Pusat Studi Agama dan Demokrasi UII Ingin Melantangkan Pesan Adanya Pembajakan Demokrasi

beritabernas.com – Pusat Studi Agama dan Demokrasi UII diluncurkan pada Rabu 22 Mei 2024 di Gedung Kuliah Umum (GKU) Dr Sardjito Kampus Terpadu UII. Acara peluncuran antara lain dihadiri Penasihat Pusat Studi Agama dan Demokrasi UII Prof M Mahfud MD, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi dan mantan Menkopolhukam sekaligus memberikan keynote speech.

Rektor UII Prof Fathul Wahid ST MT Phd mengatakan, pendirian Pusat Studi Agama dan Demokrasi UII dilakukan karena ingin melantangkan pesan dan mengedukasi publik bahwa pembajakan demokrasi dapat dilakukan dengan modus operandi baru yang mengelabui.

“Kita perlu menumbuhkan kesadaran kolektif bahwa pembajakan terhadap demokrasi tidak lagi dengan cara kekerasan, penggunaan militer atau kudeta. Pasca perang dingin, di banyak negara, kemunduran demokrasi justru dilakukan oleh pemerintahan terpilih. Demokrasi dibunuh oleh anak kandungnya sendiri. Kemunduran demokrasi bahkan dimulai dari bilik pemungutan suara ketika pemilu (e.g. e.g. Guriev & Treisman, 2022; Levitsky & Ziblat, 2018),” kata Rektor UII Prof Fathul Wahid ketika membuka acara peluncuran Pusat Studi Agama dan Demokrasi UII, Rabu 22 Mei 2024.

Dalam beberapa tahun terakhir, praktik berbangsa dan bernegara di Indonesia mengalami tantangan berat. Episode praktik bernegara, terutama menjelang pemilihan umum, telah memancing kegaduhan yang luar biasa. Suara kritis banyak intelektual lintas kampus saling menguatkan. Namun, suara kritis itu didelegitimasi dan tidak didengarkan dengan serius.

Rektor UII Prof Fathul Wahid menyampaikan sambutan pada peluncuran Pusat Studi Agama dan Demokrasi UII, Rabu 22 Mei 2024. Foto: Philipus Jehamun/ beritabernas.com

“Praktik bernegara yang berlangsung bisa jadi terlihat legal karena disahkan dengan peraturan dan bahkan upaya tersebut dikesankan sebagai upaya meningkatkan demokrasi,” kata Prof Fathul Wahid.

Kesan itu digaungkan dengan menguasai narasi publik dan memutarbalikkan fakta. Inilah yang oleh Guriev dan Triesman (2022) sebagai kemunculan autokrat informasi (informationoal autrocrat) yang kemudian digantinya istilah tersebut dengan diktator pemutarbalik fakta (spin dictator).

“Diktator jenis ini tidak menebar teror dan kekerasan. Mereka adalah para pencabut ruh demokrasi yang sejati, meski label demokrasi tetap dipakai karena mereka berpura-pura bersikap demokratis. Diktator varian ini bahkan dicintai dan tidak ditakuti karena mereka populer dan menggunakan beragam sumber daya untuk mengkonsolidasi kekuasaan. Mereka juga menghindari represi kekerasan secara terbuka,” kata Prof Fathul Wahid. 

Dalam iklim demokrasi seperti ini, menurut Prof Fathul Wahid, media masih menulis tetapi sejatinya mereka telah terbeli atau ditekan supaya melakukan sensor internal. Warga negara masih terus memberikan kritik kepada pemerintah, tetapi suara mereka tidak didengar dan dijadikan konsiderans dalam pengambilan kebijakan (e.g. Levitsky dan Ziblat, 2018).

Menyelamatkan demokrasi

Menurut Rektor UII, kampus sebagai bagian masyarakat sipil merasa terpanggil untuk terus menyelamatkan dan menguatkan demokrasi di Indonesia. Masyarakat sipil di Indonesia harus tetap kuat.

Menurut Acemoglu dan Robinson (2019) dalam buku The Narrow Corridor: kebebasan akan muncul dan berkembang jika negara dan warga kuat. Negara yang kuat diperlukan untuk mengendalikan kekerasan, menegakkan hukum dan menyediakan layanan publik yang memberdayakan. Di sisi lain, warga yang kuat dibutuhkan untuk mengontrol dan mengekang negara. Intelektualisme yang tumbuh di kalangan warga, terutama kaum terpelajarnya, adalah salah satu upaya menguatkan warga.

BACA JUGA:

Karena itu, ruh dari demokrasi harus diselamatkan supaya tidak mati sia-sia dan gentayangan menghantui kita semua. Apa ruhnya? Jika kita lihat “kitab kuning” (turats) demokrasi besutan Plato, yang terekam dalam buku The Republic, negara ideal dibangun atas empat hal yakni kebijaksanaan, keberanian, disiplin diri dan keadilan. Bahkan bagian awal buku ini, merekam diskusi antara Socrates, para sahabat dan muridnya tentang keadilan.

Salah satu pesan penting buku ini adalah bahwa kebajikan moral (moral virtue) sangat penting dalam menjalankan demokrasi. Tanpa itu, demokrasi akan cenderung menjadi pengaturan oleh gerombolan yang tidak berpendidikan, dengan para politisi yang menggiring para pemilih untuk menyampaikan apa ingin mereka dengar untuk tetap menjaga kekuasaan. Bagi Plato, kebajikan moral hanya muncul dari pengetahuan atau pendidikan.

Demokrasi bagi Plato merupakan bentuk negara yang paling adil. Secara indah, negara seperti ini: “Bagaikan jubah bersulam yang ditaburi berbagai jenis bunga. Dan hanya kaum perempuan dan anak-anak yang berpikir bahwa keragaman warna adalah sesuatu yang paling menawan, sehingga banyak laki-laki yang menganggap Negara ini, yang dipenuhi dengan akhlak dan karakter manusia, akan tampak sebagai Negara yang paling adil.” (Plato, 2012.

“Sekali lagi terima kasih untuk para penasehat, tim ahli, kepala dan semua tim Pusat Studi Agama dan Demokrasi. Kita semua berharap, pusat studi ini dapat memantapkan eksistensinya untuk berandil dalam menyelamatkan demokrasi di Indonesia,” ucap Rektor UII. (lip)
.


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *