Selama 2015-2023 Tren Perceraian Secara Nasional Meningkat Signifikan

beritabernas.com – Dalam kurun waktu 2015 hingga 2023 atau selama 8 tahun terakhir, tren perceraian secara nasional menunjukkan peningkatan yang signifikan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jika pada tahun 2015 angka perceraian mencapai 450 ribu kasus, sementara tahun 2023 angka perceraian sebanyak 580 ribu kasus.

Kenaikan angka perceraian mencerminkan berbagai faktor sosial, ekonomi dan budaya yang mempengaruhi dinamika keluarga di Indonesia. Selain itu, peningkatan angka perceraian dapat dikaitkan dengan perubahan pola hidup, tekanan ekonomi dan tantangan mempertahankan keharmonisan di era modern.

Hal itu disampaikan Khoiriyah Roihan S.Ag MH dalam acara Kuliah Pakar Program Studi Ilmu Agama Islam Program Magister dan Prodi hukum Islam Program Doktor, Jurusan Studi Islam, Fakultas Ilmu Agama Islam UII di Ruang 3.16 Gedung Wakhid Hasyim Kampus FIAI UII, Selasa 20 Mei 2025.

Sebelum kuliah pakar, dilakukan pelantikan Ketua Himpunan Ilmuwan dan Sarjana Syariah Indonesia (HISSI) DIY periode 2025-2029 Prof Dr Drs Yusdani MAg oleh Prof Dr Drs KH M Amin Suma BA SH MA MM selaku Ketua Umum Majelis Pengurus Nasional Himpunan Ilmuwan dan Sarjana Syariah Indonesia (HISSI).

Pengurus Himpunan Ilmuwan dan Sarjana Syariah Indonesia (HISSI) DIY periode 2025-2029 dilantik, Selasa 20 Mei 2025. Foto: Humas FIAI

Mengutip data BPS, Khoiriyah Roihan mengungkapkan 3 faktor yang signifikan mempengaruhi angka perceraian, yakni faktor usia pernikahan. Pasangan menikah muda berisiko lebih tinggi. Selain itu, tingkat pendidikan dimana ada korelasi dengan tingkat pendidikan pasangan serta kondisi ekonomi. “Perceraian lebih banyak pada ekonomi menengah ke bawah,” kata Khoiriyah Roihan.

Menurut Khoiriyah Roihan, statistik ini menjadi indikator penting bagi pengadilan agama dalam merumuskan kebijakan dan program intervensi untuk meningkatkan ketahanan keluarga. Ketahanan keluarga adalah kemampuan sebuah keluarga untuk bertahan, beradaptasi dan berkembang menghadapi berbagai tekanan dan tantangan, baik internal maupun eksternal. Ini mencakup aspek emosional, ekonomi, sosial dan spiritual. Keluarga yang tangguh menjadi pilar utama dalam menjaga kesejahteraan dan stabilitas masyarakat.

Tantangan di era global

Khoiriyah Roihan mengatakan, di era global, keluarga menghadapi tantangan baru seperti perubahan nilai budaya, tekanan ekonomi dan pengaruh teknologi yang cepat. Memahami ketahanan keluarga bukan hanya soal mempertahankan hubungan, tetapi juga mengelola konflik, menjaga komunikasi efektif dan membangun solidaritas.

Karena itu, Pengadilan Agama berperan penting dalam mencegah perceraian dengan menjaga ketahanan keluarga. Sebagai lembaga yang menangani masalah keluarga, Pengadilan Agama memiliki peran strategis dalam memperkuat ketahanan ini melalui mediasi, penyuluhan dan penegakan hukum yang adil dan bijaksana.

Menurut Khoiriyah Roihan, tantangan utama di era globalisasi terhadap ketahanan keluarga adalah perubahan peran gender dan ekspektasi sosial, tekanan ekonomi akibat persaingan global, erosi nilai-nilai tradisional oleh budaya asing dan ketergantungan teknologi yang mengurangi interaksi langsung.

BACA JUGA:

Peluang di era global yang bisa dilakukan Pengadilan Agama untuk menjaga ketahanan keluarga, menurut Khoiriyah Roihan, adalah akses informasi lebih luas untuk edukasi keluarga, peningkatan kesadaran akan hak-hak keluarga, penguatan jaringan sosial melalui media digital dan adopsi praktik terbaik global dalam pengasuhan.

“Pengadilan Agama harus mampu menyesuaikan diri dengan dinamika ini. Penting untuk menjadi mediator yang peka terhadap perubahan sosial dan mampu memberikan solusi yang relevandan kontekstual untuk menjaga ketahanan keluarga di tengah arus globalisasi,” kata Khoiriyah Roihan.

Sementara Ketua Panitia Pelaksana Dr Mukhsin Achmad MAg mengatakan, tema Tantangan Ketahanan Keluarga Sebagai Miniatur Ketahanan Bangsa di Era Global diangkat dalam kuliah pakar kali ini dilakukan karena ketahanan keluarga menjadi isu penting saat ini seiring dengan tingginya angka perceraian di Indonesia.

Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2022 angka perceraian di Indonesia mencapai 516.344 kasus atau meningkat sekitar 15,31 persen dibanding tahun 2021 sebanyak 447.743 kasus. Selain itu, mayoritas kasus perceraian merupakan cerai gugat, yaitu perkara yang gugatan cerai diajukan oleh pihak istri yang telah diputus oleh pengadilan. Sedangkan kasus perceraian yang terjadi pada tahun 2024 menurut BPS mencapai 394.608 kasus.

Angka ini menurun 14,89% dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai 463.654 kasus. Bila
dilihat dari wilayahnya, Jawa Barat masih menjadi provinsi dengan jumlah perceraian tertinggi, yakni 88.842 kasus, disusul Jawa Timur di posisi kedua dengan 77.658 kasus, sedangkan Jawa Tengah berada di peringkat ketiga dengan 64.569 kasus.

Peserta acara pelantikan Pengurus Himpunan Ilmuwan dan Sarjana Syariah Indonesia (HISSI) DIY periode 2025-2029 yang diketuai Prof Dr Drs Yusdani MAg, Selasa 20 Mei 2025. Foto: Humas FIAI

Sementara menurut catatan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama MA (Ditjen Badilag MA) ada
4 faktor terbesar penyebab perceraian pada tahun 2021, yakni perselisihan dan pertengkaran 36%
(176.683 perkara); faktor ekonomi, misal tidak memberi nafkah atau tidak punya pekerjaan, tidak
punya penghasilan 14% (71.194 perkara); meninggalkan kediaman tempat bersama 7%
(34.671 perkara); dan kekerasan dalam rumah tangga 0,6% (3.271); serta lain-lain (198.951
perkara).

“Berdasarkan data di atas masalah perceraian di Indonesia telah menggerogoti ketahanan keluarga yang menjadi pilar utama ketahanan bangsa. Ketahanan keluarga dipahami sebagai bentuk ketahanan keluarga (family strength atau family resilience) merupakan kondisi kecukupan dan kesinambungan akses terhadap pendapatan dan sumber daya untuk memenuhi berbagai kebutuhan dasar antara lain pangan, air bersih, pelayanan kesehatan, kesempatan pendidikan, perumahan, waktu untuk berpartisipasi di masyarakat dan integrasi sosial (Frankenberger, 1998),” kata Dr Dr Mukhsin Achmad MAgMAg.

Karena itu, menurut Dr Mukhsin Achmad MAg, kuliah pakar ini bertujuan untuk merumuskan konsep ketahanan keluarga yang ideal sesuai dengan karakteristik Islam dan budaya masyarakat Indonesia. Selain itu, untuk mengidentifikasi tantangan-tantangan ketahanan keluarga baik di tingkat lokal maupun
global dan mewujudkan ketahanan keluarga berbasis nilai-nilai Islam dan kearifan lokal. (lip)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *