Pemimpin Narsistik Penghambat Kemajuan Indonesia

Oleh: Rahma Hairunnisa Regita Putri

beritabernas.com – Budaya narsisme yang mengakar dalam masyarakat Indonesia kini menjadi salah satu penghambat utama kemajuan bangsa. Tidak hanya dalam kehidupan sosial, sifat narsistik juga menjangkiti para pemimpin, yang lebih mengutamakan pencitraan dan kepentingan pribadi daripada kepentingan rakyat.

Menurut American Psychiatric Association, narsisme atau Narcissistic Personality Disorder (NPD) ditandai dengan grandiosity yakni kebutuhan akan pengakuan dan kurangnya empati. Gangguan ini mendorong individu untuk merasa istimewa dan berhak mendapatkan perlakuan khusus, yang berbahaya jika diterapkan dalam kepemimpinan.

Pemimpin narsistik memiliki beberapa ciri yang dapat merugikan rakyat dan organisasi yang mereka pimpin. Ciri pertama adalah grandiosity yakni di mana mereka sering memiliki pandangan berlebihan tentang diri mereka sendiri dan terus menginginkan pengakuan dari masyarakat. Pemimpin narsistik juga cenderung tidak peduli dengan kebutuhan rakyat karena lebih memikirkan kepentingan pribadi mereka.

Selain itu, mereka sangat sensitif terhadap kritik, yang sering kali dianggap sebagai ancaman. Sebagai respons, mereka cenderung merespons dengan amarah atau tindakan represif. Pemimpin narsistik juga dikenal dengan perilaku eksploitatif, di mana mereka memanfaatkan sumber daya, termasuk tenaga dan kepercayaan masyarakat, untuk tujuan pribadi.

Budaya narsisme dalam kepemimpinan ini sering kali menghasilkan kebijakan yang berorientasi pada pencitraan jangka pendek, mengabaikan kebijakan strategis yang dapat membawa dampak jangka panjang bagi pembangunan bangsa. Kebijakan yang tidak berfokus pada kepentingan jangka panjang ini memperlambat kemajuan, terutama dalam sektor infrastruktur, pendidikan dan kesehatan.

BACA JUGA:

Selain itu, pemimpin narsistik menciptakan berbagai hambatan dalam kemajuan Indonesia. Keputusan sering kali diambil berdasarkan popularitas atau citra, bukan berdasarkan analisis yang matang. Hal ini menghambat penyelesaian masalah jangka panjang dan mengurangi efektivitas kebijakan.

Pemimpin narsistik juga sulit bekerja sama dengan tim, karena mereka lebih fokus pada dominasi dan pengendalian, yang menghalangi munculnya inovasi dan ide-ide baru. Ketidakpedulian mereka terhadap masyarakat semakin memperburuk keadaan, mengurangi kepercayaan publik dan partisipasi dalam pembangunan.

Ben Senang Galus, salah satu dosen di Universitas Cendekia Mitra Indonesia, menekankan pentingnya menghindari self chauvinism atau cara berpikir narsistik dalam budaya sosial kita. “Saya selalu mengajak teman-teman untuk jauhkan self chauvinism atau cara berpikir narsistik. Mari kita bangun cara berpikir driving mentality,” kata Ben S Galus. Pernyataan ini menunjukkan perlunya perubahan pola pikir agar pemimpin dapat lebih fokus pada kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi.

Dr Arif Rahman, seorang pengamat pendidikan, juga menekankan pentingnya reformasi pendidikan untuk menciptakan pemimpin yang lebih berintegritas. Ia mengatakan, ketika pendidikan kita hanya mengutamakan angka dan penghargaan individu tanpa menanamkan empati, kita tidak sedang menciptakan pemimpin, kita sedang mencetak generasi yang narsistik.

Solusi untuk mengatasi krisis kepemimpinan

Untuk mengatasi dampak buruk narsisme dalam kepemimpinan, diperlukan langkah-langkah strategis. Salah satunya adalah dengan melakukan reformasi dalam sistem pendidikan agar nilai empati, kerja sama, dan tanggung jawab sosial dapat tertanam lebih dalam. Selain itu, masyarakat juga harus lebih kritis dalam memilih pemimpin, berdasarkan rekam jejak dan kompetensi, bukan hanya citra atau janji manis.

Pemimpin juga harus diawasi dengan sistem yang transparan dan akuntabel untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Program pelatihan kepemimpinan yang berfokus pada integritas dan visi jangka panjang juga penting untuk menciptakan pemimpin yang dapat bekerja demi kesejahteraan rakyat.

Dengan mengatasi budaya narsistik dalam kepemimpinan, Indonesia dapat melahirkan pemimpin yang lebih berorientasi pada kebutuhan rakyat, yang pada akhirnya dapat mendorong kemajuan bangsa. (Rahma Hairunnisa Regita Putri, Mahasiswa Universitas Cendekia Mitra Indonesia)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *