Ketika Birokrasi Melucuti Hak-hak Adat, Krisis Identitas pun Terjadi di Papua Selatan

Oleh: Laurensius Ndunggoma, Mahasiswa STPMD “APMD” Yogyakarta

beritabernas.com – Papua merupakan wilayah dengan keragaman budaya, bahasa dan berbagai macam tradisi yang begitu konpleks di tengah kekayaan alam adat dan kearifan lokal yang telah terjaga sejak turun temurun.

Namun kehadiran biokrasi modern menimbukan persoalan serius. Salah satunya adalah bagaimana biokrasi negara yang hadir dengan logika formal, prosedural dan adminitratif terhadap sistem sosial yang berakar pada adat istiadat ketika biokrasi tidak mampu beradaptasi dengan konteks lokal. Yang terjadi adalah pelucutan hak-hak adat masyarakat. Fenomena ini menjadikan Papua Selatan mengalami transformasi sosial, politik dan ekonomi akibat pemekaran provinsi.

Dalam tulisan ini saya menguraikan bagaimana biokrasi di Papua Selatan berperan melucuti hak-hak adat yang membuat adanya krisis identitas bagi masyarakat adat dengan melihat dinamika historis, politik dan sosial. Kita dapat memahami bahwa persoalan biokrasi dan adat di wilayah Papua Selatan sangat kompleks.

Historis: Papua dan pertarungan identitas

Sejarah Papua tidak bisa terlepas dari kolonialisme, integrasi politik dan proses birokratisasi negara modern pada masa kolonial Belanda. Banyak struktur pemerintah yang sengaja dibuat untuk mengontrol penduduk lokal. Setelah Papua bergabung dengan Indonesia pada tahun 1960-an biokrasi negara hadir semakin kuat untuk orientasi pembangunan.

Namun, pembangunan tersebut mengabaikan hak-hak masyarakat adat. Tanah, hutan dan laut yang selama berabad-abad dikelola berdasarkan hukum adat secara bertahap namun diambil melalui regulasi negara dalam hal ini biokrasi bertindak sebagai instrumen politik negara untuk mengatur, mengawasi dan bahkan mengendalikan masyarakat adat.

Di Papua Selatan, masyarakat adat Marind, Muyu, Auyu dan Asmat memiliki ikatan yang sangat kuat dengan tanah dan hutan. Tanah bukan sekedar sumber ekonomi tapi menjadi bagian dari identitas dan kosmologi kehidupan. Namun logika biokrasi masuk dimana tidak melihat tanah sebagai aset ekonomi yang bisa diukur. Relasi sakral adat dan tanah pun terancam.

Dinamika birokrasi di Papua Selatan

Pemekaran Provinsi Papua Selatan pada tahun 2022 membua biokrasi berkembang. Kehadiran provinsi baru membahwa janji-janji manis dalam konteks pembangunan dan lapangan kerja untuk orang asli Papua Selatan serta pelayanan publik yang lebih baik dengan rakyat. Namun ,pemekaran itu menjadi wajah lain, menjadi luas intervensi biokrasi terkait ruang-ruang adat.

Biokrasi bekerja dengan logika dan adminitrasi formal. Setiap tanah adat harus bersertifikat dengan sumber daya harus memiliki izin, pembangunan  harus mengikuti prosedur. Sementara itu, hukum adat Papua Selatan bekerja dengan logika relasional dan kerabatan tanah diwariskan, hutan dijaga bersama laut sesuai dengan kesepakatan masyarakat adat. Ketika dua logika ini bertemu, maka yang kalah adalah hukum adat.

Baca juga:

Proses perizinan investasi menjadi contoh paling nyata bahwa perusahan perkebunan, pertambangan atau kehutanan bisa mendapatkan izi melalui biokrasi negara tanpa menghargai masyarakat adat sepenunya , free, prior and informed consent (FPIC) sering kali hanya formalitas di atas kertas. Di lapangan, masyarakat sering ditekan atau dipaksa untuk menandatangani dokumen yang mereka sendiri tidak sepenuhnya paham.

Hak adat masyarakat Papua Selatan tidak hanya menyngakut tanah, tetapi juga identitas budaya ritual seperti pengetahuan. Namun biokrasi negara menguasai hak adat hanya sebatas pemilik tanah akibat banyak aspek lain yang masuk.

Tanah adat yang sebelumnya dikelola secara komunal kini dialihkan menjadi konsesi perkebunan sawit, hutan tanaman industri atau kawasan konservasi negara. Masyarakat kehilangan akses terhadap hutan yang menjadi sumber makanan, obat-obatan dan identitas budaya.

Sementara bagi masyarakat pesisir seperti Asmat, laut adalah sumber kehidupan sekaligus ruang ritual. Namun, birokrasi sering mengatur wilayah laut dengan izin penangkapan ikan skala besar tanpa mempertimbangkan kepentingan nelayan adat.

Ketika tanah adat hilang, banyak ritual tradisional juga ikut hilang. Misalnya, ritual sasi, upacara kematian, atau pesta adat yang membutuhkan ruang tertentu tidak lagi bisa dilakukan karena tanah telah dikuasai pihak lain.

Birokrasi juga sering kali mengabaikan representasi masyarakat adat dalam proses pengambilan keputusan. Musyawarah adat hanya dijadikan simbol formalitas, tanpa benar-benar menentukan arah kebijakan.

    Ketika hak-hak adat dilucuti oleh birokrasi, dampak terbesar yang muncul adalah krisis identitas. Identitas masyarakat Papua Selatan dibangun dari relasi mereka dengan tanah, hutan, sungai, dan laut. Ketika relasi itu terputus, masyarakat kehilangan pijakan eksistensialnya.

    Krisis identitas ini tampak dalam beberapa bentuk, pertama pada generasi muda. Banyak anak muda Papua Selatan tidak lagi mengenal hutan, bahasa lokal atau ritual adat karena lingkungan hidupnya sudah berubah drastis. Kita  tumbuh dalam dunia birokrasi modern yang lebih menekankan ijazah dan pekerjaan formal.

    Kedua, bahasa dan budaya. Bahasa lokal perlahan hilang karena birokrasi pendidikan hanya mengajarkan bahasa Indonesia. Padahal, bahasa adalah medium utama identitas budaya. Ketiga pada birokrasi. Masyarakat yang sebelumnya hidup mandiri dari hutan dan tanah namun kini bergantung pada bantuan sosial atau proyek pemerintah. Ini menciptakan relasi kuasa yang timpang tindih antara birokrasi dan masyarakat adat. Keempat, trauma sosial. Hilangnya tanah adat seringkali disertai dengan konflik, intimidasi, bahkan kekerasan. Hal ini menimbulkan luka kolektif yang berdampak pada psikologi masyarakat.

    Studi kasus Papua Selatan

    Untuk melihat bagaimana birokrasi melucuti hak-hak adat secara nyata, mari kita menengok beberapa contoh kasus di Papua Selatan. Pertama, ekspansi perkebunan sawit di Merauke. Proyek perkebunan skala besar yang masuk ke Merauke sejak era Proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) telah mengakibatkan pengambilalihan tanah adat dalam jumlah besar. Birokrasi negara menjadi alat untuk memberikan izin kepada perusahaan, sementara masyarakat adat kehilangan hutan sagu yang menjadi sumber pangan utama.

    Kedua, kawasan konservasi di Asmat. Banyak kawasan hutan adat ditetapkan sebagai kawasan konservasi tanpa persetujuan penuh masyarakat. Akibatnya, masyarakat adat tidak lagi bebas berburu atau mengambil kayu di wilayah yang sejak dulu mereka kelola. Birokrasi konservasi, meskipun atas nama lingkungan, sering kali bertentangan dengan hak adat.

    Ketiga, pemekaran wilayah dan konflik tanah. Pemekaran kabupaten dan distrik di Papua Selatan sering diikuti dengan pembangunan kantor pemerintahan. Tanah adat dijadikan lokasi pembangunan tanpa mekanisme ganti rugi yang jelas. Proses ini memicu konflik internal antar-marga dan memperparah krisis identitas.

    Apakah birokrasi selalu buruk bagi masyarakat adat? Tidak juga. Birokrasi bisa menjadi sarana perlindungan hak-hak adat jika diatur dengan baik. Namun, kenyataannya birokrasi di Papua Selatan lebih sering berpihak pada kepentingan investasi dan pembangunan modern, bukan pada kepentingan rakyat.

    Untuk keluar dari krisis identitas, diperlukan langkah-langkah serius. Petama, pengakuan hukum adat. Dalam hal ini negara harus mengakui dan melindungi hukum adat sebagai sistem yang sah, bukan sekadar simbol budaya.

    Kedua, reformasi birokrasi lokal. Pejabat birokrasi harus dilatih untuk memahami adat dan melibatkan pemimpin adat dalam setiap pengambilan keputusan. Ketiga, pendidikan berbasis budaya lokal. Generasi muda harus dikenalkan kembali dengan bahasa, tradisi, dan pengetahuan lokal agar tidak tercerabut dari akar identitasnya.

    Keempat, penguatan ekonomi adat. Hutan, sagu, laut dan sumber daya lokal harus dikelola dengan cara yang menghormati adat, bukan hanya logika kapital.

    Ketika birokrasi melucuti hak-hak adat bukan sekadar judul, melainkan realitas yang dihadapi masyarakat Papua Selatan hari ini. Birokrasi yang hadir dengan wajah pembangunan justru mengikis identitas lokal yang telah terbentuk selama berabad-abad. Hak atas tanah, hutan, laut, budaya, hingga representasi politik masyarakat adat terancam oleh logika birokrasi yang lebih mengutamakan administrasi formal ketimbang nilai-nilai hidup masyarakat.

    Krisis identitas di Papua Selatan bukan hanya soal kehilangan tanah, melainkan juga kehilangan jati diri. Jika tidak ada upaya serius untuk mengharmoniskan birokrasi dengan adat, maka kita akan menyaksikan hilangnya sebuah peradaban yang kaya, unik dan berharga. Masa depan Papua Selatan bergantung pada bagaimana negara, birokrasi dan masyarakat adat bisa saling menghargai dan membangun relasi yang adil. (*)


      There is no ads to display, Please add some

      Tinggalkan Balasan

      Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *