Oleh: Saiful Huda Ems
beritabernas.com – Hanya kuasa hukum yang berpedoman dan tunduk pada aturan syaitan, yang tidak berani membongkar dugaan kejahatan nepotisme dan dinasti politik Jokowi, terlebih malah hanya bernafsu memperkuat nepotisme dan dinasti politik Jokowi.
Perlu dimengerti bahwa nepotisme dan dinasti politik tidaklah sama dengan monarki. Monarki adalah bentuk pemerintahan yang sah dan berdasar kontrak sosial, dimana individu-individu atau masyarakat menyerahkan kekuasaan secara sukarela pada raja untuk mengurus negara. Sedangkan nepotisme dan dinasti politik merupakan usaha individu atau segelintir orang yang berusaha menguasai negara berdasarkan kehendaknya sendiri, biasa diwariskan pada keluarganya dan dilakukan sebelumnya tanpa meminta persetujuan dari masyarakat atau rakyatnya.
Monarki bukanlah kejahatan, namun nepotisme dan dinasti politik merupakan suatu kejahatan (tindak pidana). Nepotisme dan dinasti politik dapat bertahan berkat konspirasinya dengan para pemodal besar yang melahirkan pemerintahan oligarki.
Kata Oligarki berasal dari Yunani oligarkhia, yang bermakna aturan oleh sedikit dan arkho bermakna mengatur atau memerintah. Oligarki merupakan bentuk struktur kekuasaan dimana kekuasaan berada di tangan segelintir orang.
BACA JUGA:
- Belajar Memahami Dinamika Politik Indonesia dari Connie Rahakundini Bakrie
- Musang-musang Berbulu Garuda
Pemerintahan oligarki ini umumnya hanya dipimpin oleh segelintir orang yang bermodal besar dan bermaksud serta berpotensi untuk menjarah kekayaan negara. Ia kemudian akan menguasai negara dengan cara-caranya yang oteriter dan memenjarakan orang-orang kritisnya dengan berbagai alasan. Demikianlah mengapa nepotisme dan dinasti politik pada akhirnya akan berubah menjadi pemerintahan diktator, yang kerap menjadi lintah darat penghisap perekonomian rakyat.
Pada akhir-akhir ini ketika sekelompok anggota DPR hendak melaksanakan hak angket untuk menyelidiki kebijakan Pemerintahan Jokowi yang bersifat strategis dan diduga melanggar atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, teror politik atau penekanan demi penekanan melalui berbagai ancaman oleh penguasa terhadap anggota-anggota dewan, khususnya dari Fraksi PDIP dan partai-partai lain pendukung hak angket mulai gencar dilakukan. Padahal pengajuan hak angket oleh DPR semestinya merupakan hal yang konstitusional, biasa, lumrah dalam tugas dan fungsi DPR sebagai legislator, yang harus selalu mengontrol dan memberikan keseimbangan terhadap jalannya pemerintahan (eksekutif). Ini biasa dikenal dengan prinsip mekanisme check and balances dalam sistem ketatanegaraan kita.
Rusak sekali tatanan negara ini di bawah kepemimpinan Jokowi. Konstitusi ditabrak lari demi menyelamatkan kekuasaan melalui anaknya yang terlalu dimanja setengah mati. Proyek IKN dikebut mati-matian, hingga ekonom dan kakak ipar Prabowo sendiri (Sudrajat Djiwandono) mengatakan proyek ambisius IKN itu seperti kata pepatah,”Besar Pasak Daripada Tiang”.
Sedangkan semua orang tahu, lahan di IKN dikuasai mayoritas hanya oleh segelintir orang, yang utamanya adalah Prabowo dan Hasyim Djoyohadikusumo (adik k andung Prabowo), Luhut Binsar Panjaitan dan sangat mungkin juga ada dari pihak keluarga Jokowi yang memiliki aset besar disana.
Memperhatikan semua hal di atas, termasuk yang lebih utama adalah soal kasus penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang dilakukan oleh Presiden Jokowi terhadap pelaksanaan Pilpres dan Pileg 2024, maka tidak heran jika teror-teror politik oleh rezim Jokowi pada sekelompok kritis kontestan Pilpres 2024, yang hendak mengajukan hak angket di DPR mulai gencar dilakukan.
Celakanya masih banyak juga para pendukung Jokowi belum juga tersadarkan, sedangkan ribuan civitas akademika atau para guru besar berbagai kampus yang bertebaran di seluruh penjuru Tanah air sudah melayangkan protes. Sapere aude! Beranilah berpikir! (Saiful Huda Ems (SHE), Lawyer dan Sniper Politik Nasional)
There is no ads to display, Please add some