orang lain. Menurut Baron dan Byrne (1991), psikologi sosial berfokus pada tiga aspek utama: 1. Kognisi sosial, yaitu cara seseorang menilai dan memahami orang lain, 2. Pengaruh sosial, yaitu bagaimana tekanan sosial dan norma memengaruhi perilaku, 3. Hubungan sosial, yaitu interaksi antar individu dan dinamika kelompok. Melalui ketiga aspek ini, psikologi sosial membantu menjelaskan mengapa seseorang bisa memiliki prasangka, stereotip, dan perilaku diskriminatif terhadap kelompok tertentu.
Akar psikologis intoleransi
Fenomena intoleransi tidak hanya lahir dari perbedaan agama atau budaya, tetapi dari mekanisme psikologis yang lebih dalam. Beberapa teori dalam psikologi sosial menjelaskan hal ini, dalam Teori Identitas Sosial (Tajfel & Turner, 1986), manusia memiliki kebutuhan untuk menjadi bagian dari kelompok yang memberikan rasa aman dan harga diri.
Baca juga:
- Psikologi Gen Z Memaknai Nilai Pancasila di Era Digital
- Tata Kelola Sumber Daya Manusia Indonesia Berbasis Talenta
- Memperkuat Nasionalisme Kalangan Generasi Muda
Saat seseorang terlalu mengidentifikasi diri dengan kelompoknya (in-group), ia bisa memandang kelompok lain (out-group) sebagai ancaman. Dari sinilah muncul perilaku (in-group favoritism) mengutamakan kelompok sendiri dan (out-group discrimination) menolak kelompok lain. Selanjutnya Teori Prasangka dan Stereotip, Prasangka adalah sikap negatif terhadap kelompok lain, sedangkan stereotip adalah pandangan menyederhanakan atau menilai kelompok berdasarkan ciri tertentu. Misalnya, menganggap kelompok tertentu malas, fanatik, atau tidak dapat dipercaya. Pandangan seperti ini menjadi dasar dari perilaku intoleran.
Selain itu, Teori Frustrasi-Agresi (Dollard, 1939) Ketika seseorang merasa gagal atau frustrasi, ia cenderung mencari “kambing hitam” untuk melampiaskan kekecewaan. Dalam konteks sosial, kelompok minoritas sering menjadi sasaran agresi simbolik ini.
Perkembangan teknologi dan media sosial membawa dampak besar terhadap penyebaran intoleransi. Di satu sisi, internet membuka ruang komunikasi tanpa batas, tetapi di sisi lain, ia menciptakan (echo chamber) ruang gema opini di mana seseorang hanya berinteraksi dengan orang-orang yang berpandangan sama.
Penelitian Suryanto (2024) menunjukkan bahwa algoritma media sosial memperkuat bias konfirmasi. Akibatnya, seseorang semakin yakin bahwa pendapat kelompoknya paling benar dan kelompok lain salah. Selain itu, anonimitas di dunia maya membuat individu lebih berani menyebarkan ujaran kebencian tanpa merasa bertanggung jawab. Kondisi ini memperparah polarisasi sosial dan menurunkan empati antarkelompok.
Empati menjadi faktor penting dalam membangun toleransi. Individu yang mampu memahami perasaan dan sudut pandang orang lain cenderung lebih terbuka terhadap perbedaan. Menurut penelitian Nagata & Tondok (2023), tingkat empati tinggi berkorelasi positif dengan sikap toleran terhadap kelompok lintas agama dan budaya.
Selain itu, Hipotesis Kontak Sosial (Allport, 1954) menyebutkan bahwa interaksi langsung antar-kelompok yang berbeda dapat mengurangi prasangka, terutama jika dilakukan dalam situasi yang setara dan saling menghargai.
Pendidikan dan upaya pencegahan intoleransi
Pendidikan memainkan peran sentral dalam membentuk sikap sosial. Sekolah dan universitas tidak hanya bertugas mentransfer pengetahuan, tetapi juga menanamkan nilai-nilai kemanusiaan dan keberagaman. Penelitian Aprilianto dkk. (2025) menunjukkan bahwa siswa yang terbiasa berinteraksi dengan teman berbeda agama memiliki tingkat toleransi lebih tinggi.
Oleh karena itu, penting bagi lembaga pendidikan untuk: Menyediakan ruang dialog lintas iman dan budaya, mendorong kerja sama dalam kelompok majemuk, mengajarkan literasi digital agar siswa mampu memilah informasi dan melawan hoaks intoleran.
Jika kita ingin melawan intoleransi, kita perlu memahami bagaimana manusia berpikir dan merasa tentang ‘yang lain’, Itulah wilayah kerja psikologi sosial.
Upaya membangun masyarakat toleran harus dimulai dari dua arah: struktural dan personal. Di tingkat struktural, kebijakan pendidikan dan media harus mendukung dialog dan keberagaman. Sementara di tingkat personal, setiap individu perlu mengembangkan kesadaran diri, empati, dan keterampilan komunikasi lintas budaya.
Dari sudut pandang psikologi sosial, intoleransi bisa dikurangi dan dicegah melalui: Pendidikan empati sejak dini, kampanye media sosial yang menonjolkan keberagaman positif, dialog terbuka antaragama dan antarsuku, kebijakan sosial yang inklusif dan adil, pendekatan psikologis berbasis pemahaman identitas sosial.
Psikologi sosial mengajarkan bahwa manusia tidak hidup dalam ruang hampa. Pikiran, emosi, dan perilaku kita selalu dipengaruhi oleh kelompok tempat kita berada Intoleransi, dengan demikian, bukan sekadar persoalan individu jahat atau baik, tetapi hasil dari interaksi kompleks antara identitas, nilai, dan lingkungan sosial.
Jika ingin mewujudkan masyarakat yang damai dan inklusif, Indonesia perlu menumbuhkan empati, membuka ruang perjumpaan lintas perbedaan, dan membangun kesadaran bahwa keberagaman adalah kekuatan, bukan ancaman.
Dengan pendidikan, komunikasi, dan kesadaran sosial yang kuat, masyarakat Indonesia dapat menumbuhkan budaya toleransi yang menjadi dasar kehidupan damai dalam keberagaman. (*)
There is no ads to display, Please add some