Refleksi 18 Tahun Gempa Bumi 27 Mei 2006, Prof Sarwidi: Banyak Pelajaran yang Berharga

beritabernas.com – Pada Sabtu 27 Mei 2006 pukul 05.53 WIB pagi, warga DIY terutama Kabupaten Bantul dan sebagian Jawa Tengah seperti Klaten dikejutkan dengan gempa bumi dahsyat yang menelan ribuan korban jiwa dan kerusakan/kerugian harta benda.

Guncangan gempa bermagnitudo 5,9 yang bersumber dari dinamika tektonik Sesar Opak itu berlangsung kurang dari satu menit ini. Meski berlangsung singkat, namun gempa bumi itu mengakibatkan lebih dari 5.000 korban jiwa manusia dan puluhan ribu lainnya luka-luka serta lebih dari 240 ribu bangunan rusak dan roboh di wilayah DIY dan Jateng. Total kerugian materiil diperkirakan lebih dari Rp 29 triliun dan Kabupaten Bantul merupakan wilayah yang menderita paling parah akibat bencana tersebut. 

Pada Senin 27 Mei 2024, peristiwa itu genap berusia 18 tahun. Untuk mengenang bencana alam yang memakan banyak korban jiwa itu, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bantul mengadakan acara Refleksi 18 Tahun Gempa Bumi Tahun 2006 di Aula Kompleks Pemda II Manding, Bantul, DIY dengan melibatkan unsur penta-helix, yaitu unsur-unsur dari pemerintah, masyarakat, dunia usaha, akademisi dan media massa.

Banyak pelajaran berharga

Prof Sarwidi MSCE PhD IPU, guru besar senior rekayasa kegempaan UII yang juga menjadi anggota aktif SPMKB (Simpul Pemberdayaan Masyarakat untuk Ketangguhan Bencana) UII dan menjabat sebagai Pengarah BNPB RI, yang tampil sebagai salah satu narasumber, mengatakan, peristiwa bencana gempa bumi 2006 selain telah menimbulkan penderitaan yang dalam juga menjadi momentum istimewa.

Sebab, peristiwa itu meninggalkan banyak pelajaran yang berharga untuk mencegah atau mengurangi dampak peristiwa bencana gempa mendatang.

Prof Ir H Sarwidi, MSCE., PhD IP-U. Foto: Dok pribadi

Menurut Prof Sarwidi, beberapa pelajaran berharga yang dipetik dari peristiwa itu. Pertama, dengan pemberitaan yang luas tentang bencana tersebut, banyak masyarakat menjadi sadar bahwa gempa tidak datang menunggu masyarakat siap, namun masyarakat yang harus mengantisipasi dan menyiapkan diri akan kedatangan gempa yang terjadi secara mendadak.

Selain itu, masyarakat menjadi memahami, bahwa gempa tidak membunuh, tetapi bangunanlah yang membunuh karena runtuh.

Kedua, peristiwa tersebut menjadi salah salah satu pemicu percepatan lahirnya UU RI Nomor 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana di Indonesia. Kedua, peristiwa tersebut tidak hanya menjadi perhatian nasional saja, tetapi perhatian dunia, terlihat dengan hadirnya lembaga-lembaga internasional yang berpartisipasi dalam penanganan bencana tersebut.

Ketiga, model pemulihan pasca bencana gempa tersebut dinilai sangat berhasil dengan proses yang cukup cepat oleh komunitas nasional maupun komunitas internasional. Salah satu sebabnya adalah keunikan budaya masyarakat yang sangat guyup rukun bergotong-royong bersinergi dengan pemerintah dan unsur-unsur penta-helix lainnya.

Keempat, peristiwa tersebut mempercepat masyarakat peduli bencana dan pemerintah berinovasi melahirkan forum penanggulangan bencana (FPRB) di DIY. Model FPRB tersebut kemudian diikuti oleh wilayah-wilayah lain, sejak dari tingkatan dusun, kelurahan, kecamatan, kabupaten, kota, dan provinsi. Bahkan FPRB DIY dinilai sangat berperan dalam penanganan bencana erupsi Gunung Merapi dahsyat 2010, baik sebelum, saat, hingga pasca bencana.

BACA BERITA TERKAIT:

Kelima, berbeda dengan bencana di wilayah manapun pada masa itu yang ditangani setelah kejadian bencana, bencana gempa 2006 tersebut sudah diantisipasi oleh sebagian masyarakat sejak sebelum kejadian karena sudah ada kegiatan cukup intensif pada masa pra bencana, yaitu sebagian masyarakat konstruksi sudah mempelajari cara membangun rumah yang tahan gempa dan telah menerapkan di lapangan.

Hasilnya, banyak bangunan rumah yang mereka dirikan yang berada di dekat pusat gempa hanya mengalami kerusakan kecil di antara bangunan rumah yang rusak berat atau roboh di sekelilingnya. Kelompok masyarakat konstruksi yang terlatih tersebut kemudian mendirikan PAMAN BATAGA (Paguyuban Mandor Bangunan Tahan Gempa) dan bangunan rumah yang mereka bangun menggunakan konsep BARRATAGA (Bangunan Rumah Rakyat Tahan Gempa).

Untuk mendokumentasikan peristiwa tersebut, pemerintah telah membangun beberapa monumen atau tetenger untuk pengingatan akan pelajaran berharga yang telah diperoleh dari bencana tersebut. Selain itu, masyarakat telah bahu membahu mendirikan Museum Gempa Prof Dr Sarwidi sebagai wadah pendokumentasian pelajaran berharga yang diperoleh tersebut dan sekaligus menjadi ajang wisata edukasi kegempaan dan kebencanaan (WEGB) bagi semua lapisan masyarakat, sejak dari pengunjung PAUD, SD, SMP, SMU, mahasiswa maupun masyarakat umum. (lip)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *