KEJAHATAN jalanan remaja kembali menjadi perbincangan di Yogyakarta. Selain menjadi sorotan media dan masyarakat, persoalan ini juga berisiko mengganggu citra Yogyakarta sebagai kota pelajar. Meski pelaku kejahatan jalanan remaja telah ditangkap dan diamankan, perlu dicari akar masalah guna merumuskan langkah antisipatif terjadinya hal serupa di masa mendatang.
Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Wilayah V DIY memandang perlu setiap elemen masyarakat untuk berkontribusi dan berupaya dalam penanganan kasus kejahatan jalanan remaja yang terjadi.
Ada beberapa perspektif penting yang perlu dikaji untuk dapat merumuskan solusi yang tepat dan berkelanjutan. Antara lain perspektif psikologis, sosial, keamanan, dan kepemerintahan, demi menciptakan lingkungan masyarakat Yogyakarta yang terbebas dari tindak kriminal, serta mengembalikan identitas Yogyakarta sebagai kota pelajar yang aman.
Permasalahan dan Upaya Penanganan Fenomena kekerasan jalanan remaja bukanlah hal baru yang terjadi di tengah masyarakat. Meski begitu, permasalahan ini menjadi semakin serius dibicarakan ketika menjadi permasalahan berkepanjangan dengan jumlah korban yang terus meningkat. Yang perlu menjadi perhatian bukan hanya upaya penanganan kasus yang terjadi, namun juga perlu untuk melihat lebih dalam pada akar permasalahan ini. Dan yang lebih penting, perlu ada sudut pandang dari berbagai sisi untuk menganalisis penyebab munculnya permasalahan tersebut, sehingga mampu membantu memahami kondisi ini secara lebih komprehensif.
Dinas Sosial Provinsi DIY menegaskan bahwa penyebab anak melakukan kenakalan antara lain meliputi masalah keluarga, lingkungan pergaulan, ekonomi dan perkembangan teknologi, dan internal para remaja. Perspektif keamanan dan kepolisian juga memiliki pandangan yang sama, bahwa faktor lingkungan baik keluarga maupun sekolah, serta faktor internal remaja menjadi penyebab meningkatnya kejahatan jalanan remaja.
Sementara, analisis sosiologi juga menegaskan bahwa penyebab fenomena ini adalah multifaktor. Pada akhirnya, hal-hal di atas semakin memperbesar perilaku agresif yang muncul pada remaja dan dapat berujung pada peningkatan tindakan kekerasan jalanan remaja itu sendiri.
Meski begitu, tidak berhenti pada hal-hal berkaitan dengan lingkungan sekitar para remaja saja, kita juga perlu melihat lebih jauh terkait dengan tatanan sosial yang ada dalam masyarakat Yogyakarta itu sendiri.
Pertama, kondisi kapitalisme yang membuat banyak kelompok masyarakat yang merasa tersisihkan di tengah pembangunan pesat kota Yogyakarta. Kedua, masih minimnya ruang publik untuk berekspresi, dan semakin meningkatnya ruang ekspresi yang menjadi area privat yang berbayar yang membuat jalanan menjadi ruang tak berbayar untuk berekspresi. Ketiga, fenomena pembangunan yang terjadi justru meningkatkan situasi kota Yogyakarta yang individualis, egois, permisif, dan minim kontrol terkait implementasi nilai dan norma. Keempat, dengan berbagai perkembangan di atas, menjadikan Yogyakarta sebagai kota potensial untuk peredaran narkoba, yang mendorong peningkatan tindakan kekerasan jalanan remaja tersebut.
Kondisi sosial di atas tentu saja juga akan berdampak kuat terhadap perkembangan psikologis remaja. Kondisi tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung akan menjadi pemicu motivasi kekerasan jalanan remaja. Motivasi tersebut berakar dari dorongan, kebutuhan, dan motif yang muncul dari kondisi sosial yang mempengaruhi para remaja, yang mana menciptakan standar atau hambatan upaya dalam mencapainya.
Hal ini pada akhirnya akan menimbulkan rasa frustasi yang kemudian dapat mengarah ke agresi, yang kemudian direfleksikan dalam perilaku kekerasan jalanan yang dilakukan oleh para remaja tersebut. Perspektif psikologis juga menegaskan bahwa pelaku kejahatan remaja telah mengarah ke gangguan psikologis, misal kepribadian anti sosial, reaksi simptom khusus, atau bahkan gangguan neurotik (kecemasan) yang menyebabkan perilaku kejahatan tersebut dilakukan.
Dalam menyikapi fenomena kejahatan jalanan remaja, berbagai strategi telah dilaksanakan. Pemerintah melalui Dinas Sosial misalnya, telah melakukan kebijakan penanganan kenakalan remaja dan anak berhadapan dengan hukum yang dikelompokkan ke dalam tiga hal, yaitu preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Preventif meliputi sosialisasi dan koordinasi serta penguatan ketahanan keluarga. Sebanyak 98 persen kejahatan jalanan remaja berawal dari masalah dalam keluarga. Kuratif meliputi perubahan lingkungan, peran psikolog, serta lembaga konseling.
Sementara rehabilitatif dilakukan dengan melibatkan Balai Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Remaja serta Balai Rehabilitasi Sosial dan Pengasuhan Anak.
Sementara pihak Polda DIY juga telah melaksanakan berbagai strategi penanganan. Antara lain melakukan koordinasi dengan berbagai instansi, focus group discussion, penempatan dan pengawasan oleh aparat di berbagai sekolah, pelaksanaan lokakarya, penyuluhan, dan pendidikan karakter bagi generasi muda, serta patroli dan razia di berbagai sekolah maupun tempat wisata.
Meskipun demikian, melihat fenomena kejahatan jalanan remaja yang masih terjadi, maka perlu diperhatikan pentingnya keterlibatan berbagai aktor yang memiliki peran masing-masing dalam mengatasi permasalahan ini. 2 Rekomendasi Rekomendasi disusun untuk setiap aktor terkait, yaitu:
1. Pemerintah daerah. Perluasan ruang publik untuk berekspresi secara proporsional, penciptaan ruang lindung budaya dengan membuka panggung kreativitas dan ekspresi seni budaya, pengembalian tata ruang Yogyakarta yang berhati nyaman, termasuk dengan memperbanyak ruang perjumpaan warga dan penguatan koordinasi antarlembaga pemerintah terkait untuk penanganan kasus kejahatan jalanan
2. Aparat keamanan. Pelaksanaan koordinasi secara luas dengan pihak pemerintah dan masyarakat guna mengakomodasi ruang publik untuk berekspresi secara proporsional, penguatan peran bintara pembina desa (babinsa) dalam memantau lapangan dan bekerja sama dengan beragam pihak, termasuk pemerintah desa, sekolah, dan kampus, penertiban secara konsisten kegaduhan yang diakibatkan oleh suara kendaraan bermotor yang mengganggu ketenangan umum serta memicu konflik. Kemudian, pemetaan potensi kenakalan remaja berbasis wilayah (seperti merah, oranye, kuning, hijau) untuk memudahkan pemantauan dan penanganan
3. Institusi pendidikan. Penguatan sekolah agar menjadi institusi pendidikan ramah anak, penutupan ruang untuk tumbuh dan berkembangnya geng berbasis sekolah, penguatan pemahaman tata nilai-nilai budaya Yogyakarta di perguruan tinggi di mana budaya lokal menjadi basis pendidikan karakter bagi generasi muda.
Kemudian, perguruan tinggi dalam mengadakan kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang melibatkan pelajar atau remaja dengan kegiatan positif.
4. Keluarga. Pengembalian fungsi sosial keluarga dan ketahanan keluarga, pencegahan kekerasan dari orang tua terhadap anak, penguatan komunikasi di dalam keluarga dalam memenuhi berbagai kebutuhan bagi anak, seperti kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan cinta dan memiliki, kebutuhan akan penghargaan, dan kebutuhan aktualisasi diri. Lebih terbuka untuk bekerja sama bersama aparat maupun pemerintah untuk mendorong rehabilitasi ataupun solusi lainnya apabila terdapat anggota keluarga yang terlibat kejahatan jalanan sehingga penanganan dapat lebih cepat dilakukan.
5. Kelompok masyarakat. Penguatan lingkungan dan norma sosial yang kondusif, termasuk institusi keagamaan, seperti masjid dan gereja, penggunaan pendekatan yang mengedepankan nilai psikologis pelaku, penghindaran penggunaan istilah klithih untuk merujuk kenakalan atau kejahatan jalanan remaja, supaya istilah klithih kembali menyandang arti aslinya, yaitu aktivitas seseorang atau sekelompok orang di luar rumah. Pelaporan setiap potensi gangguan ketertiban publik kepada aparat untuk segera mendapatkan respons.
Media massa a. Pengemasan berita kekerasan yang tidak mengundang orang untuk meniru atau melakukan kekerasan serupa. (Materi yang disampaikan dalam diskusi publik yang diadakan APTISI Wilayah V dengan tema Yogyakarta Kota Pelajar: Merumuskan Solusi Kejahatan Jalanan Remaja di Kampus STIPRAM/Sekolah Tinggi Pariwisata Ambarrukmo Yogyakarta, 18 April 2022)
There is no ads to display, Please add some