Perempuan Sebagai Korban Pelanggaran HAM

Oleh: Rahma Hairunnisa Regita Putri

beritabernas.com – Setiap tanggal 25 November diperingati sebagai Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Peringatan ini bukan sekadar simbolis, tetapi merupakan pengingat mendalam bahwa kekerasan terhadap perempuan masih menjadi realitas global yang menyakitkan. Bahkan perempuan sering menjadi korban pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia).

Penetapan Hari Anti Kekerasan ini didasarkan pada Resolusi 54/134 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan skala dan sifat kekerasan terhadap perempuan, yang seringkali tersembunyi atau dianggap tabu. Pemerkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, perdagangan manusia dan pernikahan anak hanyalah sebagian dari bentuk kekerasan yang terus menjerat perempuan di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.  

Realitas ini menempatkan perempuan sebagai salah satu kelompok paling rentan dalam pelanggaran hak asasi manusia. Ironisnya, kekerasan terhadap perempuan sering kali terjadi di tempat yang seharusnya paling aman, seperti rumah dan lingkungan keluarga.

Di ranah publik, perempuan juga menghadapi pelecehan, diskriminasi dan eksploitasi yang terstruktur. Situasi ini diperburuk oleh budaya patriarki, lemahnya penegakan hukum serta stigma yang membuat korban memilih diam daripada berbicara.  

Realitas kekerasan terhadap perempuan 

Dalam konteks Indonesia, Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan tahun 2023 menunjukkan bahwa jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan mencapai 289.111 kasus. Angka ini menurun dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 339.782 kasus, namun penurunan ini tidak dapat diartikan sebagai berkurangnya kekerasan. Komnas Perempuan menyatakan bahwa data ini hanya menggambarkan “puncak gunung es,” karena banyak kasus yang tidak dilaporkan oleh korban.  

Sebagian besar data yang dihimpun berasal dari lembaga layanan, Badan Peradilan Agama (Badilag) dan laporan langsung ke Komnas Perempuan. Tren kekerasan dalam ranah domestik mendominasi angka tersebut. Fenomena seperti perceraian, poligami, pernikahan anak dan dispensasi kawin turut menjadi indikator nyata bahwa perempuan sering kali berada dalam posisi rentan di dalam keluarga.  

BACA JUGA:

Misalnya, pernikahan anak yang masih terjadi di berbagai daerah bukan hanya melanggar hak anak perempuan, tetapi juga membuka ruang bagi eksploitasi dan kekerasan. Anak perempuan yang dinikahkan di usia dini cenderung mengalami putus sekolah, menjadi korban kekerasan fisik dan seksual, serta terjebak dalam siklus kemiskinan.  

Kekerasan terhadap perempuan tidak hanya meninggalkan luka fisik tetapi juga membawa dampak psikologis yang berkepanjangan. Gangguan stres pasca-trauma (PTSD), kecemasan, depresi hingga hilangnya kepercayaan diri adalah sebagian dari dampak yang harus ditanggung korban. Lebih dari itu, stigma sosial sering kali memperparah situasi, di mana korban justru dianggap sebagai pihak yang bersalah atau dipandang rendah.  

Dampak ekonomi pun tidak bisa diabaikan. Banyak perempuan korban kekerasan kehilangan pekerjaan atau sumber penghidupan karena harus mengatasi trauma yang dialami. Dalam kasus tertentu, perempuan dipaksa untuk tetap tinggal bersama pelaku karena ketergantungan finansial atau tekanan keluarga. Realitas ini menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan bukan hanya persoalan pribadi, tetapi juga persoalan sosial dan struktural yang membutuhkan solusi kolektif.  

Tantangan dalam kasus kekerasan terhadap perempuan

Penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia masih dihadapkan pada berbagai tantangan. Pertama, budaya patriarki yang mengakar kuat dalam masyarakat sering kali menyalahkan korban. Banyak perempuan yang enggan melapor karena takut akan stigma negatif atau tidak percaya pada sistem hukum yang ada. 

Kedua, minimnya penegakan hukum. Meskipun ada berbagai peraturan perundang-undangan yang melindungi perempuan, seperti UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), implementasinya masih jauh dari harapan. Banyak pelaku kekerasan yang bebas berkeliaran atau hanya mendapatkan hukuman ringan, sementara korban harus berjuang sendirian dalam menghadapi trauma. 

Ketiga, keterbatasan akses layanan rehabilitasi. Dukungan psikososial, bantuan hukum, dan pemulihan ekonomi sering kali belum tersedia secara merata, terutama di daerah-daerah terpencil. Hal ini membuat korban semakin terisolasi dan rentan mengalami kekerasan berulang.  

Keempat, kurangnya pendidikan dan kesadaran di tengah masyarakat tentang pentingnya hak-hak perempuan. Edukasi mengenai kesetaraan gender masih sering diabaikan, padahal pendidikan adalah kunci utama untuk menghapus siklus kekerasan.  

Untuk mengatasi kekerasan terhadap perempuan, dibutuhkan langkah strategis yang melibatkan seluruh elemen masyarakat. Pemerintah harus memastikan bahwa penegakan hukum berjalan tegas dan berpihak kepada korban. Setiap laporan kekerasan harus ditindaklanjuti secara serius, dan pelaku harus dihukum sesuai dengan perbuatannya. 

Selain itu, edukasi tentang kesetaraan gender harus dimasukkan dalam kurikulum pendidikan, mulai dari tingkat dasar. Kesadaran masyarakat perlu dibangun agar perempuan tidak lagi menjadi korban kekerasan dan diskriminasi. Media juga memiliki peran penting dalam menyebarkan informasi yang mendidik dan membangun kesadaran kolektif tentang hak-hak perempuan. 

Di sisi lain, lembaga layanan dan organisasi masyarakat sipil perlu mendapatkan dukungan lebih dalam menyediakan layanan rehabilitasi bagi korban. Dukungan ini meliputi pemulihan fisik, mental, dan ekonomi, sehingga korban dapat bangkit dan melanjutkan hidupnya dengan lebih baik.

Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan setiap 25 November adalah momentum penting untuk merefleksikan kembali sejauh mana kita telah berjuang melindungi hak-hak perempuan. Namun, perjuangan ini tidak boleh berhenti pada seremonial semata. Dibutuhkan komitmen kuat dan langkah nyata dari semua pihak untuk menciptakan dunia yang lebih adil, di mana perempuan dapat hidup dengan aman, bermartabat, dan bebas dari segala bentuk kekerasan.  

Masa depan yang lebih baik bukanlah sesuatu yang mustahil. Dengan keberanian, solidaritas, dan kerja sama, kita dapat mewujudkan dunia di mana perempuan tidak lagi menjadi korban, melainkan agen perubahan yang membawa harapan bagi generasi mendatang. (Rahma Hairunnisa Regita Putri, Mahasiswa Universitas Cendekia Mitra Indonesia)


There is no ads to display, Please add some