Kalimantan Barat, Antara Keberlanjutan Pembangunan Fisik atau Penegakan Keadilan Ekologis

Oleh : Tengku Kahharuddin Akbar SH, Mahasiswa Hukum Program Magister UMY, pecinta sejarah Kalbar dan Marhaenis)

beritabernas.com – Kalimantan Barat (Kalbar) dengan luas 147.307 km persegi yang membentang dari Tanjung Datu di utara dan Tanjung Sambar di selatan, disusul Pulau Karimata di ujung barat dan Kecamatan Ambalau di ujung timur, dilintasi oleh Sungai Kapuas yang panjang dan berkelok-kelok.

Wilayah ini juga dinaungi oleh Gunung Palung dan Bukit Kelam yang melegenda, dihiasi oleh hijaunya Betung Kerihun dan teduhnya Danau Sentarum. Dengan positi seperti ini, Kalimantan Barat seakan tak pernah berhenti memancarkan pesona yang memanjakan mata dan menenangkan jiwa penghuninya. Namun, dunia modern menagih banyak hal pada Kalimantan Barat, dua di antaranya adalah pilihan yang dilematis yaitu antara melanjutkan pembangunanfFisik atau menegakkan keadilan ekologis.

Pembangunan fisik, jalan mengejar ketertinggalan

Bila berkaca pada sejarah, saat masih bernama Westerafdeeling van Borneo di masa Hindia Belanda, insan yang mendiami Kalimantan Barat pernah punya ambisi tinggi untuk membangun sarana penunjang kebutuhan publik. Hal itu ditandai oleh lahirnya kemauan politik (Political Will) para penguasa di beberapa Kerajaan saat memasuki awal abad 20.

Di Kerajaan Sambas yang sekarang meliputi Kabupaten Sambas, Kabupaten Bengkayang dan Kota Singkawang pernah berkuasa Sultan Muhammad Shafiuddin II (1866-1922) yang dikenal berjasa membangun sekolah berlandaskan Islam bernama Madrasah Al Sultaniah pada tahun 1915 yang dipimpin oleh ulama Sambas berhaluan modernis lulusan Universitas Al Azhar di Mesir yakni Sheikh Muhammad Basiuni Imran.

Selain itu Sultan juga memerintahkan pembangunan jalan raya menghubungkan Sambas, Singkawang dan Bengkayang. Tidak ketinggalan Sultan Mohammad Alkadrie (1895-1944) selaku Sultan Pontianak yang dikenal juga peduli pada pembangunan, dalam pemerintahannya Negeri Pontianak menjadi pusat dagang Borneo Barat yang kerap mengekspor beberapa komoditas pertanian ke banyak negara seperti kelapa, karet, kayu, rotan dan damar.

Banyak orang yang tadinya hanya berdagang kemudian tertarik untuk menetap di Pontianak sehingga berdirilah berbagai kampung dengan nama asal daerah warganya semisal Kampung Saigon, Kampung Tambi, Kampung Kamboja, Kampung Banjar Serasan, Kampung Bangka dan lain-lain.

Di masa Sultan Muhammad juga berdiri banyak sekolah seperti Holland Chineezen School/HCS (1913),  Madrasah Alqadriah (1914), Holland Inlandsche School/HIS (1922), Perguruan Islamiyah, Madrasah Muhammadiyah, dan Madrasah Abdurahmaniyah (1926). Demikian pula dengan bidang kesehatan, ikut berdiri Rumah Sakit Sungai Djawi pada 31 Desember 1928 yang dikelola oleh Misi Katolik.

Di era yang sama Kalimantan Barat sudah punya seorang wakil rakyat atau senator di Volksraad, lembaga legislatif Hindia Belanda yang sudah aktif bersidang di Batavia sejak 18 Mei 1918. Seorang bangsawan asal Kerajaan Sambas bernama Raden Muslimun Nalaprana terpilih untuk menyuarakan aspirasi dari daerah pemilihan Kalimantan (mencakup wilayah westeerafdeeling van Borneo/Kalbar dan Zuider en Oosterafdeeling van Borneo/Kalimantan Tenggara) untuk periode tahun 1939-1942.

Selama menjadi senator, ia kerap menyerukan pada pemerintah Kolonial agar peduli pada pemerataan pembangunan sekolah (khususnya di wilayah pesisir Kalbar), distribusi guru yang kompeten, serta persoalan gaji yang layak bagi pegawai negeri yang kerap dipangkas akibat efisiensi.

Baca juga:

Kemauan politik untuk membangun Kalimantan Barat juga ditunjukkan oleh penguasa kolonial sebagai otoritas berdaulat disamping Kerajaan (Zelfbestuurende Landschappen). Pada tahun 1915, Roelofs Volk selaku Pejabat Residen (setingkat gubernur) Westerafdeeling van Borneo sempat mengusulkan pada pemerintah Kolonial pusat di Batavia untuk membangun jalur trem menyusuri pantai pesisir barat Kalimantan (West Kust van Borneo) sepanjang 217 Km dengan rute  Pontianak-Batoe Lajang (batulayang)- Djoengkat (Jungkat) – Ajer Hitam (Air Hitam)-Peniti Besar-Soengei Poeroen (Sungai Purun)-Peniraman- Pat Kok Tin- Mampawa (Mempawah) – Soengei Doeri (Sungai Duri) – Singkawang, Pemangkat dan Sambas.

Tapi pembangunan fisik yang menjadi ambisi para penguasa Kalbar lenyap seketika. Fasisme Jepang datang menyerang pada 1942, tidak ada hal bermakna yang tersisa selain perampasan harta rakyat jelata lewat peristiwa cap kapak, pembakaran literatur, kerja paksa pembangunan landasan Airport Sungai Durian (Bandara Internasional Supadio) serta kanal-kanal seperti Parit Tengkorak, hingga puncaknya penangkapan dan pembunuhan para bangsawan, intelektual serta saudagar yang dianggap pro-Belanda sepanjang April 1943 sampai dengan Juni 1944.

Peristiwa itu dikenang orang sebagai Tragedi Mandor Berdarah. Sejak saat itu Kalbar terus mengarungi arus sejarah dalam keadaan terseok-seok dan membangun sedikit demi sedikit walau tak banyak memberi hasil signifikan. Sebab Kalbar beberapa kali mengalami peristiwa pilu seperti Peristiwa Mangkok Merah (1967), Penumpasan PGRS/Paraku (1966-1967), Penumpasan CDB PKI Kalimantan Barat (1966-1974), Kerusuhan di Kabupaten Pontianak (1997), Kerusuhan Sambas (1999), hingga Peristiwa Juni Berdarah di Kota Pontianak (2000).

Jejak sejarah Kalimantan Barat yang panjang dan pahit menempa hasrat juang anak Kalimantan Barat untuk tetap bangkit melawan ketertinggalan. Semboyan Provinsi Kalimantan Barat “Akçaya” yang bermakna tak kunjung binasa, seakan menggambarkan tekad hidup menyala-nyala manusia Kalbar agar terus konsisten mengarungi gelombang zaman, demikian pula hasrat untuk meneruskan pembangunan fisik.

Memasuki dekade 2020an Kalbar terus berbenah. Tantangannya tidak mudah karena bersinggungan dengan bonus demografi sebagai akibat tingginya angka kelahiran yang didorong oleh tingginya angka perkawinan anak.

Selain itu fenomena post-truth sebagai akibat arus informasi yang pesat membuat masyarakat kerap bingung menimbang mana informasi yang benar dan mana pula yang salah, sehingga tidak jarang kebijakan pemerintah pusat maupun daerah senantiasa menuai polemik. Selain itu persoalan klasik seperti akses pendidikan dan kesehatan yang belum merata serta banyaknya jalan yang belum diaspal selalu menjadi topik yang hangat dibicarakan di warung kopi, titik kumpul utama masyarakat Kalbar di kala melepas penat usai bekerja atau membuang rasa gabut.

Pembangunan fisik kini sangat terasa, mulai dari selesainya pembangunan Jalan Trans Kalimantan sejak 1989 sampai dengan 2016 yang ditandai dengan diresmikannya Jembatan Pak Kasih di Tayan, Kabupaten Sanggau. Diikuti dengan peresmian Pos Lintas Batas Negara (PLBN) pada tahun 2015 di Aruk (Sambas), Entikong (Sanggau), Badau (Kapuas Hulu) dan Jagoi Babang (Bengkayang) pada tahun 2024.

Kemudian peresmian Pelabuhan Internasional Kijing di Kabupaten Mempawah pada tahun 2022 serta pembangunan jalan layang pertama di Kalbar yang menghubungkan Kota Putussibau dengan Kecamatan Kalis, Kabupaten Kapuas Hulu.

Akan tetapi pembangunan fisik di Kalbar yang semakin gencar mulai bersinggungan dengan alam sebagaimana tercermin dalam wacana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Pantai Gosong Kabupaten Bengkayang yang direspon negatif oleh banyak aktivis sejak tahun 2021. Belum lagi pada tahun 2025 ini pemerintah pusat melalui Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menargetkan pembangunan PLTN mencakup wilayah Kalbar pada 2027 dan diharapkan segera rampung pada 2032, terlebih di Kabupaten Melawi telah ditemukan cadangan uranium sebanyak 24.112 ton.

Keadilan ekologis: jalan untuk memenuhi kebutuhan manusia Kalbar masa depan

Ekologis merupakan istilah yang dicetuskan oleh ahli biologi asal Jerman bernama Ernst Haeckel pada tahun 1866. Istilah ini merujuk pada suatu ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara makhluk hidup atau organisme dengan lingkungan atau alam semesta yang menjadi ruang hidupnya.

Dalam konteks dunia pasca industri dan pembangunan, ekologi seringkali disandingkan dengan nilai keadilan sebagai prinsip universal yang diakui oleh berbagai ajaran baik agama maupun ideologi politik. Namun nilai ini seakan dianggap tak pernah eksis mengingat sejak memasuki abad 20, manusia berulang kali melakukan peperangan yang tidak hanya membahayakan alam karena pemakaian zat kimia maupun radioaktif sebagaimana pada Perang Dunia 1 dan 2.

Namun juga mengabaikan kemanusiaan yang adil dan beradab. Kombinasi dua istilah ini yaitu Keadilan Ekologis (Ecological Justice) membentuk suatu konsep pemikiran baru tentang pentingnya mewujudkan penghormatan atas alam disamping menggapai pemenuhan Hak Asasi Manusia, konsep ini juga semakin sering dibicarakan khususnya sejak COP 21 usai dilaksanakan di Paris, Perancis pada tahun 2015.

Dalam konteks Kalbar yang sedang aktif membangun, perjuangan untuk mewujudkan keadilan ekologis telah hadir namun tidak sepenuhnya terpenuhi, perampasan atas ruang hidup rakyat demi pemenuhan hajat hidup kelas berkuasa terus berlangsung.

Dari berbagai kasus yang mengemuka dua diantaranya seringkali dibicarakan setiap aksi Hari Tani Nasional pada 24 September maupun Hari Buruh pada 1 Mei, yaitu kasus Konflik Agraria antara PT Sintang Raya dengan Masyarakat Seruat Dua di Kabupaten Kubu Raya yang telah berlangsung sejak tahun 2003.

Kasus kedua yakni deforestasi yang dilakukan oleh PT Mayawana Persada sejak tahun 2016 yang menggerus habis kawasan hutan seluas  42.500 Ha atau 4 kali luas Kota Pontianak, yang tidak hanya merampas habitat satwa liar di Kabupaten Kayong Utara tapi juga ikut merenggut Hutan Adat Dayak Kualan di Kabupaten Ketapang. Kasus ini kembali menuai reaksi publik setelah Ketua Adat Dayak Kualan di Dusun Lelayang yakni Tarsisius Fendi Sesupi ditangkap secara paksa oleh aparat pada 9 Desember 2025 lalu.

Perampasan ruang hidup satwa dan rakyat secara tidak langsung menciderai budaya asli  masyarakat Kalbar karena bukankah etnis Dayak di wilayah Ketapang memiliki semboyan Kerosik mulo tumbuh tanah mulo menjadi, hidup dikandung adat, mati dikandung tanah, yang menggambarkan pemahaman bahwa adat dapat dianalogikan sebagai tanah atau alam tempat makhluk tumbuh berpijak, namun atas nama pembangunan mengejar ketertinggalan alam ikut dikorbankan.

Demikian pula orang melayu yang memiliki motif pucuk rebung sebagai motif kain tenun melayu yang menggambarkan harapan baik atau cita-cita luhur. Apakah luhur ketika pembangunan pada akhirnya mengabaikan fungsi alam dan membungkam masyarakat?

Pada akhirnya pembangunan terus berlangsung. Demikian pula perjuangan mewujudkan keadilan ekologis belum selesai. Hanya sang waktu yang akan menjawab siapa yang akan lebih dahulu menggapai garis final. (*)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *