beritabernas.com – Bagi kebanyakan guru dan tenaga kependidikan, perjumpaan dengan sekolah lengkap dengan dinamika murid, sudah menjadi hal biasa. Sesuatu yang biasa bahkan terkesan rutinitas tersebut, jika diceritakan kembali dengan ditulis oleh pelakunya dan kemudian dibukukan, menjadi hal yang monumental dan sangat berkesan.
Hal inilah yang terungkap dalam bedah buku Muridku Bisa, Aku Bahagia di ruang baca SMA Pangudi Luhur (PL) Yogyakarta, Sabtu (18/3/2023) siang. Hadir sebagai pembicara guru sekaligus kolumnis St Kartono, Ketua Yayasan PL Yogyakarta Br Frans Sugi,FIC dan Pengawas SMA Kota Yogyakarta Aris Priyanto M.Or dengan moderator guru PL Yogyakarta I Wawan S.
Dalam bedah buku kali ini, St Kartono yang juga editor buku tersebut menegaskan, menulis itu pekerjaan guru. “Ya guru itu tugasnya menulis. Maka mari kita biasakan untuk menuliskan peristiwa yang kita alami sebagai pendidik juga karyawan di sekolah,” tandasnya.
Dalam pengantar buku, Kartono mengatakan, hanya “batas waktu” yang bisa memaksa para penulis segera mengakhiri proses. Sehingga ada wujud nyata. “Buku ini dirancang, ya sejak setahun lalu. Mengajak banyak guru dan karyawan untuk menulis. Ada hambatan, pasti. Tapi hari ini semua lega, karena buku sudah terbit,” terangnya.
Kartono mengajak membandingkan tulisan asli dengan yang terbit dalam buku. “Itu cara kita memulai menulis. Mari kita belajar terus dan bermurah hati berbagi pengalaman mengajar. Bagi wanita mahkotanya rambut. Bagi seorang guru mahkotanya buku,” tegas Kartono.
Seperti yang dikisahkan guru Bahasa Indonesia Benediktus Banik Pribadi (35). Guru yang mengajar sejak 2015 tersebut menulis dinamika saat para muridnya menggali informasi di kawasan Kantor Pos Besar dan Pasar Beringharjo. “Ternyata ada beragam kisah ketika anak-anak berjumpa dengan banyak orang. Dan inilah yang saya tulis,” ujar Banik.
Kisah lain ditulis Sriyanto. Kejadian saat ia naik plafon memperbaiki lampu yang mati. Tetiba dirinya tersengat listrik dan kaget, sontak menginjak eternit. Beruntung dirinya tersangkut di palang kayu, meski eternitnya jebol menimpa kelas yang sedang melangsungkan pengajaran.
Demikian pula dengan kisah Theresia Eka Oktavianti. Di masa pandemi Covid-19 proses pembelajaran dilangsungkan secara daring. Dirinya seolah menjadi wali kelas “casper”. Guru tidak berjumpa langsung dengan muridnya. “Beberapa siswa mempunyai hobi menghilang. Tidak ada candaan, tidak ada tangan usil ngilik-ngilik kuping teman lain, tidak ada keisengan menyembunyikan tas,” tulisnya.
Ketua Yayaaan PL Yogyakarta Br Frans Sugi FIC mengapresiasi atas terbitnya buku kumpulan 40 tulisan para guru dan karyawan di SMA PL Yogyakarta. “Proficiat. Ini baru buku pertama. Semoga lahir buku berikutnya. Menulis itu mudah tapi perih. Karena memang harus dioyak-oyak,” kata dia.
Br Frans juga membagi pengalamannya saat dituntut harus menulis catatan harian waktu ditugaskan di Filipina. “Apa yang saya alami, itu yang saya tulis. Dan saya sangat berharap, menulis buku seperti ini jangan jadi pertama dan terakhir. Meski wujud bukunya simpel dan sederhana, tapi tetap butuh telaten dalam menuluskan,” terang dia.
Guna mendukung literasi sekolah, Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta mewajibkan kepala sekolah menulis buku.
Refleksi dalam mengajar menjadi salah satu materi dalam kurikulum merdeka. Kehadiran buku tidak hanya sebatas ruang presentasi dan narasi sebuah peristiwa. Namun menjadi sebuah simbol kecerdasan publik. (ag irawan)
There is no ads to display, Please add some