Bangkrutnya Ekonomi Desa, Korban Permainan Economic Hit Man

Oleh Ben Senang Galus, Pemerhati Desa, tinggal di Yogyakarta

beritabernas.com – Memajukan perekonomian di desa adalah tugas yang sangat penting. Hal ini dikarenakan mayoritas penduduk Indonesia adalah masyarakat pedesaan. Dalam memutar roda perekonomian, jelas ada perbedaan yang jauh antara masyarakat desa dengan masyarakat kota. Ekonomi masyarakat desa ditopang oleh beberapa sektor pendapatan. Semua sektor inilah yang harus ditingkatkan agar ekonomi masyarakat desa bisa maju dan berkembang.

Agar semua sumber daya ekonomi desa bisa bergerak, maka pemerintah mengeluarkan kebijakan pendanaan desa melalui Dana Desa (Village Funds). Setiap desa mendapat kucuran dana ratusan juta rupiah sampai 1 miliar rupiah. Dana ini  merupakan salah satu program pemerintah yang bertujuan untuk mempercepat pembangunan desa dan mengurangi kesenjangan pembangunan antara desa dan kota.

Sejak diperkenalkan, Dana Desa telah memainkan peran penting dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa melalui berbagai program pembangunan dan pemberdayaan, mengembangkan potensi ekonomi lokal, mendukung usaha kecil dan menengah (UMKM) serta menciptakan lapangan kerja di desa.

Yang menjadi persoalan adalah kepala desa atau aparat desa tidak memiliki kemampuan menyusun program kerja dan mengelola keuangan desa secara optimal. Karena kepala desa atau aparat desa tidak memiliki kemampuan menyusun rencana kerja atau rencana induk pembangunan desa, mengelola keuangan desa, termasuk menyusun akuntasi pertanggungjawaban keuangan desa, maka institusi supra desa selaku atasan desa mengambil alih penyusunan program kerja, membantu penyusunan anggaran desa dan sekaligus menyusun akuntansi pertanggungjawaban keuangan desa.

Hampir semua kepala desa atau aparat desa rata-rata tamat sekolah dasar, secara intelektual tidak memiliki kapasitas mengelola program dan keuangan desa. Di sinilah pintu masuk aparat supra desa mempermainkan desa atau aparat desa, dengan pengalamannya mengelola keuangan daerah.  Jika keuangan desa tidak dikelola secara tepat dan tertib administrasi, maka dapat menyebabkan kegagalan program pemerintah dan akan berhubungan dengan permasalahan hokum. Sehingga tujuan untuk menyejahterakan masyarakat tidak akan tercapai.

BACA JUGA:

Jika terjadi kegagalan Dalam pengelolaan keuangan desa, maka risiko kepala desa berhubungan dengan hukum, karena dituduh melakuka korupsi. Sementara aparat supra desa “cuci tangan”, karena dianggap bukan sebagai kuasa pemegang anggaran. Di sinilah awal mulanya bangkrutnya (ekonomi) desa.

Ekonomi tangan kotor

Bangkrutnya desa atau ekonomi desa, selain karena permainan aparat supra desa, juga  karena korban permainan economic hit man atau yang diplesetkan ekonomi tangan kotor, baik itu supra desa maupun pengusaha yang menjadi kaki tangan supra desa. Pemerintah pusat yang kelihatannya “baik” mengucurkan dana ke desa, malah menjadikan desa sebagai korban permainan tangan kotor. Dana desa melumpuhkan desa itu sendiri, karena banyak faktor yang terlibat di dalamnya.

Dalam buku Confessions of an Economic hit Man (2004), John Perkin mengatakan: The debtor nation is a servant of the corporatocracy… we have a global empire today, and it is not an American empire. It is not a national empire… It is a corporate empire, and big corporations rule. Villages do not rule over the power of the corporatocracy, artinya negara yang berutang adalah pelayan korporatokrasi… saat ini kita memiliki kekaisaran global, dan itu bukan kekaisaran Amerika. Ini bukan kerajaan nasional… Ini adalah kekaisaran korporat, dan perusahaan-perusahaan besar berkuasa. Desa tidak berkuasa atas kekuatan korporatokrasi. 

Selama ini desa terjebak dalam pemikiran korporatokrasi   dan kawan-kawannya membuat kamuflase dengan menyebut perekonomian desa tumbuh baik. Hal itu yang dijual ke politisi-politisi negara target, namun yang sebenarnya terjadi yang kaya semakin kaya dan kesenjangan makin luas.

Negara-negara yang menjadi targetnya adalah desa-desa yang memiliki sumber kekayaan alam melimpah, kaya minyak, mineral dan sebagainya. Negara yang berutang akan mengadopsi kebijakan IMF cs, seperti perusahaan utilitas milik publik, air, transportasi, kepada perusahaan-perusahaan besar, demi melegitmasi desa.

Korporatokrasi desa merujuk kepada sebuah kekaisaran global yang dibangun oleh tiga pilar yaitu korporasi, perbankan, dan pemerintahan. Berbagai korporasi besar, bank dan pemerintahan bergabung menyatukan kekuatan finansial dan politiknya untuk memaksakan masyarakat dunia mengikuti kehendak mereka.

Lalu apakah dengan korporatokrasi   dan melihat kondisi desa-desa di Indonesia saat ini akan menjadi collapse village atau weak village? Adam Smith dalam Nation Wealth, menjawab : we are  quite concerned but there is no need to panic, yang artinyakami cukup khawatir tetapi tidak perlu panik.

Selain resiko secara  filsafat bubarnya suatu  desa yang paling dirasakan oleh masyarakat adalah kemungkinan seperti berikut ini. Dan mungkin ini yang paling dirasakan oleh masyarakat desa, seperti al: 1) Pasar saham akan crash 2). Semua lembaga keuangan akan gagal 3) Program pendanaan pemerintah akan berakhir sehingga tidak ada lagi jaminan bagi masyarakat desa menajdi sejahtera, seperti kesehatan, ekonomi, pendidikan, dukungan infrastruture seperti jalan dan lainnya.

Ketika sebuah desa bangkrut, maka banyak sistem di desa tersebut yang selama ini menjadi ketergantungan rakyatnya hilang. Seperti, penghentian pasokan listrik, penegakan hukum mandek alias tak lagi bekerja,   toko-toko kehabisan stok makanan  4) Pelaku bisnis akan menutup usaha mereka sehingga tidak ada lagi pekerjaan. 5) Ekspor dan produksi sulit 6).Terjadi kerusuhan massal sementara aparat keamanan tidak ada. 7) Setiap orang akan mulai saling melakukan segala cara untuk mendapatkan pasokan makanan 8). Orang kaya akan menguasai desa dan mengubah sistem demokrasi menjadi kediktatoran. 9) Korupsi dana desa merajalela dan justru dilakukan oleh aparat desa yang sebenarnya mempunyai tugas pokok melindungi rakyat, masyarakat, terhadap gangguan korupsi itu.  

Desa dihuni pencari rente

Dhea Apriana (2023), Economic hit man dengan membahasakan dengan sedikit sarkastik sebagai bandit ekonomi. Kita paham bahwasanya diksi bandit difungsikan untuk makna berkonotasi negatif yaitu seseorang yang berperilaku tercela dan cenderung destruktif. Dengan kata lain economic hit man sebagai kaum profesional dengan jaminan gaji tinggi yang bekerja untuk menipu negara-negara di dunia.

Dalam sistem economic hit man, sumber daya ekonomi desa  dimasukkan ke dalam sistem permainan economic hit man. Alhasil, dampak dari tidak bekerjanya ekonomi desa, mau tidak mau harus menyetujui beberapa tekanan politik dari penguasa supra desa yang memberi jaminan bahwa desa akan menjadi sejahtera. Sebenarnya itu hanya sekadar kamuflase desa saja. 

Tekanan politik ini berdampak dalam jangka pendek dan jangka panjang. Dalam jangka pendek berpotensi besar mengakibatkan kesenjangan kekayaan dan dalam jangka panjang berdampak pada lumpuhnya ekonomi suatu desa. Contohnya: penguasaan terhadap sumber daya alam desa. Penguasaan ini diperoleh dengan permulaan penyuntikan dana desa oleh lembaga keuangan pemerintah kepada perusahaan besar yang bersektor di sumber daya alam misalnya batu bara, minyak, dan lain-lain atau bekerja sama kepada penguasa diktator untuk bagi keuntungan. Dengan demikian, pengusaha (sistem economic hit man) masuk dalam kebijakan untuk turut serta menguasai sektor potensial sumber daya desa tersebut.

Desa telah terlalu dihuni oleh pencari rente dan oligark lokal, yang bersindikat dengan perpanjangan tangan Korporatokrasi atau economic hit man, sehingga selain menimbulkan ketidak mampuan secara ekonomi politik, Desa juga mengalami kelumpuhan akut demokrasi, Desa tidak berkembang pesat, inisiatif-inisiatif lokal tidak muncul, stimulan pembiayaan dan kekuatan politik tetap menjadi media yang paling ampuh untuk memaksa partisipasi masyarakat desa dan aktivasi kelembagaan Desa.

Meminjam catat Ade Indriani Zuchri (2024) patron lokal tumbuh subur, masyarakat yang kalah bersaing secara finansial akan secara otomatis berganti peran sebagai klien. Secara etimologis, patron muncul karena kebutuhan para klien untuk mendapatkan upah dari penjualan jasa mereka sebagai buruh.

Sementara patron muncul karena kemunculan tiba-tiba atau terencana yang diciptakan oleh korporatokrasi untuk tetap berkuasa di desa. Seharusnya kemunculan patron pada sebuah negara yang demokratis adalah indikasi kegagalan demokrasi. Perlindungan dan upah yang diberikan oleh patron kepada klien di desa telah menegasikan kewajiban Negara untuk menjamin pemenuhan hak-hak rakyat. Gambaran pedih tentang pola relasi patron dan klien adalah gambaran umum yang berlaku hampir sama pada tipologi kekuasaan, buruknya, beberapa praktik ketidakadilan ini memperoleh dukungan dari negara melalui penguasaan sumber hidup di desa.

Sebagai solusi produktif  memajukan ekonomi desa akan menghasilkan partisipasi yang mampu merubah kebijakan buruk menjadi lebih berpihak ialah meningkatkan kualitas kebijakan yang dibuat tergantung pada seberapa besar keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan di tingkat desa. Tinggal bagaimana kemampuan kreativitas masyarakatnya, desa telah bertransformasi menjadi kelembagaan yang menjanjikan, bermartabat dan membanggakan. 

Meningkatkan akses modal dan pendampingan usaha bagi UMKM desa, meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan, memperkuat Pemerintahan Desa dan partisipasi masyarakat, melestarikan lingkungan hidup. Membangun infrastruktur penunjang ekonomi desa, seperti jalan, jembatan, dan irigasi, mengembangkan pariwisata desa yang berkelanjutan, mendorong inovasi dan pemanfaatan teknologi dalam sektor pertanian, meningkatkan Kualitas Pendidikan dan Kesehatan. (*)


There is no ads to display, Please add some

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *