Oleh: Ronaldo Marten Bauk, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Cokroaminoto Yogyakarta
beritabernas.com – Masyarakat desa di negara ini telah beberapa kali disuguhkan dengan janji manis terkait program peningkatan ekonomi. Salah satu yang paling dibicarakan adalah Kredit Usaha Rakyat (KUR), yang dianggap sebagai solusi untuk meningkatkan kesejahteraan melalui akses modal. Namun, kenyataannya sering kali tidak sesuai harapan.
Alih-alih menjadi penggerak ekonomi mikro, KUR di tingkat desa sering kali mengalami kendala, terhambat oleh birokrasi, persyaratan yang memberatkan atau bahkan tidak pernah terealisasi. Rasa trauma akibat janji-janji KUR yang tak kunjung tiba masih menghantui para pelaku usaha kecil di desa-desa.
Saat ini, di tengah rasa kecewa dan keraguan yang ada, muncul gagasan baru yakni Koperasi Merah Putih di desa. Inisiatif ini diharapkan dapat menjadi harapan di tengah kekecewaan terhadap janji-janji program pemberdayaan yang sebelumnya tidak terbukti. Namun, pertanyaan besar yang mengganggu pikiran adalah apakah Koperasi Merah Putih ini benar-benar menjadi alternatif yang memberdayakan atau hanya sekadar “KUR dengan kemasan baru”?
Kritik yang mendasar harus disampaikan sejak awal. Jangan sampai semangat “Merah Putih” hanya menjadi kedok untuk mengulangi kegagalan yang sudah terjadi di masa lalu. Pengalaman pahit dari KUR yang menjadi pelajaran di masa lalu hanya menjangkau sedikit masyarakat atau bahkan tidak terealisasi di banyak desa, seharusnya menjadi pelajaran penting.
Koperasi Merah Putih tidak boleh terperangkap dalam retorika yang indah tanpa adanya aksi nyata yang jelas dan cara pelaksanaan yang efektif. Kemunculan Koperasi Merah Putih saat banyak orang merasa kecewa ini menciptakan suatu titik penting. Di satu pihak, ia memberikan secercah harapan untuk solusi yang lebih memberdayakan, yang berlandaskan pada prinsip saling bekerja sama dan kepemilikan kolektif. Di pihak lain, adanya kegagalan KUR menimbulkan keraguan yang wajar. Pertanyaan “apakah ini sekadar KUR yang dibungkus ulang?” adalah cerminan dari kewaspadaan masyarakat yang telah sering mengalami kekecewaan.
Pentingnya belajar dari pengalaman sebelumnya. Semangat nasionalisme yang terkandung dalam nama “Merah Putih” tidak boleh dijadikan alasan untuk mengulangi kesalahan yang sama. Kegagalan KUR yang hanya menjangkau sebagian kecil masyarakat atau bahkan tidak terwujud di banyak desa menyoroti isu mengenai keterlibatan dan efektivitas distribusi program.
Dampak jangka panjang
Setiap upaya untuk memberdayakan ekonomi harus mempertimbangkan efek jangka panjangnya. Apakah program seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan inisiatif Koperasi Merah Putih mampu menciptakan kemandirian yang kokoh atau hanya sekadar menawarkan bantuan sesaat yang tidak menyelesaikan masalah mendasar ekonomi di desa?
Sejarah pelaksanaan KUR di berbagai wilayah menunjukkan pola yang mencemaskan. Meskipun awalnya penyaluran dana tampak menumbuhkan geliat ekonomi, keberlanjutannya sering kali diragukan. Banyak usaha mikro yang didirikan dengan KUR tidak bertahan lama, terpuruk oleh persaingan yang ketat, minimnya inovasi, kurangnya keterampilan manajerial, atau bahkan terjebak dalam utang baru. Bantuan modal yang tidak didukung oleh ekosistem yang kuat ibarat oasis di padang pasir yang akan menghilang seiring berjalannya waktu.
Koperasi Merah Putih, sebagai inisiatif yang lebih baru, memiliki kesempatan untuk belajar dari kegagalan KUR. Namun, pertanyaan yang mendasar tetap tidak berubah apakah program ini dikembangkan dengan visi pemberdayaan yang berkelanjutan dan mampu mengatasi akar permasalahan ekonomi di desa?
Masalah yang ada seringkali lebih kompleks daripada sekadar kekurangan dana. Ini mencakup rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan, kurangnya akses ke pasar yang adil, infrastruktur yang minim, rantai pasok yang tidak efisien, serta kurangnya inovasi dan kemampuan beradaptasi terhadap perubahan zaman.
Jika Koperasi Merah Putih hanya berkonsentrasi pada penyaluran modal dengan cara yang berbeda, tanpa menangani masalah struktural yang ada, mungkin dampaknya tidak akan jauh berbeda dengan KUR. Usaha mikro yang dibentuk atau dikembangkan akan terus berjuang untuk bertahan dalam lingkungan ekonomi yang tidak mendukung pertumbuhan jangka panjang.
Pengakuan akan trauma masyarakat desa
Pengakuan terhadap trauma ini sangat penting karena kepercayaan merupakan dasar utama dalam kesuksesan setiap program pemberdayaan. Masyarakat yang merasa dibohongi dan dikhianati oleh janji-janji dari program yang lalu akan cenderung meragukan dan menolak inisiatif baru, termasuk Koperasi Merah Putih. Mereka akan bertanya, “Apakah ini hanya janji manis lainnya yang pada akhirnya akan mengecewakan kami? ” Beban sejarah ini memerlukan pendekatan yang jauh lebih peka dan transparan dari pihak-pihak pengambil keputusan.
Untuk memulihkan kembali kepercayaan yang hilang, program yang baru tidak bisa hanya memberikan skema bantuan yang berbeda semata. Diperlukan komunikasi yang terbuka dan jujur tentang kegagalan di masa lalu, pengakuan terhadap dampak negatifnya terhadap psikologi masyarakat, serta komitmen yang tulus untuk belajar dan menghindari kesalahan yang serupa.
Proses untuk membangun kembali kepercayaan memakan waktu dan membutuhkan bukti nyata berupa tindakan yang konsisten dan berdampak positif
Lebih jauh, “rasa trauma” ini dapat terlihat dalam berbagai cara, seperti ketidakmauan untuk aktif berpartisipasi dalam program baru, keraguan terhadap informasi yang disampaikan, atau bahkan penolakan secara terbuka terhadap inisiatif yang ada. Jika trauma ini tidak dikelola dengan baik, kemungkinan keberhasilan Koperasi Merah Putih, sebaik apa pun rancangannya, akan terhambat sejak awal.
Oleh karena itu, langkah awal yang sangat penting bagi keberhasilan Koperasi Merah Putih adalah membangun kepercayaan dengan masyarakat desa. Ini bisa dilakukan melalui dialog yang mendalam, mendengarkan keluhan dan harapan masyarakat, serta menunjukkan komitmen yang nyata untuk menghadirkan perubahan positif.
Transparansi dalam proses pemilihan penerima manfaat, penyaluran dana, dan mekanisme pengawasan juga sangat penting. Lebih dari sekadar janji, masyarakat desa memerlukan bukti bahwa kali ini, program yang ditawarkan benar-benar bertujuan untuk memberdayakan, bukan hanya untuk mengulangi trauma yang lalu.
Koperasi Merah Putih, dengan semangat kerjasama dan rasa nasionalisme yang kuat, memiliki potensi teoritis untuk mengatasi berbagai kelemahan dalam KUR. Model koperasi yang berbasis anggota dapat menumbuhkan rasa kepemilikan dan partisipasi aktif dari masyarakat, yang memungkinkan pengidentifikasian kebutuhan yang lebih tepat dan solusi yang lebih sesuai konteks. Namun, potensi ini tidak akan berarti apa-apa tanpa adanya perencanaan strategis yang cermat dan penerapan yang teratur.
Salah satu tantangan utama yang perlu dihadapi adalah menciptakan sistem tata kelola koperasi yang jelas dan bertanggung jawab serta menghindari praktik nepotisme yang sering mengganggu lembaga kolektif. Selain itu, pengembangan kapasitas anggota, bukan hanya dalam hal pengelolaan keuangan tetapi juga dalam produksi, pemasaran, dan inovasi, sangat penting.
Koperasi Merah Putih seharusnya tidak hanya berfungsi sebagai saluran dana, tetapi juga harus berubah menjadi pusat pendidikan dan pengembangan usaha mikro yang berkelanjutan.
BACA JUGA:
- Dr Raden Stevanus Dukung Program Koperasi Merah Putih di Sektor Pariwisata DIY
- Tiga Sektor Ini jadi Pilar Penting dalam Menopang Perekonomian DIY
- Hadapi Dinamika Eksternal dan Internal, Kadin DIY dan ISEI Melaunching Komite Ketangguhan Ekonomi Yogyakarta
- Petakan Kondisi Inklusi Keuangan di Indonesia, OJK Luncurkan Indeks Akses Keuangan Daerah
Selain itu, keberhasilan Koperasi Merah Putih sangat tergantung pada kemampuannya untuk menjalin kerjasama dengan ekosistem pendukung lainnya, seperti lembaga pelatihan, penyedia infrastruktur, platform pemasaran digital, serta pemerintah daerah. Pendekatan terpisah, di mana koperasi bergerak sendiri tanpa integrasi dengan elemen-elemen lain, akan mengulangi kegagalan KUR.
Pencerahan penting yang disampaikan dalam tulisan ini adalah penguraian pemahaman yang terlalu sempit mengenai pemberdayaan ekonomi desa yang selama ini terfokus pada alokasi dana. Kegagalan dalam program Kredit Usaha Rakyat (KUR), yang meskipun memiliki niat baik, sering kali terjebak dalam pandangan bahwa “penyediaan dana adalah solusi utama,” menjadi pelajaran yang sangat berharga. KUR, dengan fokus yang sempit pada pemerolehan dana, secara tidak langsung mengabaikan kompleksitas berbagai faktor lain yang justru merupakan kunci keberlangsungan dan dampak nyata dari pemberdayaan.
Tulisan ini ingin mengarahkan perhatian kita pada sudut pandang yang lebih menyeluruh dan terintegrasi. Pemberdayaan ekonomi desa lebih dari sekadar memberikan karunia, tetapi lebih kepada menciptakan ekosistem yang memungkinkan komunitas untuk menangkap ikan dan menjual hasilnya secara berkelanjutan.
Ekosistem ini melibatkan pendampingan yang terus-menerus dan sesuai konteks lokal, akses pasar yang adil dan terbuka bagi produk dan jasa desa, infrastruktur yang memadai untuk mendukung kegiatan ekonomi (seperti transportasi, komunikasi, dan energi), serta penghargaan terhadap aspek sosial budaya yang memengaruhi dinamika ekonomi masyarakat.
Pendampingan tidak hanya terbatas pada pengelolaan keuangan, tetapi juga meliputi peningkatan keterampilan dalam produksi, inovasi produk, strategi pemasaran dan penyesuaian terhadap perubahan pasar. Akses pasar yang adil berkontribusi pada penghapusan praktik eksploitasi dan menciptakan rantai nilai yang menguntungkan para produsen di tingkat desa. Infrastruktur yang baik membuka kesempatan untuk konektivitas dan efisiensi dalam proses produksi dan distribusi.
Terakhir, pemahaman terhadap aspek sosial budaya memastikan bahwa program pemberdayaan sejalan dengan nilai dan kearifan lokal, yang pada gilirannya meningkatkan partisipasi dan keberlangsungan. Dengan mengedepankan kelemahan KUR yang hanya berorientasi pada modal, penulis secara tidak langsung menyerukan perubahan cara pandang dalam merancang program pemberdayaan.
Alih-alih memanfaatkan pendekatan yang linier dan menyederhanakan masalah, diperlukan visi yang menyeluruh dan terkoordinasi yang memahami saling ketergantungan berbagai faktor dalam mencapai kesejahteraan ekonomi yang berkesinambungan di level desa.
Pemberdayaan yang sebenarnya tidak hanya tentang memberikan ikan untuk sesaat, tapi juga tentang menciptakan kolam yang sehat dan mengajarkan cara memeliharanya secara mandiri. (*)
There is no ads to display, Please add some