BRICS: Berisikkan Barat, Menggoda Indonesia

Oleh: Jonathan Ersten Herawan

beritabernas.com – Kunjungan kerja Presiden Joko Widodo kali ini ke Afrika Selatan menjadi hal yang sangat menarik, karena dilakukan berdekatan dengan mome KTT BRICS yang digelar 22 Agustus 2023. Kehadiran Presiden Joko Widodo sebagai menjadi tamu undangan dalam KTT BRICS tersebut dianggap menarik, karena posisi Indonesia saat ini sangat strategis di antara negara berkembang.

Posisi Indonesia yang kembali menjadi Upper Middke Income Country atau negara berpenghasilan atas dengan rentang GNI per kapita sebesar US$4.046-US$12.535 (World Bank, 2023) walaupun di tengah berbagai ketidakpastian yang terjadi. Tidak banyak negara kelas menengah yang berhasil menuju negara menengah berpendapatan atas, bahkan sebesar 70% populasi dunia tinggal di negara berpenghasilan menengah.

Karena itu, bukan hal yang tidak mungkin Indonesia dapat bergabung dalam keanggotaan BRICS karena negara yang tergabung di dalamnya yakni Brasil, Rusia, India, China dan Afirika Selatan sudah menjadi negara berkembang yang berhasil masuk negara berpenghasilan atas.

BRICS dianggap menjadi kerja sama yang menarik karena berbagai kemajuan yang telah dibuat dan diberikan oleh negara anggotanya. Dalam KTT yang digelar, Presiden Vladimir Putin mengatakan bahwa proses dedolarisasi yang dilakukan telah membuahkan hasil yakni pemakaiannya dapat ditekan menuju 28,7%. Bahkan dalam 10 tahun terakhir, PDB negara BRICS tumbuh sebesar 11,98% dari 28,28% pada tahun 2012 menjadi 31,67% pada tahun 2022 disaat PDB negara anggota G7 menyusut sebesar 7,65% dari 32,82% pada tahun 2012 menjadi 30,31% pada tahun 2022 (Eagle, 2023).

BACA JUGA:

Berbagai prestasi tersebut membuat 40 negara saat ini tertarik dan siap bergabung ke dalam BRICS (Reuters, 2023). Pertanyaannya, bagaimana posisi Indonesia?

Dalam Global Competitiveness Report didapatkan hasil bahwa daya saing Indonesia dibandingkan dengan BRICS dapat memberikan kesejahteraan pada masyarakat anggotanya (Schwab, 2008). Menurut Jerry Sambuga selaku Wakil Menteri Perdagangan RI, apabila Indonesia bergabung ke dalam BRICS maka terbuka peluang untuk dapat melakukan ekspansi pasar ke negara di Benua Afrika dan Negara di Amerika Latin bahkan Presiden Joko Widodo pun mengatakan akan mempertimbangkan keanggotaan Indonesia dalam BRICS.

Sebagai catatan dari penulis mengenai “peluang” Indonesia bergabung ke dalam BRICS adalah komposisi penduduk negara anggota BRICS yang mencakup 43% menjadikan peluang baik dimana negara G7 hanya sebesar 10%. Bonus demografi yang masih dialami oleh negara anggota BRICS akan menjadi peluang orientasi perdagangan Indonesia yang berfokus dari “kualitas” (pasar tradisional) ke berbasis kuantitas (pasar non-tradisional).

Apabila keseriusan ini terjadi maka, pertama, berbagai upaya negara Barat terutama Uni Eropa dalam UU Deforestasi yang akan mengganggu beberapa komoditas pertanian Indonesia dan Inflation Reduction Act yang diinisasi oleh kongres Amerika Serikat dapat diantisipasi.

Kedua, nilai perdagangan negara Anggota BRICS yang sebesar 16% perdagangan global juga harus dijadikan pertimbangan karena peluang kerja sama dan kolaborasi dan didukung masyarakat yang produktif di negara anggota BRICS maka angka ini masih dapat tumbuh. Ketiga, berbagai tindakan semena-mena negara barat kepada negara berkembang seperti pemutusan SWIFT dari Rusia sebagai “sanksi” menjadi ancaman bahwa suatu saat dapat terjadi hal serupa dengan Indonesia apabila dianggap melanggar “keinginan” dan “kepentingan” Barat.

Keempat, dengan bergabungnya Indonesia ke dalam BRICS menunjukkan peran Indonesia untuk dapat  menyeimbangkan kekuatan negara maju dan negara barat dan dinilai sesuai dengan politik bebas aktif terutama Indonesia juga penggagas Konferensi Asia Afrika sehingga akan memudahkan langkah Indonesia untuk dapat bergabung ke BRICS dan melakukan kerja sama yang lebih “eksklusif”.

Namun, terdapat juga kelemahan apabila Indonesia bergabung ke dalam BRICS yakni akan ada “jarak” antara Indonesia dengan negara barat yang selama ini telah menjadi mitra baik dan kemungkinan dicabutnya berbagai relaksasi insentif negara barat kepada Indonesia.

Kelemahan selalu ada dalam berbagai keputusan yang ditempuh namun Indonesia harus menunjukkan dirinya yang bukan sebagai follower tetapi harus menjadi pemain dalam kancah internasional. Sebagai bentuk kebanggaan sebagai negara maju sudah waktunya Indonesia tidak bergantung pada insentif yang diberikan negara-negara barat.

Mari kita tunggu, upaya apa yang akan dilakukan pemerintah dan apakah Indonesia akan memposisikan diri sebagai “pemain” dalam panggung internasional atau tetap bertahan dengan menjadi “pengikut” dalam panggung internasional. Rasanya, Politik Bebas Aktif bukan artinya “netral” namun menjadi “pemain kunci” dan mencari kawan sebanyak-banyaknya apalagi bila memberikan keuntungan bagi bangsa dan negara. (Jonathan Ersten Herawan, Asisten Peneliti dan Alumnus Prodi Ekonomi Pembangunan FBE UAJY)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *