Dekan FH Unpar: Hukuman Mati Nir Keadilan

beritabernas.com – Dekan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangna (Unpar) Bandung Dr.iur Liona Nanang Supriatna SH M.Hum menilai hukuman mati terhadap kasus-kasus pembunuhan berencana, teroris, narkoba atau korupsi nir keadilan.

Secara juridis formal, menurut Dekan FH Unpar lulusan Fachbereich Rechtswissenschaft der Justus Liebig Universität Gießen, Jerman ini, pidana mati (dood straf) yang diberlakukan di Hindia Belanda (Indonesia) pada 1 Januari 1918 adalah peninggalan Penjajahan Hindia Belanda.

Pemberlakuan pidana mati di Indonesia berdasarkan asas Konkordasi ternyata tidak konsisten dengan KUHPidana Belanda itu sendiri. Sebab, Pemerintah Hindia Belanda memanipulasi hukuman mati, karena sejak tahun 1870 hukuman mati untuk masyarakat sipil ternyata telah dihapuskan dan bagi kalangan militer baru pada tahun 1983.

“Hukuman mati tetap diberlakukan di Hindia Belanda oleh penjajah sebagai dasar hukum untuk menghukum mati para pejuang Indonesia yang menentang penjajahan Belanda,” kat Liona, yang juga Alumni Lemhannas RI Angkatan 58, dalam siaran pers yang diterima beritabernas.com, Kamis 16 Pebruari 2023.

BACA JUGA:

Menurut President The Best Lawyers Club Indonesia (BLCI) ini, dalam masyarakat modern dan dalam berbagai literatur terkini bahkan dalam KUHPidana baru, pidana mati dikeluarkan dari pidana pokok.

Dalam KUHPidana baru, tujuan pemidanaan bagi pelaku tindak pidana tidak lagi semata-mata untuk balas dendam terhadap kejahatan yang dilakukan, melainkan mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi perrlindungan dan pengayoman masyarakat, memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan dan pembimbingan.

Hal ini dilakukn agar menjadi orang yang baik dan berguna, menyelesaikan konflik yang ditimbulkan akibat tindak pidana, memulihkan keseimbangan serta mendatangkan rasa aman dan damai dalam masyarakat, menumbuhkan rasa penyesalan dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk merendahkan martabat manusia, jika terpidana dihukum mati maka tujuan-tujuan pemidanaan di atas tidak akan pernah tercapai. 

Menurut Liona, pidana mati menimbulkan persoalan tersendiri jika ditinjau dari beberapa hal. Pertama UUD NRI 1945, khususnya Pasal 28 I ayat 1 yang menegaskan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam kedaan apapun.

Kedua, UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 4 secara tegas menyatakan hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.

Dalam konteks hak asasi manusia, menurut Dewan Penasihat DPP ISKA dan Lawyers Social Indonesia (Lysoi) ini, kedua pasal tersebut termasuk pada non-derogable rights (hak yang tidak bisa dikesampingkan atau ditawar lagi). Yakni hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun termasuk dalam keadaan perang, sengketa bersenjata dan atau dalam keadaan darurat.

Ketiga, UU Nomor 2 tahun 2022 tentang Pemasyarakatan, hukuman mati mengakibatkan tujuan dan fungsi dari pemasyarakatan tidak berguna, sementara pemasyarakatan bertujuan meningkatkan kualitas kepribadian dan kemandirian warga binaan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat. (lip)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *