Oleh: Egidius Ronikung
beritabernas.com – Bingkaian kaum intelektual tak bisa terlepaskan dari pada nilai sejarah, karya intelektual, terkhusus untuk kaum muda, memaparkan bahwa begitu panjangnya arus dinamika sosial dan politik, yang membuat budaya intelektualisme senantiasa menyesuaikan dengan konteks ruang dan waktu.
Pada akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20 memperlihatkan kepada kita terkait kolonialisme dan imperialisme yang kita saksikan melalui buku sejarah dimana perlawanan-perlawanan yang kuat dari pemikiran-pemikiran nasionalistik, baik itu sekular maupun agamais yang menorehkan tinta sejarah di dalam buku-buku sejarah.
Ini bukan tentang cerita sejarah yang dibuat akan tetapi lebih kepada nilai dari perjuangan itu sendiri, yang menunjukkan betapa semangatnya para pendiri bangsa kita dalam meraih kemerdekaan. Cita-cita yang menjadi impian dari para leluhur bangsa ini yang spiritnya akan selalu menjadi api yang bagaikan penerang di tengah gelapnya malam.
Pada tahun 1928, anak muda menunjukkan kemampuannya yang disemangati oleh rasa persatuan dan persaudaraan yang mampu menggugah jiwa nasionalisme sehingga melahirkan satu simbol negara yang saat ini kita sebut sebagai sumpah pemuda itu menjadi sebuah titik awal dalam menggagas konsep-konsep dasar akan suatu negara.
Konsep dasar tersebut benar-benar diaktualiasikan dalam wujud philosophie groundslag yang hari ini kita maknai sebagai way of life bagi bangsa Indonesia, yakni Pancasila. Esensi itulah yang membuat para founding father memproklamirkan diri sebagai satu negara, yakni negara Indonesia.
BACA JUGA:
- Mahasiswa FH UCY Dilantik Menjadi Ketua Presidium PMKRI Cabang Yogyakarta
- Merefleksikan Peran PMKRI sebagai Organisasi Gerakan
- PMKRI Keluarkan Petisi untuk Menyelamatkan Demokrasi Indonesia
Di tengah pergulatan dengan para kaum penjajah lahirlah Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia pada 25 Mei 1947. Kelahiran PMKRI yang ditetapkan pada 25 Mei 1947 menjadi acuan tempat PMKRI berdiri.
PMKRI didirikan di Balai Pertemuan Gereja Katolik Kotabaru Yogyakarta di Jalan Margokridonggo (saat ini Jalan Abubakar Ali). Balai pertemuan tersebut sekarang bernama Gedung Widya Mandala. Lahir sebagai cabang pendiri PMKRI di Indonesia tentu merupakan sebuah jejak yang tidak dapat dilupakan begitu saja.
Kesadaran para pendahulu PMKRI Yogyakarta tentang pentingnya menanamkan tiga benang merah di dalam tubuh perhimpunan telah mampu mengantarkan PMKRI Yogyakarta sebagai cabang PMKRI yang diakui secara intelektualitas di PMKRI seluruh Indonesia.
Pengakuan tersebut tentu bukan merupakan sebuah klaim belaka, tetapi berdasarkan hasil catatan prestisius yang telah dimulai oleh PMKRI Yogyakarta. Karena hal tersebutlah setiap kader PMKRI Yogyakarta diajak untuk mengenal rumahnya sendiri. Rumah tempat semuanya dapat dimulai dan dipelajari. Rumah tempat setiap kader dapat memulai makna perjuangan yang tidak mementingkan diri sendiri (ego pribadi), tapi melihat dan membantu membangun kehidupan perhimpunan dan kehidupan orang-orang yang tertindas di zaman ini (option for the poor) sebagai bentuk standing PMKRI yang tidak dapat dirubah.
Selain itu, PMKRI juga turut memberikan kontribusi terhadap berbagai perubahan sosial politik menjelang runtuhnya Orde Baru di dekade 90-an. Dari perspektif kesejarahan ini kita dapat melihat bahwa PMKRI memiliki peran secara aktif dalam dinamika konteks sosial dan politik yang terjadi di Indonesia.
Di abad 21 ini, tantangan dunia yang dihadapi semakin lebih kompleks akibat adanya perubahan zaman di manaketerbukaan arus informasi sebagai dampak dari peran globalisasi yang semakin kuat. Komplekstisitas atau tantangan dari zaman ini menuntut adanya adaptasi dari para kader PMKRI agar selalu aktif dan memberi sumbangsih nyata sebagai kader yang berjuang untuk bangsa dan gereja.
Tentu, dalam mewujudkan cita-cita ini diperlukan adanya usaha nyata yang salah satunya ialah bagaimana mampu mereformasi dan mereposisi kembali berbagai agenda intelektualitas agar PMKRI mampu menyesuaikan diri dengan dinamika zaman.
Kondisi sosial politik yang terjadi saat ini sangat fluktuatif dan tak mampu diprediksi secara tepat. Perubahan ini membawa sesuatu yang baru atau mereformasi sesuatu yang lama. Sehingga, perubahan yang di tengah kehidupan sosial terjadi secara multidimensional yang melintasi berbagai sektor kehidupan.
Usia bukan hanya sekadar angka, sudah banyak potret dan perjuangan yang tersimpan menjadi sebuah kenangan dalam peristiwa penting yang menyertainya. Begitu pun dengan PMKRI selama 77 tahun berdiri ini merupakan perjalanan panjang dalam koridor perjuangan bergulat dengan dinamika negeri, berkiprah untuk Gereja dan Tanah Air .
Berdiri sejak dua tahun setelah Indonesia merdeka, PMKRI telah meneguhkan diri sebagai organisasi gerakan yang memiliki tujuan yang mulia “Terwujudnya Keadilan Sosial, Kemanusiaan dan Persaudaraan Sejati.” Dengan cara “Berjuang dengan Terlibat dan Berpihak Pada Kaum Tertindas Melalui Kaderisasi Intelektual Populis yang dijiwai Nilai-nilai Kekatolikan Untuk Mewujudkan Keadilan Sosial, Kemanusiaan dan Persaudaraan Sejati.”
Bukan hal yang berlebihan jika saya menyatakan bahwa genetika PMKRI adalah kekatolikan dan keindonesiaan. Sebagai organisasi yang memiliki komitmen kekatolikan dan keindonesiaan, PMKRI harus ambil bagian menghalau persoalan-persoalan tersebut dengan diskursus kekatolikan dan keindonesiaan serta menjaga esensi PMKRI sebagai organisasi gerakan.
Ini bukan tentang PMKRI menjadi yang terbaik tetapi tentang PMKRI yang berguna bagi nusa bangsa dan gereja juga untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat yang tertindas. (Egidius Ronikung, Ketua Presidium Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Yogyakarta Santo Thomas Aquinas periode 2024-2025)
There is no ads to display, Please add some