“Governmentality” dan Diskursus Kekuasaan yang Terabaikan

Oleh: Ben Senang Galus, Penulis buku Postmodernisme dan Sketsa Hibriditas, tinggal di Yogyakarta

beritabernas.com – Dari sekian deretan diskursus politik Indonesia kontemporer yang memadati halaman demi halaman buku-buku maupun media sosial, kesan umum yang segera tertangkap adalah bahwa ia mengabaikan entitas lain di luar negara, yakni masyarakat sipil. Masyarakat sipil dalam pandangan negara dianggap sebagai pembangkang, tukang demo, tidak memberikan solusi yang baik terhadap negara. Pembangunanisme yang menjadi metanarasi dalam diskursus politik Orde Baru dibentangkan dengan perspektif sempit yang menyamakan dan mengukurnya dalam idiom-idiom ekonomi.

Pembangunan kerap kali dipahami dalam bingkai mode narasi produksi atau narasi liberal yang menghubungkan konsep-konsep pembangunan ekonomi, kebebasan, dan demokratisasi. Namun demikian, analisis tentang berbagai praktek dimana masyarakat sipil diproduksi dalam diskursus ekonomi tetap terabaikan.

Akibatnya, subyek Indonesia dipahami sebagai sesuatu yang given dan statis, pembangunan mengubah orang Indonesia ‘hanya’ untuk mengkonsumsi dan pola-pola konsumsi mereka. Sebut saja misalnya bantuan sosial, bantuan langsung tunia. Lebih jauh, karena ‘ekonomi’ tidak diperlakukan sebagai suatu wilayah diskursif atau cara p(m)emerintah, maka karakteristik subyek Indonesia tampak tidak mengalami perubahan.

Dalam konteks ini, menjadi Indonesia berarti mentransendenkan diskursus pembangunan ekonomi. Pembangunan bisa mengancam identitas tradisional dan mendorong terbentuknya identitas baru, namun ia tidak dilihat sebagai lokasi dimana identitas tersebut diproduksi. Pembangunan mestinya dipahami sebagai entitas yang mengasumsikan bahwa kekuasaan yang dihasilkannya merupakan kekuatan produktif dan subyek individu menjadi sasaran utamanya.

Kendati keseluruhan diskursus pembangunan tidak memiliki koherensi, tetapi ia didasarkan pada penggunaan berbagai tekhnik dan tekhnologi di berbagai institusi, baik institusi hukuman maupun bukan, termasuk sekolah, kelompok kepentingan dan birokrasi. Jika cara untuk memenuhi tujuan pembangunan bersifat imanen dalam masyarakat, maka teknologi diri merupakan elemen penting dalam memahami operasi kekuasaan yang berlaku di Indonesia pada saat ini.

Etatisme kekuasaan

Absennya atau diabsenkanya diskurus masyarakat sipil dalam studi maupun praksis politik Indonesia, mengindikasikan pengakomodasian yang timpang tentang diskursus kekuasaan di dalamnya. Kualitas kekuasaan yang dibahas di dalamnya lebih merupakan asumsi dari pada argumentasi. Kekuasaan dipandang melulu sebagai kekuatan represif dan prohibit yang digunakan oleh institusi negara, sejak Orde Lama sampai saat ini, untuk menundukkan orang lain pada kehendak rezim. Sehingga saat ini kemudian muncul etatisme kekuasaan. Suatu paham dalam pemikiran politik yang menjadikan negara sebagai pusat segala kekuasaan. Saat ini muncul di ruang publik dari konsep desentralisasi ke sentralisasi kekuasaan. Ini pertanda bahwa kekuasaan cenderung monopoli dan memperkuat posisi tawar oligarki.

Berbagai kajian poltik selama Orde Baru mencirikan kekuasaan sebagai kekuatan militer yang negatif, tercela dan merupakan kewenangan negara. Pandangan ini meyakini bahwa penggunaan kekerasan oleh negara (yang dalam bentuk yang paling ekstrim terwujud dalam pembunuhan warga negara) sebagai ekpresi tertinggi dari kekuasaan. Akibatnya, kekuasaan lebih dipandang sebagai sesuatu yang dimiliki oleh negara dari pada dipahami sebagai jaringan strategis dan taktis, yang selalu berada dalam proses pemerolehan dan senantiasa menghadapi perlawanan dari mereka yang dikuasainya.

Baca juga:

Militerisme pascaorde Baru semakin kuat dalam cengkeraman kekuasaan Presiden Prabowo. Saat ini banyak jabatan publik masih dipegang oleh anggota militer yang aktif. Mulai dari cabang kekuasaan paling sensitif, seperti di lingkaran istanah sampai organisasi strategis yang banyak uangnya.

Produksi teori kekuasaan yang militeristik, tercela dan berbasis negara memunculkan semacam paradoks dalam diskursus politik Indonesia. Meskipun subyek yang berpengetahuan menjadi pusat otoritas diskursus politik Indonesia, namun asumsi teori kekuasaannya cenderung menghapuskan subyek politik karena ia dikonstruksi dalam binaritas kuat-lemah.

Dengan memperlakukan kekuasaan sebagai sesuatu yang negatif dan represif secara universal, subyek dibatasi atau bahkan dihancurkan oleh operasi kekuasaan dan dibungkam olehnya. Tiadanya konsep agency menunjukkan posisi subyek dimana subyek individu merasakan bobot kekuasaan, tetapi –jika yidak dihancurkan- secara esensial tetap tidak berubah karenanya. Dengan kata lain, ketika kekuasaan dijalankan, penyusutan identitas dan pembungkaman merupakan hasil yang tak terelakkan. Kekuasaan pun lalu dipahami memiliki efek yang homogen, tidak problematik dan universal.

Lebih jauh, produksi teori kekuasaan seperti itu hanya menyisakan ruang sedikit ruang untuk mempertimbangkan cara-cara yang dipergunakan untuk membentuk subyek Indonesia kontemporer sebagai ‘subyek pembangunan’. Penjelasan argumentatif yang dilontarkannya tidak banyak membicarakan tentang cara-cara yang dipergunakan untuk menyusun ulang tubuh individu dengan strategi dan praktek pembangunan tertentu, atau cara-cara yang dipergunakan untuk membuat masyarakat menjadi (lebih) produktif, patuh dan tertib.

Padahal, sebagaimana Foucault, ‘pemerintah’ memang semestinya dipahami bukan hanya sekedar struktur politik atau manajemen negara, tetapi lebih dari iotu, ia dipahami sebagai serangkaian strategi dan taktik yang diarahkan pada kontrol prilaku individu atau kelompok dan bentuk aksi yang mengatur apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh orang lain (Foucault, 1982, hlm. 221)
 
Governmentality

Sudah saatnya studi politik Indonesia kontemporer memperlakukan diskursus kekuasaan sebagai sesuatu yang berbentuk heterogen dan merupakan kekuatan produktif dalam diskursus dan lokasi tertentu. Kekuasaan tidak lagi dipahami sebagai ‘hanya’ milik negara dan tidak begitu saja dipraktekkan pada masyarakat yang berada di bawah pengawasannya. Ia lebih dipahami sebagai serangkaian strategi, program, kalkulasi, teknik, perangkat, dokumen dan prosedur melalui mana otoritas mengejewantah dan menciptakan pengaruh pada ambisi memerintah.

Dengan kata lain, ia lebih dari sekedar kapasitas bertindak yang hanya dimiliki oleh institusi negara. Ia dipahami sebagai penggunaan dan penciptaan teknologi untuk mengatur prilaku.

Pemerintah memiliki kapasitas untuk mengetahui ‘kebenaran’ dari domain tertentu, sekaligus memiliki kapasitas untuk menetapkan kebenaran itu sedemikian rupa sehingga domain bersangkutan mudah dievaluasi, dikalkulasi dan diintervensi. Dalam pengertian ini ‘relitas’ adalah efek dari diskursus tertentu dari pemerintah. Semua individu yang menjadi sasaran dari diskursus pemerintah, diciptakan dalam diskursus itu.

Dengan demikian, identitas terkait dengan domain di mana individu di perintah. Dengan cara demikian, kekuasaan dipahami dengan cukup lebih memadai dalam konteks diskursus ‘p(m)emerintah’, on govermentality (Philpott, 2000). Imbasnya, negara dan masyarakat sipil tidak bisa lagi dipahami sebagai domain yang otonom, atau bahkan antagonistik.

Hal ini, tentu saja merupakan pergeseran yang cukup signifikan dari model dominan dalam studi poltik Indonesia yang menganggap bahwa hubungan antara negara dan masyarakat sipil sangat birokratis dan karenanya negara memiliki kepentingan yang terpisah dari kepentingan masyarakat sipil, yang coba diraihnya dengan membatasi atau mengontrol artikulasi yang tidak sesuai dengan kepentingan negara.

Istilah governmentality diperkenalkan oleh Michel Foucault, yang mengacu pada rasionalitas dan seni memerintah di mana kekuasaan dijalankan melalui berbagai mekanisme untuk mengatur dan mengendalikan populasi. Konsep ini melibatkan pembentukan lembaga, prosedur, analisis, dan taktik yang mengarahkan perilaku masyarakat dengan cara yang terorganisir dan “sah” (legitimate). Ini melampaui pemerintahan tradisional dan mencakup upaya untuk membentuk perilaku diri (conduct of conduct) melalui internalisasi kontrol. 

Lebih luas konsep govermentality memandang bahwa domain pemerintah sebenarnya terdapat dalam berbagai diskursus yang diciptakan untuk memerintah. Pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut legitimasi kekuasaan digantikan oleh perhatian pada teknik dan rasionalitas kekuasaan, atau dengan kata lain oleh pertanyaan-pertanyan praktis yang menyoal tentang bagimana memandu perilaku negara dan perilaku masyarakat yang diklaim oleh negara berada dibawah kekuasaannya.

Govermentality tidak memahami rasionalitas negara dalam pengertian negatif, tetapi positif dan rasionalitas tersebut bersifat imanen. Govermentality memandang bahwa pemerintah(an) adalah suatu aktivitas kompleks yang memiliki tujuan yang secara intrinsik terkait dengan berbagai persoalan di sekitarnya, berbagai kesalahan yang coba diralatnya, penyakit yang coba disembuhkannya. Dalam pandangan ini, ada tiga elemen dalam rasionalitas politik yang mengatasi berbagai persoalan yang diidentifikasikasi oleh pemerintah(an) (Philpott, 2000).

Pertama, rasionalitas politik memiliki bentuk moral, dimana kekuasaan dan kewajiban penguasa dielaborasi, distribusi kewajiban di antara para penguasa dijelaskan dan di mana cita-cita serta prinsip yang harus dipenuhi oleh pemerintah dipertimbangkan. Kedua, rasionalitas politik itu memiliki karakter epistemologis dimana ia dielaborasi dalam kaitannya dengan hakikat obyek yang dikuasai, biasanya dengan menggunakan penjelasan tentang orang-orang yang menjadi sasaran praaktek pemerintah(an). Ketiga, rasionalitas politik itu diartikulasikan dalam suatu idiom tertentu, yang bisa dimengerti sebagai sejenis mesin intelektual untuk menjadikan realitas sebagai suatu hal yang masuk akal dengan sedemikian rupa sehingga ia bisa tunduk pada pertimbangan politik.

Govermentality tidak memahami negara dan masyarakat sipil dalam pengertian oposisi biner, yang selalu bertentangan dan masing-masing berusaha melemahkan pengaruh yang lain. Govermentality memandang bahwa kekuasaan bukanlah persoalan menerapkan belenggu pada warga negara dengan tujuan membuat mereka mampu mengemban bentuk kebebasan yang terkontrol.

Otonomi individu bukanlah antitesis dari kekuasaan politik, melainkan merupakan istilah kunci dalam praktek kekuasaan politik, karena sebagian besar besar individu bukan hanya menjadi subyek kekuasaan tetapi juga berperan menjalankan operasi kekuasaan itu.

Dengan cara demikian govermentality membedakan dirinya dengan diskursus ‘transisi demokrasi’ yang banyak memperbincangkan tema seputar transisi dari otoritarianisme ke demokrasi sebagai suatu hal yang tergantung pada tumbuhnya masyarakat sipil dalam bentuk kelompok-kelompok kepentingan.

Hal ini menunjukkan bahwa demokrasi hanya akan muncul apabila masyarakat mengembangkan kemampuannya dalam mengartikulasikan kepentingan yang berbeda dan kepentingan para aparatus negara. Namun demikian, perbedaan kepentingan itu masih mensyaratkan ‘ruang’ untuk mengartikulasikannya dan ruang ini dianggap menjadi ukuran yang tepat dalam relasi negara/ masyarakat sipil. Dengan kata lain, demokrasi identik dengan ketiadaan negara dalam masyarakat sipil.

Dalam diskursus ‘transisi demokrasi’, perbedaan tajam antara demokrasi dan otoritarianisme dibatasi pada pemahaman tentang cara-cara untuk menjalankan pemerintahan dalam masyarakat yang tidak demokratis. Korelasi antara demokrasi, kebebasan, dan rasionalitas versus otoritarianisme, dominasi dan irrasionalitas, menutup mata terhadap kemungkinan munculnya berbagai strategi kepemerintahan yang produktif dan beraneka ragam yang berlaku dalam masyarakat otoritarian. (*)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *