beritabernas.com – Untuk kedua kalinya, UII mengeluarkan pernyataan sikap terkait perkembangan politik belakangan ini. Kali ini, pernyataan sikap UII lebih keras dan pedas. Bahkan disebutkan bahwa saat ini Indonesia mengalami kematian demokrasi.
Dalam pernyataan sikap yang dibacakan Rektor UII Prof Fathul Wahid ST MSc PhD di halaman Auditorium KH Abdulkahar Mudzakkir Kampus Terpadu UII, Kamis 14 Maret 2024, UII menyebutkan bahwa sejak awal pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), tanda-tanda kematian demokrasi sudah terasa. Namun, saking halusnya tanda tersebut, tidak banyak yang merasakannya.
“Penciptaan segregasi sosial sejak 2014 hingga sekarang dengan label kadrun vs kampret terbukti menjadi sarana ampuh untuk melumpuhkan struktur demokrasi,” kata Rektor UII yang didampingi civitas akademika UII.
Sementara itu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dikebiri. Pengkritik pemerintah dibawa ke meja hijau dan bahkan dijebloskan ke balik jeruji besi. Aktor masyarakat sipil dibayar menjadi loyalis sok sejati. Upaya membunuh demokrasi lainnya adalah tindakan “main kasar konstitusional”. Sebagai contoh, amandemen terhadap Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, Undang-Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, serta pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja yang seakan-akan dilakukan secara konstitusional.
Padahal yang terjadi sesungguhnya adalah manipulasi jalur dan mekanisme konstitusional. Kasarnya permainan itu dilanjutkan dengan memunculkan gagasan ‘tiga periode’ dan perpanjangan masa jabatan presiden tanpa pemilu. Tindakan paling kasar adalah mengintervensi Mahkamah Konstitusi (MK) untuk meloloskan putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, sebagai calon wakil presiden.
“Ini adalah serangan terhadap independensi lembaga peradilan sekaligus pengkhianatan terhadap amanat Reformasi 1998. Demokrasi sebagai kesepakatan publik yang suci telah mati di tangan Presiden Jokowi. Ini merupakan fakta pahit setelah Indonesia melewati 26 tahun reformasi. Banyak ahli danlembaga independen terpercaya menilai bahwa Pemilu 2024 merupakan yang terburuk sepanjang sejarah Indonesia. Kami sepakat,” kata Rektor UII Prof Fathul Wahid yang membacakan pernyataan sikap UII yang terdiri dua lembar itu.
Pemilu 2024 telah dimanipulasi
Menurut Rektor UII, di permukaan, Pemilu 2024 tampak damai dan aman. Namun, di balik itu, Pemilu 2024 telah dimanipulasi oleh elite politik yang bekerja sama dengan kelompok oligarki untuk memperdaya masyarakat demi dukungan politik elektoral. Pemilu, sebagai salah satu pilar utama demokrasi, telah ambruk dan sekadar menjadi sarana pelanggengan kekuasaan politik dinasti Presiden Jokowi.
BACA JUGA:
- Civitas Akademika UII Menuntut Presiden Joko Widodo Berhenti Menyalahgunakan Kekuasaan
- UII Sebut Indonesia Darurat Kenegarawanan
Melihat situasi tersebut, UII sebagai kampus yang lahir sebelum kemerdekaan Indonesia, didirikan oleh para pembesut Republik ini dan menjadi pelantang Reformasi 1998, memiliki tanggung jawab moral dan historis untuk terus berjuang menegakkan Indonesia agar berjalan di atas dasar konstitusi dan menghormati hak asasi manusia.
Karena itu, UII menyatakan sikap. Pertama, menuntut seluruh penyelenggara negara untuk menjunjung tinggi etika berbangsa dan bernegara, menghormati hak dan kebebasan warga negara dan mengembalikan prinsip independensi peradilan.
Kedua, mengingatkan pejabat negara bahwa mereka memiliki tugas konstitusional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa demi tercapainya masyarakat yang sejahtera, beradab, adil dan makmur. Ketiga, mendorong partai politik untuk menjaga independensinya sehingga berdaya dalam menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dan mampu menjalankan perannya untuk membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Keempat, mendesak partai politik yang kalah dalam Pemilihan Presiden 2024 ini untuk menjadi oposisi penyeimbang yang berpegang teguh pada etika berbangsa dan bernegara serta menjunjung tinggi Konstitusi dan hak-hak asasi manusia dengan menggunakan hak angket dan mencari langkah politik dan hukum lainnya sebagai penghukuman terhadap Presiden Jokowi yang terbukti mengkhianati Reformasi 1998 dan telah melakukan praktik korupsi kekuasaan secara terbuka.
Kelima, mengajak seluruh elemen masyarakat untuk kembali sadar dengan memboikot partai politik yang menjelma menjadi penghamba kekuasaan dan uang serta terang-terangan mengkhianati tugas utamanya sebagai pelaksana kedaulatan rakyat.
Keenam, meminta lembaga-lembaga negara sesuai tugasnya seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) untuk mengusut semua kecurangan pemilu, termasuk yang dilakukan Presiden Jokowi, pada masa sebelum, ketika dan sesudah pemungutan suara. Pemilu harus menjadi sarana menghasilkan pemerintahan yang absah (legitimate).
Ketujuh, menyerukan kepada aktivis masyarakat sipil untuk melakukan pembangkangan sipil dan menolak menjadi bagian dari kekuasaan yang direbut dengan berbagai muslihat tuna etika. Secara khusus, UII menyeru para tokoh kritis nasional untuk bersatu dan membuat oposisi permanen melawan rezim politik dinasti yang menjadi predatorpemangsa dan pembunuh demokrasi di Indonesia.
Menurut Rektor UII Prof Fathul Wahid, pernyataan sikap ini digerakkan oleh hati nurani kami dan kesadaran anak bangsa yang melihat praktik berbangsa dan bernegara yang semakin jauh dari nilai-nilai keadaban. (lip)
There is no ads to display, Please add some