beritabernas.com – DPR dan Presiden, sebagai pihak yang berwenang membuat undang-undang, perlu segera merevisi undang-undang terkait pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah dengan cara
mengkodifikasinya.
Yang menjadi prioritas utama dalam revisi tersebut adalah peningkatan kemandirian fungsional penyelenggara pemilu, dalam hal ini KPU, terutama dalam menghasilkan produk hukum, sebagaimana yang menjadi fokus utama penelitian disertasi ini.
“Sebagai lembaga negara independen dengan tugas paling banyak dan strategis di antara lembaga penyelenggara pemilu lainnya, KPU seharusnya mampu menghindari anggapan bias dengan menyusun setiap peraturan KPU yang jelas secara hukum dan melibatkan partisipasi publik. Meskipun menghadapi keterbatasan waktu, proses penyusunan peraturan KPU tetap harus mengikuti seluruh prosedur formal yang berlaku, serta mengutamakan kepastian hukum. Hal ini penting karena substansi peraturan KPU
yang dihasilkan dilindungi oleh jaminan konstitusionalitas yang kuat,” kata Muhammad Helmi Fahrozi SHI SH MH, Dosen FH Universitas Pembangunan Nasional Veteran (UPNV) Jakarta, dalam ujian disertasi untuk meraih gelar Doktor di hadapan Tim Penguji FH UII, Sabtu 15 November 2025.

Dalam ujian disertai berjudul Kemandirian Penyelenggara Pemilu: Rekonstruksi Pembentukan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Berkepastian Hukum dan Partisipatif, Muhammad Helmi Fahrozi SHI SH MH dinyatakan lulusan dengan sangat memuaskan dan berhak mendapatkan gelar Doktor.
Menurut Muhammad Helmi Fahrozi, sebagai pembuat aturan pelaksana, KPU seharusnya selalu mengutamakan putusan pengadilan yang menjunjung partisipasi masyarakat. Sebaliknya, lembaga peradilan hendaknya konsisten dalam mengeluarkan putusan yang menjamin nilai-nilai demokratis, dan tidak melahirkan ptutusan yang dilematis. Misalnya saja, putusan kekuasaan kehakiman sepatutnya memberikan putusan yang memperhatikan aspek pemberlakuan batasan waktu pelaksanaan putusan.
Selain menciptakan kepastian hukum, putusan kekuasaan kehakiman adalah modal utama menyelesaikan perbedaan atau sengketa yang terjadi di masyarakat terutama sengketa dalam konteks kepemiluan.
“Demi meningkatkan kemandirian KPU, penulis menyarankan agar para akademisi dan aktivis pemilu mendorong para pembuat undang-undang dan masyarakat umum untuk selalu mengawasi dan menjaga terwujudnya integritas penyelenggara pemilu sebagai bagian dari terciptanya kemandirian penyelenggara pemilu in casu KPU. Ini dapat dilakukan melalui diskusi dan kajian bersama demi mewujudkan model penyelenggaraan pemilu yang sepenuhnya independen,” kata Muhammad Helmi Fahrozi.
Belum sepenuhnya menggambarkan kemandirian
Menurut Muhammad Helmi Fahrozi, kemandirian fungsional Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam
penyusunan dan merancang regulasi pemilu belum sepenuhnya menggambarkan kemandirian lembaga penyelenggara pemilu yang dijamin oleh konstitusi.
Ada tiga indikasi yang mengonfirmasi hal ini. Pertama, praktik konsultasi KPU melalui Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan DPR dan Pemerintah masih berpotensi mengurangi kemandirian KPU. Kedua, proses formil dalam menyusun peraturan KPU untuk menindaklanjuti putusan pengadilan masih menyisakan kemungkinan implementasi yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, termasuk kegagalan menindaklanjuti putusan atau menghasilkan regulasi yang bertentangan dengan
putusan pengadilan, terutama ketika putusan tersebut muncul di tengah tahapan pemilu.
Ketiga, kemandirian fungsional KPU masih tertinggal dibandingkan dengan model penyelenggara pemilu
independen di negara-negara seperti Australia, Nigeria, dan India, yang telah menerapkan konsep pemisahan kekuasaan baru (the new separation of power) dan lembaga independen pembuat peraturan (independent regulatory Agenci’s). Apabila kedua konsep tersebut dapat diwujudkan penulis meyakini bahwa kemandirian KPU akan sejalan dengan amanat konstitusi.
Baca juga:
- Ujian Terbuka Promosi Doktor di FH UII, Muhammad Noor Lulus dengan Predikat Sangat Memuaskan
- Yana Suryana Lulus dengan Sangat Memuaskan dalam Ujian Terbuka Promosi Doktor di FH UII
- Disertasi Mengkaji Masalah “Klitih” di DIY, Kapolsek Medan Raih Gelar Doktor di FH UII
Menurut Muhammad Helmi Fahrozi, keragaman cara legalitas formil peraturan KPU yang dilaksankan
sejak tahun 2014 hingga tahun 2024 sudah sesuai dan sejalan dengan konsep peraturan delegasi serta pedoman regulasi peraturan perundang-undangan di Indonesia. Akan tetapi, prosedur pembentukan peraturan KPU seringkali mengesampingkan kepastian hukum dan partisipasi masyarakat dalam enyusunan dan perancangan peraturan KPU, seperti yang terlihat dalam praktik pembentukan peraturan KPU menjelang pemilihan umum serentak 2024.
Legitimasi formal peraturan KPU semakin diragukan dan kerap menjalani dengan standar yang ganda, terutama ketika putusan pengadilan dikeluarkan di tengah berlangsungnya tahapan pemilu. Masalah ini perlu segera ditangani karena dapat menimbulkan implikasi politis dan implikasi yuridis adminsitratif dalam pembentukan peraturan KPU serta menurunkan kepercayaan publik dan merusak integritas KPU sebagai penyelenggara pemilu yang mandiri sebagaimana telah dijamin oleh konstitusi.
Menurut Muhammad Helmi Fahrozi, upaya rekonstruksi hukum formil dalam menciptakan
kemandirian KPU berkepastian hukum dan partisipatif, terdapat dua langkah yang dapat digunakan. Pertama, diperlukan revisi regulasi yang mengatur ketentuanproses pembentukan peraturan
KPU melalui jalur legislasi. Revisi ini, khususnya terkait kewajiban konsultasi, praktik konsultasi sebaiknya diubah sifatnya dari makna wajib (imperative) menjadi bermakna pilihan (fakultatif).
Langkah ini krusial karena ketidakpastian hukum dan memicu lemahnya pastisipatif masyarakat masih melekat pada proses formil pembentukan peraturan KPU. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU_XIV/2016 perlu ditindaklanjuti untuk memberikan interpretasi dan makna baru pada penyusunan peraturan KPU.

Muhammad Helmi Fahrozi menyarankan kekuasaan yudisial untuk menerapkan prinsip (judicial restraint) atau menahan diri, terutama dengan mengadopsi prinsip purcell (purcell principle), saat menangani kasus yang berkaitan dengan kemandirian penyelenggara pemilu, khususnya ketika putusan kekuasaan kehakiman menciptakan putusan di tengah tahapan pemilu sedang berlangsung.
Selain itu, upaya ini menjadi dasar dorongan kuat kepada pembentuk undang-undang untuk merevisi regulasi guna menciptakan proses pembentukan peraturan KPU yang lebih berkepastian hukum danpartisipatif. Dorongan revisi ini selaras dengan amanat UndangUndang Nomor 59 tahun 2024 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2025-2045, yang menekankan pentingnya penguatan lembaga demokrasi melalui peningkatan kualitas penyelenggara pemilu.
Hasil penelitian disertasi ini diharapkan dapat menjadi kontribusi dalam penyusunan undangundang pemilu yang baru, sehingga usulan-usulan mengenai proses formil yang diajukan dapat diakomodasi.
“Studi ini berupaya memperkuat kemandirian fungsional KPU dalam menyusun peraturan KPU. Pada kenyataannya, peraturan yang dibuat KPU kerap kali dievaluasi oleh lembaga legislatif dan yudikatif,
sehingga mereduksi kemandirian KPU yang sesungguhnya sudah mendapat jaminan dari Konstitusi. Akibatnya, proses partisipasi dan kepastian hukum dalam pembentukan aturan KPU acap menjadi
terhambat, terutama ketika aturan tersebut diubah di tengah pelaksanaan tahapan Pemilu,” kata Muhammad Helmi Fahrozi.
Di samping itu, legalitas formil pembentukan peraturan KPU terbilang bervariasi, kompleks, dan kerap
membutuhkan nafas panjang karena selalu dipengaruhi oleh pertimbangan politik dari kekuasaan legislatif. (phj)
There is no ads to display, Please add some