Membaca Syariat Islam di Aceh: Antara Nilai Religius, Budaya dan Toleransi

Oleh: Nur Ismi, Mahasiswa Psikologi Universitas Cendekia Mitra Indonesia, Yogyakarta

beritabernas.com – Aceh dikenal sebagai Serambi Mekkah. Masyarakatnya yang sangat menjunjung tinggi ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. Keistimewaan Aceh terlihat dari penerapan Syariat Islam yang tidak hanya diatur dalam hukum formal melalui qanun, tetapi juga tertanam kuat dalam budaya dan tradisi masyarakatnya.

Implementasi Syariat Islam di Aceh mencerminkan perpaduan antara nilai religius dan kearifan lokal yang telah diwariskan sejak masa kerajaan Islam terdahulu. Dalam pelaksanaannya, masyarakat Aceh berupaya menjalankan ajaran Islam secara menyeluruh tanpa mengabaikan semangat toleransi terhadap keberagaman. Hal inilah yang menjadikan Syariat Islam di Aceh tidak sekadar aturan hukum, tetapi juga bagian dari identitas, moralitas dan keharmonisan sosial masyarakatnya.

Secara etimologis, syariat Islam terdiri dari dua kata. Syariat artinya hukum agama dan Islam artinya agama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW, berpedoman pada kitab suci Al-Quran, yang diturunkan ke dunia melalui wahyu Allah SWT.

Syariat Islam adalah ajaran Islam yang berpedoman pada kitab suci Al-Qur’an. Kerangka dasar ajaran Islam adalah akidah, syar’iyah dan akhlak. Ketiganya bekerja sama untuk mencapai suatu tujuan yang bersumber pada tauhid, sebagai inti akhidah yang kemudian melahirkan syar’iyah, sebagai jalan berupa ibadah dan muamalah, serta akhlak sebagai tingkah laku baik kepada Allah SWT maupun kepada makhluk ciptaan-Nya yang lain.

Syari’at Islam adalah tuntunan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan. Pelaksanaan Syari’at Islam diatur dalam Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 5 tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam.

Adapun aspek-aspek pelaksanaan Syari’at Islam adalah seperti terdapat dalam Perda Daerah Istimewa Aceh nomor 5 tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam. Pasal 5 ayat 2, yaitu: Aqidah, Ibadah, Muamalah, Akhlak, Pendidikan dan dakwah Islamiyah/ amar makruf anhi munkar, Baitulmal, kemasyarakatan, Syiar Islam, Pembelaan Islam, Qadha, Jinayat, Munakahat, dan Mawaris.

Baca juga:

Dasar hukum dan pengakuan pemerintah untuk pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh, didasarkan atas UU No. 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan UU Nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh telah diatur dalam Undang-undang Nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Nanggroe Aceh Darussalam. Pasal 31 disebutkan: Ketentuan pelaksanaan undang-undang ini yang menyangkut kewenangan Pemerintah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah,

Ketentuan Pelaksanaan undang-undang ini yang menyangkut kewenangan Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam ditetapkan dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Peraturan pelaksanaan untuk penyelenggaraan otonomi khusus yang berkaitan dengan kewenangan pemerintah pusat akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Keunikan

Dalam perjalanan Syariat Islam di Aceh, jika dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia, maka Aceh memilikii keunikan karena masyarakatnya mampu menyerap budaya dan menyesuaikan diri. Dalam konsiderans UU Nomor 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh menempatkan ulama pada peran yang terhormat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Contohnya, para ulama di Aceh mendapatkan tempat yang istimewa dalam hal memberikan pandangan-pandangan, saran-saran, dan masukan-masukan untuk menetapkan suatu kebijakan.

Hal tersebut tidak didapatkan para ulama di daerah lain. Contoh lain, para ulama Aceh sejak abad ke-17 telah dapat menerima dan bahkan mendorong kehadiran perempuan dalam ranah kegiatan publik, seperti menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, hakim pada mahkamah, panglima perang, sampai menjadi kepala negara (Sultan), yang di banyak tempat dianggap sebagai tidak sejalan dengan ajaran Islam.

Aceh dapat dikatakan sebagai daerah yang memiliki pengalaman sejarah seperti yang telah disebutkan di atas dalam penyesuaiannya sudah relatif sangat lentur dengan budaya lokal dan dapat menjadi tempat untuk pelaksanaan Syariat Islam secara kaffah. Senada dengan hal tersebut, Daud Rasyid mengatakan bahwa Aceh seharusnya menjadi pilot project bagi perjuangan Syariat.

Kurangnya pemahaman terhadap Al-Qur’an akan membawa kepada pola penalaran yang tidak memiliki semangat universalitas, fleksibilitas, kering akan nuansa sosiologis dan bahkan akan menyulitkan penerapan Syariat Islam dalam kehidupan manusia. Padahal hakikat keberadaan Syariat Islam adalah membawa kemaslahatan bagi manusia baik di dunia maupun di akhirat.  Lalu muncul pertanyaan bagaimana peraturan syariat Islam pada non muslim?

Syariat Islam di Aceh hanya diberlakukan kepada orang yang beragama Islam, dengan demikian orang yang bukan beragama Islam tidak dipaksakan untuk mengikuti peraturan yang didasarkan kepada Syariat Islam tersebut.

Tidak berlaku bagi non Muslim

Sebahagian dari mereka (non muslim) memiliki pandangan bahwa qanun-qanun yang ada dalam pelaksanaan Syariat Islam mempunyai unsur pencegahan terhadap perbuatan-perbuatan kriminal/ maksiat, sehingga dapat menciptakan suasana hidup dalam sebuah daerah menjadi aman, damai, tentram dan sejahtera.

Hal ini dikarenakan Syariat Islam tidak berlaku bagi non Muslim akan tetapi non Muslim harus menghormati dan menghargai peraturan Agama Islam, dan bila non Muslim melanggar hukum Syariat Islam, mereka tidak dihukum seperti orang Muslim tapi mereka dihukum dengan membayar denda atau dipenjarakan secara hukum nasional. Semua ini telah diajarkan dalam Islam, bahwa Islam harus menghormati segala macam perbedaan Agama. Mereka yang non Muslim yang hidup berdampingan dengan Muslim lainnya harus dilindungi dan diberikan haknya.

Dengan demikian, penerapan Syariat Islam di Aceh tidak hanya mencerminkan ketaatan masyarakat terhadap ajaran agama, tetapi juga menggambarkan upaya untuk menjaga keharmonisan antarumat beragama dalam keistimewaan daerah.

Penerapan Syariat Islam di Aceh merupakan wujud keistimewaan daerah yang berlandaskan Al-Qur’an dan hadis serta diterapkan melalui qanun sebagai pedoman hukum dan kehidupan masyarakat, di mana ajarannya mencakup seluruh aspek kehidupan mulai dari ibadah, muamalah, akhlak, hingga pemerintahan.

Keberhasilan penerapannya tidak lepas dari sejarah panjang penerimaan Islam di Aceh dan peran besar para ulama yang sejak dahulu berkontribusi dalam penetapan kebijakan, termasuk memberikan ruang bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam ranah publik, sementara bagi non-Muslim pelaksanaan Syariat Islam tidak dipaksakan dan mereka tetap mendapat perlindungan serta haknya berdasarkan hukum nasional, sehingga Syariat Islam di Aceh tidak hanya menjadi simbol keagamaan, tetapi juga mencerminkan keseimbangan antara nilai religius, kemanusiaan, dan keharmonisan hidup dalam masyarakat yang beradab. (*)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *