Ada Ketidaklaziman Pembentukan UU Secara Cepat di Masa Pemerintahan Presiden Joko Widodo

beritabernas.com – Di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tahun 2019 hingga 2024 terdapat praktik pembentukan undang-undang secara cepat pada sistem legislasi di Indonesia. Setidaknya ada 10 undang-undang sebagai sampel pembentukan UU cecara cepat tersebut.

Ketidaklaziman dalam pembentukan undang-undang secara cepat tersebut dimulai dari tahapan maupun waktu yang normal. Karena itu, perlu penyusunan regulasi yang mengatur tentang pembentukan undang-undang secara cepat (Fast Track Legislation). Untuk itu, pemerintah dan DPR perlu merumuskan dan mengesahkan regulasi yang secara eksplisit mengatur mekanisme Fast Track Legislation dalam sistem legislasi nasional.

“Regulasi ini harus memberikan kejelasan mengenai konsep, prosedur, jangka waktu, kriteria dan batasan penggunaan mekanisme pembentukan undang-undang secara cepat agar tidak terjadi penyalahgunaan dalam implementasinya. Adapun pengaturan pembentukan undang-undang secara cepat (Fast Track Legislation) dapat diatur dalam Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,” kata Dian Kus Pratiwi SH MH, Dosen FH UII, dalam ujian promosi Doktor di Auditorium Lantai 4 Gedung FH UII pada Senin 17 November 2025.

Dalam disertai berjudul Pembentukan Undang-undang Secara Cepat dalam Sistem Legislasi di Indonesia pada Masa Pemerintahan Joko Widodo yang dipertanggungjawabkan di hadapan Tim Penguji yang diketuai Prof Fathul Wahid ST MSc PhD (Rektor UII/ Ketua Sidang) dengan Promotor Prof Dr Ni’matul Huda SH M.Hum dan Co-Promotor Dr Idul Rishan SH LLM, Dian Kus Pratiwi juga menyarankan agar perlu diatur jangka waktu pembentukan undang-undang secara normal dalam sistem legislasi di Indonesia.

Hal ini dapat dilakukan dalam Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan maupun Standar Operasional Prosedur yang lebih jelas. Rentang jangka waktu pembentukan undang-undang secara normal selain digunakan untuk membedakan penggunaan mekanisme pembentukan undang-undang secara cepat (Fast Track Legislation) namun juga sebagai acuan dalam mencapai target legislasi di Indonesia.

Dian Kus Pratiwi SH MH, Dosen FH UII (baju putih) bersama tim penguji. Foto: Philipus Jehamun/beritabernas.com

“Optimaliasasi peran serta DPD, Tenaga Pakar (Akademisi maupun Profesional) dan Masyarakat (LSM, Ormas maupun masyarakat umum) sangat diperlukan dalam pembentukan undang-undang agar kualitas legislasi lebih baik,” kata Dian Kus Pratiwi.

Urgensi

Menurut Dian Kus Pratiwi, pembentukan undang-undang secara cepat pada masa pemerintahan Joko Widodo memiliki urgensi dan kecenderungan politik hukum yang sama terkait materi muatan undang-undang.

Kesamaan urgensi dan kecenderungan politik hukum terkait materi muatan undang-undang yang dibentuk secara cepat dimaksudkan untuk melakukan penataan dan penguatan kelembagaan dan/ atau struktur ketatanegaraan, b. mendukung kebijakan strategis nasional.

Selain itu, untuk. peningkatan ekonomi dan ivestasi, dan d. sebagai tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi. Lebih lanjut terhadap politik hukum undang-undang yang dibentuk, DPR dan Presiden memiliki kehendak politik yang sama. Kehendak politik yang sama inilah yang mempengaruhi kecepatan pembentukan undang-undang.

Dalam pembentukan undang-undang secara cepat yang dilakukan pada kondisi normal, mekanisme
pembentukan antara lain melalui mekanisme Prolegnas Daftar Kumulatif Terbuka, carry over dan RUU yang diusulkan di luar Prolegnas. Selain itu, pembentukan undang-undang secara cepat dilakukan dalam masa lame duck session.

“Ddari praktik pembentukan undangundang secara cepat pada masa pemerintahan Joko Widodo terdapat ketidaksesuaiaan dengan tata cara dan prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan. Hal inilah yang kemudian berpengaruh terhadap kualitas legislasi yang dihasilkan,” kata Dian Kus Pratiwi.

Menurut Dian Kus Pratiwi, urgensi pengadopsian mekanisme pembentukan undang-undang secara cepat dalam sistem legislasi di Indonesia saat ini didasarkan pada alasan bahwa praktik pembentukan undang-undang secara cepat di Indonesia pada masa pemerintahan Joko Widodo menimbulkan problematika baik berupa munculnya dominasi kekuasaan presiden dalam pembentukan undang-undang maupun praktik oligarkhi dan otoritarianisme dalam praktik pembentukan undang-undang secara cepat di Indonesia.

Baca juga:

Dominasi kekuasaan presiden di bidang legislatif (president’s legislative power) masih ada meski kekuasaan pembentukan undang-undang telah bergeser kepada DPR. Adapun keterlibatan oligarki diindikasikan dengan adanya dominasi sekelompok kecil elit politik dan ekonomi dalam pengambilan keputusan, pengaruh besar modal dalam dunia politik dan upaya mempertahankan status quo dan agenda kepentingan kelompok tertentu, termasuk dengan undang-undang yang dibentuk tersebut dapat menguntungkan sekelompok tertentu.

Sedangkan otoritarianisme terlihat dari terpenuhinya indikator-indikator kemunduran demokrasi meliputi 1) penolakan atau komitmen lemah terhadap aturan main demokrasi; 2) menyangkal legitimasi lawan politik; 3), adanya tolenransi atas anjuran kekerasan; 4) kesediaan membatasi kebebasan sipil lawan termasuk media; 5) tidak bekerjanya sistem check and balances dalam penyelenggaraan negara khususnya berkaitan dengan pembentukan undang-undang; dan 6) meningkatnya produk undang-undang yang dibentuk secara cepat ditangani Mahkamah Konstitusi.

Urgensi pengadopsian pembentukan undang-undang secara cepat sebagai bagian melaksanakan pembangunan sistem hukum di Indonesia dari aspek struktur, subtansi, dan budaya hukum. Pembentukan undang-undang secara cepat diorientasikan untuk dapat a) memberikan kepastian hukum;
b) keadilan; c) menjamin dan melindungi HAM; d) menjawab kebutuhan hukum di masyarakat; dan d) menciptakan efektifitas dan efisiensi legislasi.

Dengan praktik dan dan alasan pengadopsian pembentukan undang-undang secara cepat sebagaimana telah diuraikan dan ketiadaan pengaturan dalam sistem legislasi di Indonesia, maka memerlukan konsep pengadopsian pembentukan undang-undang secara cepat dalam sistem legislasi di Indonesia yang lebih baik.

Dian Kus Pratiwi SH MH, Dosen FH UII (baju putih) bersama tim penguji. Foto: Philipus Jehamun/beritabernas.com

Konsep pengadopsian mekanisme pembentukan undangundang secara cepatdalam sistem legislasi di Indonesia perlu memperhatikan dua aspek penting, pertama, perlu adanya pengaturan yang tegas terkait pembentukan undang-undang secara cepat dalam sistem legislasi di Indonesia termasuk jangka waktu pembentukan undang-undang secara cepat.

Kedua, perlu penetapan kriteria pembentukan undang-undang secara cepat dalam sistem legislasi di Indonesia. Lebih lanjut dalam pengadopsianya terdapat kriteria materiil materi muatan dalam pembentukan pembentukan undang-undang secara cepat yakni; 1) merespon situasi mendesak khususnya dalam Pasal 23 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2019; 2) menindaklanjuti RUU Carry Over; 3) menindaklanjuti putusan MK; 4) merespon perubahan RUU APBN; 5) tindak lanjut perjanjian international; dan 6) merespon kebutuhan mendesak di daerah.

Adapun kriteria formil dalam penggunaan mekansime pembentukan undangundang secara cepat meliputi Fast Track Legislation dalam Pembentukan Undang-Undang Carry Over; terdapat uji publik dan partisipasi masyarakat dalam pembentukan undang-undang secara cepat di Indonesia; pembatasan penggunaan Fast Track Legislation pada undang-undang Omnibus Law; pembatasan Fast Track Legislation dalam masa Lame Duck Session; pembatasan sunset clause terhadap undang-undang yang dibentuk dengan Fast Track Legislation.

Sedangkan aspek materiil dalam undang-undang yang dibentuk melalui Fast Track Legislation dapat berupa RUU untuk merespon situasi mendesak melalui legislasi cepat sebagai bagian pelaksanaan Pasal 23 UU No. 15 Tahun 2019 (keadaan luar biasa, keadaan konflik, keadaan bencana alam, dan keadaan lainya); RUU dalam rangka menindaklanjuti proses pembentukan undang-undang carry over yang tidak selesai diperiode sebelumnya, dan dapat menjadi prioritas diselesaikan pada periode selanjutnya dengan Fast Track Legislation; RUU untuk menindaklanjuti putusan pengadilan (Mahkamah Konstitusi), sehingga diperlukan pembentukan undangundang jalur cepat; RUU dalam rangka merespon isu/krisis di Masyarakat; RUU dalam rangka merespon perubahan rancanan undang-undang APBN; RUU dalam rangka merespon perjanjian internasional; maupun RUU dalam rangka merespon kebutuhan mendesak masyarakat di daerah. (phj)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *