Demokrasi Pancasila: Menafsirkan Kembali Ideologi Negara di Era Kontemporer

Oleh: Dionisius Hargen

beritabernas.com – Dalam lanskap politik kontemporer Indonesia, diskursus mengenai Demokrasi Pancasila sebagai ideologi negara terus mengalami dinamika yang signifikan. Sebagai fondasi filosofis dan ideologis bangsa, Pancasila telah menjadi kompas moral dan politis yang mengarahkan perjalanan bangsa Indonesia sejak kemerdekaan.

Namun, di tengah arus globalisasi, digitalisasi dan kompleksitas tantangan sosio-politik yang semakin meningkat, urgensi untuk menafsirkan kembali dan mengkontekstualisasikan Demokrasi Pancasila menjadi semakin mendesak.

Demokrasi Pancasila, sebagai manifestasi dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, pada hakikatnya merupakan sistem demokrasi yang berlandaskan pada prinsip-prinsip Pancasila. Sistem ini tidak hanya mengadopsi elemen-elemen universal demokrasi seperti kedaulatan rakyat, kebebasan berpendapat dan pemilihan umum yang bebas dan adil, tetapi juga mengintegrasikan nilai-nilai khas Indonesia yang tercermin dalam sila-sila Pancasila. Keunikan inilah yang membedakan Demokrasi Pancasila dari model-model demokrasi lainnya, sekaligus menjadikannya tantangan tersendiri dalam implementasinya di era kontemporer.

Salah satu aspek krusial dalam menafsirkan kembali Demokrasi Pancasila adalah memahami relevansinya dalam konteks masyarakat Indonesia yang semakin plural dan terhubung secara global. Latif (2011) dalam karyanya Negara Paripurna menegaskan bahwa Pancasila harus dipahami sebagai ideologi yang terbuka dan dinamis, mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman tanpa kehilangan esensinya. Interpretasi yang kaku dan dogmatis terhadap Pancasila justru akan kontraproduktif dengan semangat demokrasi itu sendiri.

BACA JUGA:

Dalam era digital dan informasi, tantangan terhadap implementasi Demokrasi Pancasila semakin kompleks. Fenomena post-truth, disinformasi dan polarisasi politik yang dipercepat oleh media sosial menjadi ujian berat bagi keutuhan dan kohesi sosial bangsa. Nugroho dan Syarief (2012) dalam studinya tentang demokrasi digital di Indonesia mengemukakan bahwa teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah lanskap politik secara fundamental, menciptakan ruang publik virtual yang memerlukan pendekatan baru dalam memaknai dan mempraktikkan Demokrasi Pancasila.

Aspek lain yang perlu diperhatikan dalam kontekstualisasi Demokrasi Pancasila adalah dimensi ekonomi-politik. Hadiz (2016) dalam analisisnya tentang politik oligarki di Indonesia pasca-Reformasi menunjukkan bahwa meskipun secara formal Indonesia telah mengadopsi sistem demokrasi, praktik politik masih didominasi oleh segelintir elit ekonomi dan politik. Fenomena ini menantang prinsip keadilan sosial yang menjadi salah satu pilar Pancasila, sekaligus mempertanyakan efektivitas sistem demokrasi yang ada dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Dalam konteks hubungan internasional dan geopolitik, penafsiran kembali Demokrasi Pancasila juga harus mempertimbangkan posisi Indonesia dalam tatanan global yang semakin multipolar. Konsep politik luar negeri bebas aktif yang merupakan derivasi dari prinsip Pancasila perlu direinterpretasi untuk merespons dinamika global kontemporer. Sukma (2015) berpendapat bahwa Indonesia perlu mengambil peran yang lebih proaktif dalam diplomasi internasional, dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip Pancasila sebagai panduan moral dan etika dalam hubungan antarnegara.

Salah satu tantangan utama dalam menafsirkan kembali Demokrasi Pancasila adalah menjembatani kesenjangan antara idealisme konstitusional dengan realitas empiris. Asshiddiqie (2010) menekankan pentingnya konstitusionalisme dalam memperkuat demokrasi Indonesia, namun juga mengakui adanya gap antara norma konstitusional dengan praktik politik sehari-hari. Menafsirkan kembali Demokrasi Pancasila, dengan demikian, juga berarti memperkuat mekanisme checks and balances serta supremasi hukum sebagai manifestasi dari sila keempat Pancasila.

Dalam aspek sosio-kultural, penafsiran kontemporer terhadap Demokrasi Pancasila harus pula mempertimbangkan dinamika identitas dan multikulturalisme di Indonesia. Hefner (2018) dalam studinya tentang demokrasi dan Islam di Indonesia menunjukkan bahwa salah satu kekuatan Demokrasi Pancasila adalah kemampuannya untuk mengakomodasi keragaman religiusitas dalam bingkai negara kesatuan. Namun, tantangan intoleransi dan radikalisme yang muncul belakangan ini menuntut adanya reinterpretasi yang lebih inklusif dan progresif terhadap prinsip “Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam konteks negara yang beragam.

Aspek lain yang tidak kalah penting dalam menafsirkan kembali Demokrasi Pancasila adalah dimensi lingkungan dan pembangunan berkelanjutan. Prinsip keadilan sosial dalam Pancasila harus diperluas maknanya untuk mencakup keadilan antargenerasi dan keseimbangan ekologis. Fauzi dan Oxtavianus (2014) dalam kajiannya tentang ekonomi hijau di Indonesia menyoroti pentingnya mengintegrasikan aspek keberlanjutan lingkungan dalam kebijakan pembangunan nasional sebagai manifestasi dari nilai-nilai Pancasila.

Dalam ranah pendidikan dan pembentukan karakter bangsa, penafsiran kontemporer terhadap Demokrasi Pancasila juga memerlukan pendekatan yang lebih inovatif dan partisipatif. Suyato et al. (2019) menekankan pentingnya revitalisasi pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan yang tidak hanya berfokus pada aspek kognitif, tetapi juga memperkuat dimensi afektif dan psikomotorik. Hal ini penting untuk memastikan bahwa generasi muda Indonesia tidak hanya memahami Pancasila secara konseptual, tetapi juga mampu menginternalisasi dan mengaktualisasikan nilai-nilainya dalam kehidupan sehari-hari.

Lebih jauh lagi, dalam konteks perkembangan teknologi dan Revolusi Industri 4.0, penafsiran Demokrasi Pancasila juga harus mempertimbangkan implikasi etis dan sosial dari kemajuan teknologi. Kecerdasan buatan, big data, dan otomatisasi membawa tantangan baru dalam hal privasi, keamanan siber, dan keadilan algoritma. Dalam hal ini, prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab dalam Pancasila harus diinterpretasikan untuk mencakup perlindungan hak-hak digital warga negara dan etika dalam pemanfaatan teknologi.

Menafsirkan kembali Demokrasi Pancasila di era kontemporer juga berarti mengkaji ulang mekanisme partisipasi publik dalam proses demokrasi. Era digital telah membuka peluang bagi bentuk-bentuk partisipasi politik yang lebih langsung dan interaktif. Namun, hal ini juga membawa risiko fragmentasi opini publik dan echo chamber yang dapat mengancam kohesi sosial. Diperlukan suatu kerangka baru dalam memahami dan mempraktikkan musyawarah mufakat yang merupakan salah satu esensi dari Demokrasi Pancasila, dengan memanfaatkan potensi teknologi digital secara bijak.

Dalam menghadapi tantangan-tantangan tersebut, penafsiran kontemporer terhadap Demokrasi Pancasila harus tetap berpegang pada prinsip-prinsip dasarnya, namun dengan pemahaman yang lebih kontekstual dan responsif terhadap dinamika global. Ini berarti mempertahankan nilai-nilai luhur Pancasila seperti religiusitas, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial, sambil terus mengembangkan interpretasi dan aplikasinya yang relevan dengan kondisi kekinian.

Kesimpulannya, menafsirkan kembali Demokrasi Pancasila di era kontemporer merupakan suatu keharusan sekaligus tantangan bagi bangsa Indonesia. Proses ini menuntut keterlibatan aktif dari seluruh elemen masyarakat, mulai dari akademisi, praktisi politik, aktivis sosial, hingga warga negara biasa. Hanya dengan pemahaman yang mendalam dan kontekstual terhadap Demokrasi Pancasila, Indonesia dapat menghadapi kompleksitas tantangan abad ke-21 tanpa kehilangan jati diri dan nilai-nilai luhurnya.

Demokrasi Pancasila, dengan demikian, bukan sekadar warisan sejarah yang statis, melainkan ideologi hidup yang terus berevolusi, menjadi panduan moral dan politik bagi bangsa Indonesia dalam mengarungi arus perubahan global yang tak terelakkan. (Dionisius Hargen, Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Respati Yogyakarta)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *