Bahaya Bus Bodong Seperti Odong-odong

 Oleh: Dr KRMT Roy Suryo 

beritabernas.com – Bus Bodong? Odong-odong? Ya, keduanya 11-12 alias hampir sama saja alias sama-sama illegal dan tak lain jalan. Kita tentu sering mendengar kendaraan yang dimodifikasi menjadi sejenis kereta-keretaan di pelosok-pelosok kampung guna mengangkut rombongan, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa tersebut.

Biasanya dibuat dari kendaraan niaga biasa, misalnya Suzuki Carry atau Toyota Kijang yang diambil sasis dan mesin, kemudian dikaroseri menjadi seperti lokomotif dan diberi gandengan yang berisi kereta penumpang.

Tak heran bahwa seringkali kendaraan yang tidak mendapatkan lolos SRUT (Sistem Registrasi Uji Type) bahkan sudah tidak hidup juga STNK dan BPKB-nya, karena sebenarnya juga sudah melanggar peruntukan jenis dan bentuk, tidak sesuai juga dengan VIN (Vehicle Identification Number)-nya. Aslinya terkadang jenis Pick-Up untuk angkutan barang, namun setelah dimodifikasi jadi “kereta api” untuk menarik gerbong berisi manusia, benar-benar salah kaprah dan membahayakan.

Spesifikasi teknis mulai kekuatan mesin (HP/ DK) tidak sesuai lagi, termasuk kapasitas rem yang sudah tidak memadai apalagi untuk kondisi mendadak yang membutuhkan jarak pengereman panjang, sangat beresiko tinggi fatal akibatnya.

Kita tentu masih ingat peristiwa dimana sebanyak 13 orang terluka, Alhamdulillah tidak sampai terjadi korban jiwa, akibat kecelakaan lalu lintas yang melibatkan 2 Odong-odong dengan sebuah truk boks di Jalan Pantura, Kecamatan Banyuputih, Kabupaten Batang, Jawa Tengah belum lama ini, tepatnya pada hari Jumat 22 Maret 2024 lalu. Nekadnya lagi 2 Odong-odong tersebut diberi “Nopol” B-1519-WT dan B-1022-TV yang tentu saja pasti tidak akan terbaca jenis kendaraan “Odong-odong” di STNK atau BPKB-nya, karena tidak pernah dikenal VIN apalagi SUT untuk jenis modifikasi kendaraan tersebut.

BACA JUGA:

Istilah Odong-odong sendiri sebenarnya bukan untuk peruntukan di Jalan raya, karena awalnya mobil-mobilan ini hanya menjadi bagian dari komidi putar (di luar dikenal dgn “Merry Go-Round” yang awalnya dulu bahkan mobilnya berbentuk Kereta Salju yang seolah-olah ditarik oleh kijang-kijang dan “berputar” berkeliling).

Dalam perkembangannya kijang-kijang dan kereta salju ini diubah menjadi mobil-mobilan kecil dan dirangkai, sampai akhirnya “ditarik keluar” dan mengelilingi arena Pasar Seni atau Pasar Malam tertentu. Kini tidak mesti ada pasar malam, Odong-odong ini menjadi alat transportasi dalam kampung dan bahkan meluas antar kampung, sampai-sampai juga dikenal istilah AKAP juga, namun kepanjangannya “Antar Kampung Antar Perumahan”.

Oleh sebab itu dikesempatan ini saya juga mendesak agar aparat menertibkan Odong-odong yang “keluar kandang” tersebut dan bahkan sampai ke Jalan raya yang bisa berakibat kecelakaan dengan kendaraan lain yang memang diberi izin untuk di jalan raya seperti di Batang tempo hari itu.

Odong-odong bolehlah tetap beroperasi untuk hiburan masyarakat, namun hanya khusus di area tempat hiburan tertentu atau zona terbatas, sehingga tidak ada yg dirugikan (pengusaha Odong-odong tetap bisa menjalankan bisnisnya menghibur rakyat, masyarakat tetap senang dan bahagia, namun pengguna jalan raya tidak terganggu jenis kendaraan yang tidak semestinya tersebut).

Terus apa hubungannya antara Odong-odong yang jelas-jelas bukan untuk jalan raya dengan Bus Pariwisata Hyno jenis AK1/RKA yang bernama “Putera Fajar” dan memiliki Nopol AD-7524-OG yang baru saja kecelakaan di Subang yang mengakibatkan hilangnya 11 nyawa yang tidak seharusnya itu? Bukankah seharusnya bus pariwisata memiliki surat-surat lengkap dan izin trayek sesuai aturan hukumnya? Inilah masalahnya. Karena-maaf-meski tidak bisa disamakan 100% namun antara Odong-odong yang banyak melakukan pelanggaran izin dan Bus Putera Fajar ini bisa disebut “11-12” sebagaimana statemen saya di paragraf pertama di atas, Beti alias beda-beda tipis saja.

Sebab ternyata bus yang semalam dikemudikan oleh Sudir -yg katanya sudah berpengalaman 28 tahun menjadi sopir bus semenjak 1996 tersebut dimiliki oleh PT Jaya Guna Hage yg beralamatkan di Ngebrak Kidul RT2/RW2 Giriwoyo Wonogiri, namun SRUT-nya sudah habis semenjak tahun lalu, tepatnya semenjak 6 Desember 2023 karena terakhir diuji adalah enam bulan sebelumnya alias 6 Juni 2023.

Meski resmi memiliki No SRUT 551 dan saat uji terdaftar dengan Nomor PBR51043 sesuai keterangan dari Unit Pelaksana Uji Berkala Kendaraan Bermotor Dishub Kabupaten Wonogiri, namun sebenarnya bus yang sekilas tampak modern tersebut ternyata adalah bus produksi tahun 2006 alias sudah berusia 18 tahun sejak awal digunakannya.

Apalagi sesuai keterangan awal sopir bus bernama Sudira pasca kecelakaan Minggu 12 Mei 2024) sekitar pukul 09.00 dari RSUD Subang saat diwawancarai langsung secara Live oleh salahsatu TV nasional, dia mengatakan bahwa Rem Bus terasa “dalam” ketika digunakan sejak berangkat dan diperbaiki oleh Mekanik lapangan yg ditemuinya di seputaran Tempat wisata Pelabuhan Ratu.

Secara teknis rem yang “dalam” ini biasanya diakibatkan oleh karena kampas rem yang mulai tipis atau bahkan sudah mengikis piringan (cakram)-nya, sehingga upaya mekanik untuk “menaikkan” level pedal rem tersebut sebenarnya adalah cukup beresiko bila tidak diperiksa lebih jauh kondisi ketebalan kampas rem dan cakram yang ada, sebab bisa-bisa karena kampas sudah habis maka akan terjadi adu besi antara bantalan kampas dan cakram yang berbahaya sekali sebenarnya.

Namun sebenarnya selain keterangan dari sopir bus tersebut, penting juga disimak beberapa keterangan dari para saksi mata diseputaran TKP Masjid Saadah, Ciater, Jalan Raya Subang-Bandung sebelumnya, dimana banyak yang mengatakan bahwa bus meluncur kencang hanya menggunakan lampu hazard (?) tanpa terlihat upaya pengereman.

Hal ini bisa terjadi bilamana mesin memang sudah mati maka fungsi rem sama saja akan lumpuh, karena kompresi dan hidrolis oli rem dari master/ booster rem ke kampas-kampas rem yang terletak di tiap roda menjadi tidak mengalir. Sama saja hal tersebut adalah situasi yang sangat berbahaya karena praktis bus sudah tidak akan bisa dillambatkan jalannya, kecuali sopir sempat memasukkan gigi rendah dan-atau menarik tuas rem tangan, namun kalau sudah meluncur cepat (dan panik) akibatnya tidak terkendali.

At last but not least, antara Odong-odong dan Bus Putera Fajar ini akhirnya menjadi sama “status”-nya, yakni membahayakan masyarakat penumpangnya. Pemerintah harus lebih tegas menertibkan angkutan umum ini semua, jangan hanya kesalahan ditimpakan kepada sopir semata.

Pemilik bus juga harus bertanggungjawab akan ketidaktertiban surat-surat dan administrasi kendaraan yang dia bisniskan tersebut, apalagi kalau ternyata ada “kong kali kong” antara penyedia jasa dengan penyewa yg tidak seharusnya terjadi.

Nyawa manusia jauh lebih penting dari keuntungan semata, sama seperti kejujuran dan etika jauh lebih mulia dari kemenangan kalau hal tersebut diperoleh dari hasil kecurangan sebagaimana yang barusan ditunjukkan di depan mata dan celakanya malah menggunakan teknologi (Sirekap) yang tidak seharusnya disalahgunakan untuk kejahatan dan masyarakat semua yang jadi korbannya. (Dr KRMT Roy Suryo, Pemerhati Telematika, Multimedia, AI dan OCB sekaligus Pembina & Penasehat beberapa Organisasi Otomotif seperti PPMKI (Perhimpunan Penggemar Mobil Kuno Indonesia), Mercedes-Benz dan TBN (Touring Bela Negara).


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *