beritabernas.com – Ketika bertemu dengan peranakan/ keturunan Tionghoa yang berasal dari negara lain, warga keturunan Tionghoa yang lahir di Indonesia menjadi lebih Indonesia. Bahkan sebutan Chindo (China Indonesia, red) mulai diterima sebagai sikap nasionalisme.
Selly Gouw, seorang youtuber dan Gen Z Influencer mengungkapkan hal itu dalam bincang budaya dengan tema Budaya Peranakan Tiongjoa Abad Ke-21, Mengulas Sejarah, Merintis Masa Depan di Vihara Sakyaputra Mandira, Jakarta, Sabtu 9 Maret 2024).
Selain Selly Gouw, acara tersebut juga dihadiri Sinolog Universitas Indonesia Eddy P Witanto dan Sekretaris Umum Lembaga Kebudayaan Betawi H Imron “Imbong Hasbullah sebagai narasumber dan Grace Khoesoema sebagai moderator.
Dalam acara bincang budaya ini diadakan oleh Ikon Kebudayaan Nusantara (IKN) ini, juga dihadiri komunitas peranakan Tionghoa, Kepala Vihara Sakyaputra Mandira, Ekayana Arama, pendiri Ikon Budaya Nusantara Rm Justinus Sulistiadi Pr, para pembina Yayasan IKN Hoedrato Lukiman, Sulistio, Bambang Britono dan Ketua Yayasan IKN juga Laurensius Chandra.
Istilah ‘chindo’ menjadi viral diperbincangkan di media sosial usai Grand Final Master Chef Indonesia Season 11, November 2023. Chindo menjadi topik panas di X hingga TikTok setelah Belinda Christina, seorang Chindo, menjuarai kejuaraan lomba masak tersebut.
Chindo singkatan dari Chinese Indonesian atau China Indonesia adalah sebutan peranakan Tionghoa yang lahir di Indonesia namun tinggal atau sekolah di luar negeri, khususnya Amerika. Mereka bangga dengan sebutan Chindo karena nasionalisme sebagai bangsa Indonesia melekat pada istilah tersebut. Chindo sebenarnya untuk membedakan peranakan Tionghoa atau peranakan China yang berasal atau lahir di negara lain selain Indonesia, tetapi juga tinggal di Amerika.
Menurut Eddy Witanto, budaya Peranakan Tionghoa, sebagai bagian integral dari warisan budaya Indonesia. Warisan tersebut memegang peran penting dalam membentuk identitas Indonesia. Keberadaannya tercermin jelas mulai dari aspek bahasa, arsitektur, kain tradisional, kuliner, ekonomi, hingga menjadi bagian dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Namun, minimnya informasi mengenai budaya peranakan Tionghoa saat ini dapat memicu ketidakpahaman serta miskonsepsi mengenai esensi dan peranannya dalam keragaman budaya Indonesia.
“Budaya peranakan Tionghoa merupakan produk budaya hasil akulturasi budaya Tionghoa dengan budaya lokal Indonesia, misalnya batik pesisir pantai utara Jawa seperti di daerah Lasem, Cirebon, dan Pekalongan atau di bidang kuliner, seperti wedang ronde, bakso, dan sebagainya,” kata Sinolog dari Universitas Indonesia itu.
Ia menambahkan, akulturasi budaya peranakan Tionghoa yang terbentuk di suatu tempat di Indonesia sangat dipengaruhi derajat akulturasi budaya antara budaya peranakan Tionghoa dan budaya lokal setempat, misalnya orang-orang Tionghoa yang sudah sangat lama menetap di pantai utara Jawa tentu akan menghasilkan corak budaya peranakan Tionghoa yang berbeda dari warga Tionghoa di Kalimantan Barat atau Sumatera yang baru terbentuk mulai abad ke-18an.
Di luar konteks budaya, warga Tionghoa telah aktif di berbagai sektor di Indonesia, bukan hanya sektor perdagangan semata, namun sayangnya hal ini yang jarang terekspos oleh publik. Eddy mencontohkan, Dokter Oen Boen Ing yang pada tahun 1976 menerima Satya Lencana Kebaktian Sosial dari pemerintah Indonesia atas jasa dan pengabdiannya yang tanpa pamrih kepada masyarakat. Dalam bidang militer, Laksamana Muda TNI (Purn.) John Lie Tjeng Tjoan atau dikenal sebagai Jahja Daniel Dharma adalah seorang perwira Angkatan Laut RI di masa penjajahan Jepang yang menjalankan berbagai misi-misi menembus blokade Belanda. John Lie mendapatkan penghargaan sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 2009 di masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Sementara Selly Gouw menguraikan bahwa di era sekarang, di tengah kepopuleran kata Chindo di media sosial, budaya peranakan Tionghoa ternyata mengalami berbagai tantangan, mulai dari cultural gap, perbedaan muatan pengetahuan soal budaya peranakan Tionghoa antara generasi tua dan generasi sekarang hingga pelestarian budaya peranakan Tionghoa melalui informasi yang tepat.
“Sebagai bagian dari gen Z peranakan Tionghoa, saya terdorong untuk melestarikan budaya peranakan Tionghoa melalui media sosial. Harapannya, jika informasi soal budaya peranakan Tionghoa disampaikan oleh generasi yang sama, maka informasi tersebut bisa diterima dengan mudah,” ujar Selly Gouw, gen Z influencer.
Sementara menurut Sekretaris Umum Lembaga Kebudayaan Betawi H Imron “Imbong” Hasbullah, kebudayaan Tionghoa setidaknya memengaruhi 50 persen dari budaya yang tumbuh atau bertemu di Betawi. Budaya Betawi itu dipengaruhi oleh budaya nusantara dan para imigran yang datang dari negara sebrang. Hampir seluruh unsur budaya Nusantara ada di dalam budaya Betawi yakni unsur Jawa, Sunda, Melayu, Bugis, Batak, Tionghoa, Arab, Inggris, Belanda, Portugis, Ambon dan Bali.
“Budaya Betawi itu lintas etnis. Itu bisa dilihat dari pakaian perkawinan adat Betawi. Gambang kromong merupakan musik tradisi Betawi yang telah dipengarui oleh berbagai macam budaya. Atau juga, dalam adat perkawinan, mempelai pria mengenakan pakaian Arab dan mempelai perempuan mengenakan dandanan pengantin none cine atau yang disebut siangko. Intinya adalah Betawi beri contoh keterbukaan dan silang budaya berabad,“ ujar Imbong.
Ketua Yayasan Ikon Kebudayaan Nusantara Laurensius Chandra mengatakan bahwa acara diskusi ini merupakan titik awal untuk menjadi katalisator untuk pelestarian dan kemajuan warisan budaya di Indonesia. Akan ada berbagai thema budaya yang akan dilakukan oleh Ikon Budaya Nusantara.
Beberapa media menulis, istilah Chindo berbeda dengan IndoChina. Dua pengertian yang berbeda meski mengacu pada budaya ras tertentu. Indochina adalah kawasan negara-negara di semenanjung Asia Tenggara atau Asia Tenggara daratan. Indochina adalah negara-negara kawasan di selatan China yang budaya terpengaruh dan terhubung oleh China daratan. Bahkan secara spesifik negara kawasan ini dulu merupakan jajahan Prancis. Sedangkan Brunei, Indonesia, Malaysia dan Singapura sering disebut sebagai Kawasan Melayu yang sangat dipengaruhi oleh budaya Melayu. Sehingga negara-negara kawasan ini disebut sebagai kawasan maritim. (*)
There is no ads to display, Please add some