Perlu Model Penanganan Terpadu Kejahatan Jalanan Klitih di DIY yang Berbasis Kolaborasi Multisektoral

beritabernas.com – Angka kejahatan jalan klitih di Jogja menunjukkan tren peningkatan dengan dominasi pelaku berusia remaja, yang pada umumnya memiliki profil psikologis khas: kehilangan figur orangtua, berasal dari keluarga broken home, kurang perhatian, berada dalam fase pencarian identitas diri dan mudah terpengaruh lingkungan sekitar.

Karena itu, diperlukan model penanganan terpadu kejahatan jalanan klitih di Yogyakarta yang berbasis kolaborasi multisektoral, dengan pendekatan yang komprehensif dan implementatif. Model ini dirancang sebagai jawaban atas kelemahan kebijakan yang ada saat ini, yang cenderung sektoral, kurang terkoordinasi dan belum menyentuh secara menyeluruh dimensi psikososial pelaku anak.

Hal itu disampaikan Kompol Made Wira Suhendra SIK MH, Kapolsek Medan Helvetia, Sumatera Utara, dalam disertasi berjudul Penanganan Terpadu Kejahatan “Klitih” di DIYAnalisis dan Evaluasi Model Penanganan, yang dipertahan dalam ujian promosi Doktor di Kampus FH UII, Selasa 7 Oktober 2025. Setelah berhasil mempertahan disertasi tersebut di hadapan tim penguji, Made Wira Suhendra kelahiran  Bekasi, 23 Februari 1991, dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskan dan berhak menyandang gelar Doktor .

Dalam disertai itu, Made Wira Suhendra mengatakan bahwa model penanganan ini dibangun di atas tiga pilar utama. Pertama, pilar pencegahan (preventif), yang menitikberatkan pada pendidikan karakter, sosialisasi nilainilai hukum dan norma sosial, serta penguatan kontrol sosial oleh keluarga dan sekolah untuk mencegah perilaku menyimpang sejak dini.

Kompol Made Wira Suhendra (kiri) saat menjawab pertanyaan Dr Suparman Marzuki, salah satu penguji (kanan). Foto: Philipus Jehamun/beritabernas.com

Kedua, pilar penegakan hukum (kuratif), yaitu penindakan yang dilakukan secara tegas terhadap pelaku namun tetap menjunjung tinggi prinsip perlindungan anak, dengan penerapan standar operasional prosedur (SOP) yang seragam di antara aparat penegak hukum lintas institusi. Ketiga, pilar rehabilitasi (rehabilitatif), yang meliputi pembinaan sosial, reintegrasi pelaku anak ke dalam keluarga dan masyarakat, serta penyediaan program pendampingan psikologis dan pelatihan keterampilan untuk mendukung pemulihan dan kemandirian mereka.

“Pelaksanaan model ini didukung melalui kolaborasi multisektoral yang melibatkan Polri, Kejaksaan, Pengadilan, pemerintah daerah, dinas pendidikan, sekolah, keluarga, tokoh masyarakat, dan lembaga rehabilitasi,” kata Made Wira Suhendra di hadapan tim penguji yang terdiri dari Prof Fathul Wahid ST MSc PhD selaku Ketua Sidang yang juga Rektor UII, Prof Dr Marcus Priyo Gunarto SH MH dari UGM, Prof Dr Hartiwiningsih SH M.Hum, Dr Suparman Marzuki SH MSi dan Dr M Arif Setiawan SH MH serta Prof Dr Rusli Muhammad SH MH (Promorot) dan Dr Aroma Elmina Martha SH MH (Co Promotor).

Menurut Made Wira Suhendra, untuk memastikan koordinasi yang efektif, mekanisme kerja sama ini perlu diatur dan diformalkan melalui penerbitan Peraturan Gubernur (Pergub) tentang Penanganan Klitih dan Memorandum of Understanding (MoU) lintas instansi terkait.

Baca juga:

Dikatakan, pemerintah juga perlu merumuskan peraturan perundang-undang yang bersifat sektoral secara bersama dengan kepolisian, kejaksaan dan lembaga terkait sebagai langkah cepat penanganan kejahatan jalanan klitih.

Selain itu, melakukan pendidikan dan kampanye kesadaran melalui teknologi informasi, dengan mengadakan kampanye kesadaran masyarakat tentang bahaya kejahatan jalanan dan cara-cara pencegahannya. Ini bisa dilakukan melalui media sosial, seminar, dan kerjasama dengan sekolah-sekolah serta komunitas lokal.

“Pemerintah juga perlu segera melakukan koordinasi antar lembaga dalam menjalankan program rehabilitasi, mengembangkan program rehabilitasi bagi pelaku kejahatan yang bertujuan untuk mengurangi angka residivisme. Program ini bisa mencakup pelatihan kerja, konseling dan bantuan sosial,” saran Made Wira Suhendra.

Made mengatakan, kajian terhadap kausa kejahatan jalanan klitih di DIYa dapat disimpulkan bahwa, klitih sebagai perilaku yang menyimpang merupakan subkultur yang terbentuk dari kelas sosial remaja yang menyimpang, karena kecenderungan tindakan destruktif dan kekerasan. Kejahatan jalanan klitih bertransformasi dan muncul dengan sebagai ekspresi antimainstream terhadap kultur dominan.

Suasana ujian promosi Doktor Kompol Made Wira Suhendra di Kampus FH UII, Selasa 7 Oktober 2025. Foto: Philipus Jehamun/beritabernas.com

“Sehingga menyebabkan tidak adanya kontrol terhadap ekspresi berlebih yang muncul dari krisis lingkaran hidup masa remaja sekarang ini. Oleh karena itu, diperlukan mekanisme kultural yang baru, antara lain dibangun di lembaga pendidikan, keluarga dan komunitas untuk menyikapi masalah ini. Timbulnya kejahatan jalanan klitih tidak terlepas dari disintegrasi sosial dengan sub kebudayaan delinkuen. Pada dasarnya subkebudayaan yang berbeda adalah perilaku delinkuen, yang memberlakukan sistem tata nilai masyarakat yang luas,” kata Made.

Pola subkultur delinkuen geng klitih sebagai conflict subculture berbeda dengan dua pola delinkuen lainnya (criminal subculture danretreatist subculture), yakni tidak sebatas menunjukkan adanya perbedaan dalam gaya hidup diantara anggotanya, tetapi juga karena adanya latar belakang terhadap problematika yang berbeda.

Oleh karenanya. faktor yang mempengaruhi munculnya kejahatan a quo adalah faktor psikologis dalam diri pelaku. Adanya masa peralihan dari masa anak – anak menuju masa dewasa banyak mempengaruhi emosi psikis, lingkungan yang kurang serasi, penuh kontradiksi dan labil, akan membuat mereka jatuh pada kondisi kesengsaraan batin Fenomena klitih pada remaja memiliki etiologi yang kompleks, meliputi faktor psikologis, sosial-budaya, dan ekonomi. (lip)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *