beritabernas.com – Bencana alam sering terjadi di wilayah Indonesia, mulai dari erupsi gunung berapi, gempa bumi, tanah longsong, banjir, likuifaksi hingga tsunami di pesisir pantai. Meski bisa diprediksi, bencana datang setiap saat. Karena itu, dibutuhkan kesadaran masyarakat dalam mengelola atau memanajemen risiko bencana, setidaknya mampu mengurangi risiko terbesar yang diakibatkan.
Hal tersebut ditegaskan pengajar Program Studi Magister Manajemen Bencana, Jurusan Teknik Lingkungan UPN Veteran Yogyakarta Dr Ir Eko Teguh Paripurno MTsaat memberikan materi Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas (PRBBK) dalam pertemuan masyarakat peduli sungai yang diselenggarakan Forum Komunitas Sungai Sleman (FKSS) di Joglo Pinggir Kali Kuning, Dawukan, Sendangtirto, Berbah, Sleman, DUY pada Minggu 3 Desember 2023.
Menurut Eko Teguh, kebanyakan masyarakat belum terbiasa dengan tindakan pencegahan. Sehingga setiap terjadi bencana bingung. Bahkan pemerintah pun, yang seharusnya bertanggungjawab, juga sering ikut panik. “Pengelolaan risiko bencana kalau sudah bias kepentingan, pasti ruwet,” terangnya.
Eko Teguh yang juga fasilitator Pengurangan Risiko Bencana (PRB) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menjelaskan, skala bencana di tiap wilayah harus dipetakan. Ada yang memiliki risiko rendah, sedang, dan tinggi. Sehingga perlu mengelola risiko dari kesadaran warganya. Mulai individu, keluarga & masyarakat.
“Dan yang penting, menurunkan risiko itu harus terukur. Sehingga jelas, kapan masyarakat dinyatakan aman dari risiko,” ungkapnya.
BACA JUGA:
Eko Teguh mengaku bahwa di Indonesia pencegahan bahaya banyak tidak dilakukan.Terlebih bahaya yang ditimbulkan oleh industri yang berpotensi mencemari lingkungan. Bahaya yang diakibatkan sebuah pabrik hingga saat ini belum ada peringatan berjenjang yang diinformasikan pada lingkungan sekitar. Beda dengan peringatan status gunung berapi. Ada status normal, waspada, siaga hingga awas. Sehingga publik bisa bersiap.
Gerakan PRBBK harus berintegritas. Misalnya, tiap komunitas peduli sungai mengajak para pihak. Karena ini sebuah proses membangun gerakan. Hampir semua komunitas PRB selalu berhubungan dengan PRBBK. “Maka, harus disadari, setiap pembangunan tidak boleh jadi bencana. Pembangunan harus mengurangi bencana. Dan tidak boleh berisiko,” kata dia.
Eko Teguh mengajak masyarakat untuk melakukan langkah-langkah sederhana, yaitu membuat gerakan pencegahan dini berbasis komunitas. Jika tinggal di kawasan risiko bencana (KRB), mulai mengetahui risiko serta mengetahui karakter bahayanya. Lalu, ikut memantau & memberitahu potensi bahaya. Berikutnya, merespon dengan tindakan.
Komunitas masyarakat tanggap bencana harus efektif, partisipatif, mandiri, serta prioritas pada kelompok rentan & orientasi penyelamatan aset. Perlu membuat skema dan SOP yang mampu dengan mudah dipahami publik. “Jika pengin selamat, ya masyarakatnya harus berorientasi pada ketangguhan. Ini bisa dilatih. Sehingga kesiapan menghadapi bencana menjadi kesadaran publik,” ajak Eko Teguh.
Pegiat sungai Klanduhan Minomartani, Agus menyampaikan pengalamannya mengamati lumut yang mulai tampak berwarna hitam yang ada di aliran sungai Klanduhan di wilayahnya. Ia menduga, air sungainya mulai tercemar limbah. Sehingga ingin menggandeng para pihak ikut mencari sumber pencemar. Sementara Sudipto dari komunitas sungai Sibon Kali Bandung, Moyudan menyampaikan, perlunya peringatan dini perihal kegempaan. (ag irawan)