100 Hari Pemerintahan Prabowo-Gibran, Direktur PSAD UII: ‘Di Bawah Lindungan Mulyono’

beritabernas.com – Direktur Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PSAD) UII Prof Dr rer.Soc Masduki S.Ag MSi menilai 100 hari pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran lebih tampak menjadi citra 100 hari ‘kabinet bayangan’ Mulyono (Joko Widodo, red).

Sebab, meski saat ini sudah era Prabowo Subianto namun masih rasa Jokowi yang justru tercatat telah melanggar konstitusi. Sementara Prabowo juga tampak lebih senang terasosiasi kepada Jokowi ketimbang kepada publik yang memilihnya.

Menurut Guru Besar Ilmu Komunikasi UII ini, 100 hari adalah periode krusial yang mendapat sorotan publik baik dalam maupun luar negeri karena akan memberi isyarat besar ke arah mana pemerintahan baru akan berjalan.

“100 hari bukan lagi momentum retorika politik, tetapi implementasi janji politik yang akan menentukan apakah periode politik berikutnya berpihak kepada kepentingan publik atau tidak. Ada banyak metode memahami 100 hari, baik kuantitatif maupun kualitatif. Catatan dan pernyataan ringkas PSAD ini berbasis data kualitatif, dengan mencermati berita di media massa dan melakukan analisis persepsi/percakapan publik di media sosial. Demokrasi dan isu kesejahteraan sosial sebagai tujuan demokrasi menjadi fokus utama catatan ini,” Prof Masduki selaku Direktur PSAD UII dalam Pernyataan Publik 100 Hari Pemerintahan Prabowo-Gibran ‘Di Bawah Lindungan Mulyono’, Kamis 30 Januari 2025.

Selain mengeluarkan pernyataan publik, peringatan 100 pemerintahan Prabowo-Gibran diisi PSAD UII dengan menggelar talkshow dalam bingkai Srawung Demokrasi#5 Rapor 100 Hari Pemerintahan Prabowo-Gibran dengan menghadirkan narasumber Pengamat Politik Rocky Gerung dan Pemikir Kebhinekaan Dr Sukidi dengan dipandu oleh Dr Sri Hastuti Puspitasari SH MH, Dosen FH UII, secara daring dari Ruang Teatrikal Gedung Kuliah Umum UII, Kamis 30 Januari 2025.

Menurut Prof Masduki, indeks demokrasi Indonesia pada sejumlah lembaga survei misalnya Economic Intelligent Unit, Freedom House dan Reporters Without Borders terus menurun sejak 2019 hingga 2024. Rata-rata menurun dari skor 60 ke skor 50 point.

Merujuk beragam indeks tersebut, maka kebebasan sipil dan independensi lembaga peradilan paling menjadi masalah, terutama ketika bersinggungan dengan kepentingan politik penguasa. Sejak 2014, Indonesia mengalami apa yang disebut peneliti ISEAS Thomas Power dan Warburton sebagai stagnation to regression of democracy.

Prof Masduki. Foto: Dok pribadi

Di sisi lain, mengutip World Population Review, Indonesia masih masuk ke dalam 100 negara paling miskin di dunia, peringkat 73. Realita ini, berkelindan pula dengan kualitas penegakan hukum yang carut-marut. Tiga hal ini: kemunduran demokrasi, kegagalan penegakan hukum, dan kemiskinan tampaknya saling berkait kelindan satu sama lain.

Hasilnya, dalam 100 hari pertama, Prabowo lebih memilih melaksanakan janji politik populis (misalnya makan bergizi gratis, renovasi sekolah, swasembada pangan dengan skor positif tinggi) dan disertai kebijakan akomodasi politik (melalui kabinet gemuk) ketimbang janji politik strategis (merujuk Asta Cita No. 1), yaitu memperkokoh ideologi Pancasila, demokrasi dan HAM.

Indeks demokrasi Indonesia yang rendah (flawed/partly) tidak menjadi prioritas untuk diperbaiki. Prabowo masih membiarkan lemahnya lembaga peradilan seperti KPK dan rendahnya kebebasan sipil. Publik mencatat, kabinet jumbo dan komunikasi politik yang buruk di antara elit kementerian memicu persepsi negatif.

Sejumlah bukti

Menurut Prof Masduki, beberapa bukti kasus menunjukkan kebijakan dan gaya politik personal (informal politics) Prabowo yang masih dipengaruhi/melanjutkan Jokowi, yakni struktur kabinet Merah Putih didominasi oleh hampir 40% loyalis Jokowi. Dari total 48 orang Menteri, ada 17 orang bekas Menteri Jokowi, dan 12 orang diantaranya bahkan tetap di posisi yang sama. Gibran Rakabuming Raka sendiri menjadi pintu masuk kontrol politik Jokowi atas Prabowo. Dalam hal jumlah, Prabowo lebih boros ketimbang Jokowi dalam membangun postur kementerian gemuk, menggambarkan politik akomodasi, balas budi, bagi-bagi kue, bukan berbasis kompetensi.

Dalam 100 hari, gagasan besar menyangkut isu-isu kebangsaan dan demokrasi nyaris nihil, tertutup oleh isu politik sandera lawan, politik dinasti ala Prabowo. Keponakan Thomas Djiwandono misalnya diangkat menjadi Wakil Menteri.

Sementara proyek strategis nasional yang sarat masalah sosial tetap dilanjutkan, misalnya Food Estate di Merauke, dan IKN di Kalimantan Timur, terbaru masalah Pagar Laut di Tangerang, Banten yang mengkonfirmasi lemahnya institusi negara berhadapan dengan para pemodal oligarkis. Kenaikan pajak pertambahan nilai 12 % memicu gelombang protes karena berlaku secara serampangan, memicu ekonomi biaya tinggi dan kemiskinan. KPK semakin mengalami stagnasi, menjadi alat pukul kekuasaan untuk membongkar korupsi atau menutupinya. Slogan Prabowo kejar koruptor masih wacana.

BACA JUGA:

Menurut Direktur PSAD UII, makan bergizi gratis (MBG) sebagai program unggulan memicu banyak masalah, seperti kualitas makanan yang buruk, pelibatan aparat TNI dalam dapur umum, hingga pendanaan yang terkesan serampangan dan memberatkan rakyat menjadi wajah MBG.

Seperti halnya Jokowi, Prabowo menggunakan buzzer di Istana sebagai juru bicara. Bahkan seorang staf ahli di Komdigi adalah buzzer Jokowi. Pemerintahan Prabowo tidak tampak melibatkan pers/jurnalis agar publikasinya obyektif. Represi terhadap aktivis dan seniman terus bermunculan. Misal, kasus Yos Suprapto yang batal pameran lukisan mengkritik Jokowi di Galeri Nasional, bredel terhadap pers mahasiswa dan hacking/surveillance para aktivis HAM.

Kontroversi pagar laut di perairan Tangerang, sertifikat hak guna dan isu Pantai Indah Kapuk 2 sebagai proyek strategis nasional yang menguras energi. Menguatnya militerisme, tidak saja semakin banyaknya militer aktif yang menduduki jabatan sipil secara melawan undang-undang, tetapi juga menguatnya nuansa militerisme dalam pemerintahan. Gaya-gaya pemerintahan ala militer, diinfiltrasikan dalam banyak aktivitas kenegaraan yang kental dengan isu sipil dan kerakyatan.

Izin usaha tambang untuk Ormas dan kampus yang melawan akal sehat terhadap tugas mulia akademia sebagai pengajar, peneliti dan pengabdi sosial untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Kebijakan IUP Ormas sudah memicu kontroversi di era Jokowi dan Prabowo justru melanjutkan langkah ini tanpa beban.

Berdasarkan kajian tersebut di atas, maka beberapa rekomendasi dapat dilakukan. Pertama, pasca 100 hari kerja, Prabowo Subianto perlu menunjukkan kinerjanya yang orisinal sebagai presiden, bebas dari bayang bayang Jokowi. Menjadi penerus Jokowi sejatinya adalah beban politik bagi Prabowo. Harusnya ia mendorong peradilan atas mantan Presiden Jokowi atas dos-dosanya melanggar konstitusi dan dugaan penyalahgunaan wewenang, merujuk tuntutan publik atas pengadilan korupsi politik yang telah dilakukan Jokowi.

Survei Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) yang berlokasi di Amsterdam akhir tahun 2024 jelas menunjukkan dosa-dosa politik Jokowi selama 10 tahun berkuasa. Jokowi sejajar dengan mantan Presiden Kenya dan Suriah. Survei indeks persepsi dan kepuasan kinerja Prabowo-Gibran yang mencapai 80% (harian Kompas) tidak otomatis realitas, tetapi sebagai harapan.

Kedua, publik khususnya masyarakat sipil harus terus melakukan konsolidasi menuju oposisi non-parlemen menyelamatkan demokrasi (amanat konstitusi dan reformasi 1998). Oposisi di parlemen tampaknya sulit terwujud, terutama ketika belakangan PDI-Perjuangan mulai ‘bermain mata’ dengan Prabowo. Dalam hal ini, perguruan tinggi harus menjadi motor penggerak utama sikap kritis. Pusat Studi Agama dan Demokrasi UII berkomitmen menjadi rumah bersama untuk merawat demokrasi, melalui program riset, Srawung, sekolah demokrasi dan advokasi kebijakan. (lip)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *