Tajamnya Pena, Terluka oleh Janji Negara: Sebuah Kritik Sosial

Oleh: Andreas Chandra

beritabernas.com – Dalam setiap derap langkah kemajuan sebuah negara, selalu ada luka yang tak terlihat, terpendam dalam kedalaman hati rakyat. Negara hadir dengan janji manis tentang kesejahteraan, keadilan dan kemakmuran. Namun, janji-janji tersebut seringkali menjadi bayang-bayang kosong yang gagal memberikan kenyataan.

Dalam konteks ini, pena yang tajam menjadi alat untuk menggali kebenaran, menyingkap ketidakadilan, dan mengungkapkan suara hati yang terabaikan. Negara, yang seharusnya menjadi pelindung dan pendorong kemajuan, malah seringkali menjadi penghambat bagi rakyatnya sendiri.

Setiap negara, terutama yang mengklaim diri sebagai negara demokratis, memiliki kewajiban moral dan sosial untuk melindungi hak-hak warga negaranya. Namun, kenyataannya tidak selalu sesuai dengan teori yang diajarkan di ruang-ruang perkuliahan atau dalam pidato para pemimpin negara. Kesejahteraan, keadilan dan kemakmuran yang dijanjikan sering kali tidak sampai pada masyarakat kelas bawah yang terpinggirkan.

Pembangunan yang dicanangkan seolah menjadi jargon kosong tanpa implementasi yang nyata di lapangan. Janji-janji yang dikeluarkan dalam kampanye politik seakan hanya menjadi alat untuk meraih kekuasaan, dan begitu kekuasaan telah berada dalam genggaman, maka realisasi terhadap janji-janji tersebut semakin kabur.

Andreas Chandra (tengah) saat beraudiensi dengan Ketua Komisi D DPRD DIY RB Dwi Wahyu (kanan pada, Kamis 6 Maret 2025. Foto: Dok Unicimi Menulis

Salah satu contoh nyata adalah ketimpangan sosial yang semakin lebar. Negara berjanji untuk memberikan akses pendidikan dan layanan kesehatan yang layak bagi seluruh rakyat, tetapi pada kenyataannya, banyak anak-anak dari keluarga miskin yang kesulitan mengakses pendidikan yang berkualitas, dan banyak warga yang harus rela menderita karena keterbatasan akses terhadap fasilitas kesehatan yang memadai.

Di sisi lain, segelintir orang yang memiliki kekuasaan dan uang dapat dengan mudah mengakses segala fasilitas mewah, meski tak jarang mereka tidak membutuhkan fasilitas tersebut. Ketimpangan ini menimbulkan kesenjangan sosial yang semakin dalam, di mana mereka yang berada di kelas bawah merasa terpinggirkan dan terabaikan.

Selain itu, dalam aspek pemerintahan, kebijakan yang diambil sering kali tidak berpihak pada rakyat. Janji-janji yang terucap saat kampanye menjadi sebuah wajah palsu yang semakin sulit dipahami oleh rakyat. Negara seharusnya bisa menjadi agen perubahan yang memperhatikan kepentingan rakyat banyak, bukan hanya kepentingan segelintir elit politik dan pengusaha besar.

Namun, kenyataannya, kebijakan yang ada malah lebih sering berpihak pada kekuatan ekonomi dan politik yang memiliki kepentingan pribadi. Misalnya, kebijakan pemotongan anggaran untuk sektor pendidikan dan kesehatan sering kali terjadi tanpa memperhatikan dampaknya terhadap kehidupan masyarakat, sementara proyek-proyek infrastruktur yang lebih menguntungkan pihak-pihak tertentu tetap dijalankan dengan dana yang besar.

Rakyat pun tak jarang merasa seperti objek dalam permainan kekuasaan. Mereka hanya dijadikan pemilih saat pemilu, namun setelah itu suara mereka seringkali tenggelam dalam hiruk-pikuk politik yang saling bertentangan. Janji-janji yang dilontarkan saat kampanye politik seolah menjadi senjata untuk meraih simpati, tetapi ketika masa pemerintahan berjalan, janji-janji itu terlupakan begitu saja. Akibatnya, masyarakat semakin kehilangan kepercayaan terhadap sistem politik yang ada. Negara yang seharusnya menjadi tempat untuk mencari keadilan dan kesejahteraan, justru menjadi tempat di mana ketidakadilan dan ketimpangan berkembang pesat.

BACA JUGA:

Namun, kritik terhadap negara bukan berarti menentang eksistensinya. Sebaliknya, kritik ini adalah bentuk kecintaan terhadap negara, agar negara dapat kembali menepati janjinya dan berfungsi sesuai dengan tujuan awalnya, yaitu untuk melayani rakyat. Kritik ini juga berfungsi sebagai alat untuk mendorong perubahan yang lebih baik, agar negara menjadi tempat di mana semua warga negara dapat merasakan kesejahteraan, tanpa terkecuali. Negara harus diingatkan bahwa kemajuan tidak hanya diukur dari pertumbuhan ekonomi atau pembangunan fisik semata, tetapi juga dari kualitas kehidupan rakyatnya, terutama mereka yang paling rentan dan terpinggirkan.

Pena yang tajam, dalam konteks ini, berfungsi sebagai alat untuk mengungkapkan kebenaran dan melawan ketidakadilan. Ketika negara gagal menepati janji-janji kepada rakyatnya, pena menjadi media untuk menuntut perubahan, untuk mengingatkan bahwa negara ada untuk melayani rakyat, bukan untuk dilayani oleh rakyat. Rakyat yang hidup dalam kesulitan dan keterbatasan adalah saksi bisu dari kegagalan negara dalam menjalankan tugasnya. Pena yang tajam harus mampu menembus kebohongan yang disembunyikan di balik topeng kemewahan dan kemajuan, dan menyoroti realitas yang sering kali terabaikan.

Sebagai warga negara, kita memiliki hak untuk mengkritik dan memperjuangkan perubahan. Kita tidak boleh membiarkan janji-janji kosong menggerogoti masa depan kita. Negara harus kembali pada prinsip dasar, yaitu melayani dan memprioritaskan kesejahteraan rakyatnya, bukan hanya memikirkan kepentingan segelintir orang yang memiliki kekuasaan.

Dengan pena yang tajam dan kritis, kita dapat mengingatkan negara akan tanggung jawabnya dan memastikan bahwa janji-janji yang diberikan tidak sekadar menjadi kata-kata tanpa makna, tetapi benar-benar terwujud dalam kehidupan nyata. (Andreas Chandra, Mahasiswa FH UAJY)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *