Oleh: Maria Sartiana Naus, Mahasiswi Universitas Cendikia Mitra Indonesia Yogyakarta
beritabernas.com – Dialektika nalar dalam ruang publik merupakan sebuah proses interaksi ide dan argumen yang terjadi secara terbuka dan melibatkan masyarakat luas. Dalam konteks ini, dialektika nalar berfungsi untuk menguji berbagai sudut pandang secara terbuka dan membangun argumen yang lebih kuat melalui dialog dan pendekatan yang sehat serta menjadi mekanisme penting yang mendorong terciptanya kebijakan nilai dan norma yang berlaku secara luas di tengah masyarakat.
Dialektika berasal dari kata Yunani dialektike yang berarti “seni berdiskusi” atau “berdialog”. Dialektika adalah metode atau proses untuk mencapai kebenaran melalui debat, diskusi, atau perbandingan argumen yang saling bertentangan.
Sedangkan nalar merupakan kemampuan berpikir logis dan rasional untuk memahami sesuatu gagasan dan sebagainya. Jadi dapat disimpulkan bahwa dialektika nalar merupakan proses berpikir kritis dan rasional dalam menghadapi berbagai argumen atau pandangan.
Dialektika nalardi ruang publik memiliki peran penting dalam menjaga kehidupan demokrasi yang sehat dan berfungsi sebagai jembatan bagi masyarakat untuk menemukan kesepahaman, terutama dalam menghadapi berbagai masalah sosial, politik dan budaya. Namun, dalam praktiknya konsep ideal ini seringkali sulit diwujudkan terutama dalam konteks ruang publik modern yang semakin dipengaruhi oleh teknologi, media sosial dan perubahan komunikasi masyarakat.
Ruang publik menurut filsuf Jurgen Habermas merupakan arena dimana individu-individu dapat berdiskusi secara bebas, merumuskan opini dan mempengaruhi kebijakan publik. Ruang publik ini mencakup media massa, platform digital, pertemuan publik dan bahkan institusi pendidikan.
Dalam ruang ini dialektika nalar menjadi proses penting yang memungkinkan terjadinya diskursus yang sehat, dimana berbagai ide dapat diuji melalui debat dan diskusi yang rasional. Di era digital ruang publik semakin terfragmentasi tetapi juga semakin luas. Media sosial, forum online dan platform diskusi virtual menjadi ruang publik baru yang memungkinkan dialektika nalar terjadi secara cepat dan melibatkan berbagai kalangan. Namun, kemudahan akses ini juga membawa tantangan seperti penyebaran disinformasi dan hoaks yang dapat menghambat proses dialektika yang sehat.
Pada prinsipnya dialektika nalar seharusnya menjadi fondasi dari diskusi publik yang produktif. Melalui diskusi terbuka yang melibatkan pertukaran argumen rasional, masyarakat dapat menemukan solusi yang lebih baik atas berbagai persoalan. Di sini setiap argumen atau gagasan diuji melalui perdebatan yang sehat dan didasarkan pada bukti bukan semata-mata emosi atau prasangka. Proses ini juga memungkinkan masyarakat untuk lebih menjadi kritis terhadap kebijakan pemerintah, keputusan politik, dan sebagainya.
Dalam konteks demokrasi, dialektika nalar merupakan kunci dalam memastikan bahwa berbagai kepentingan masyarakat terwakili dengan adil bahwa suara minoritas didengar dan bahwa keputusan yang diambil didasarkan pada pertimbangan yang matang. Dengan kata lain, dialektika nalar membantu memastikan bahwa demokrasi tidak sekadar mayoritanisme melainkan juga menempatkan rasionalitas dan kebenaran sebagai nilai utama.
Dalam konteks demokrasi dialektika nalar di ruang publik menjadi sangat krusial. Demokrasi modern menuntut partisipasi aktif dari masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Dialektika memungkinkan warga negara untuk berdebat dan mendiskusikan isu-isu penting secara rasional serta menyusun argumen berdasarkan bukti dan fakta. Hal ini dapat membantu dalam menciptakan kebijakan yang lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
Ketika dialektika dijalankan dengan baik masyarakat dapat menjadi lebih kritis dan peka terhadap kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Sebaliknya, ketika nalar publik terpengaruh oleh informasi yang salah, maka ruang publik dapat menjadi arena konflik dimana argumen tidak lagi didasarkan pada kebenaran dan rasionalitas.
Namun kenyataannya di lapangan menunjukkan bahwa ruang publik seringkali tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Teknologi digital dan media sosial yang pada awalnya diharapkan dapat memperluas ruang publik dan memperkuat partisipasi masyarakat, justru kerap memperparah polarisasinya.
Meskipun dialektika nalar memiliki potensi besar dalam membangun masyarakat yang lebih rasional dan demokratis, ternyata masih ada sejumlah tantangan yang harus dihadapi terutama di era digital saat ini. Mulai dari masalah disinformasi dan berita palsu (hoaks) yang dimana dunia maya mengaburkan batas opini dan fakta sehingga sulit bagi masyarakat untuk mendasarkan diskusi mereka pada kebenaran atau fakta.
Selain itu, banyak platform publik yang seharusnya menjadi tempat berdiskusi, tapi malah berubah menjadi arena untuk menyebarkan kebencian atau mempolarisasi masyarakat serta menghambat terciptanya dialog yang rasional.
Literasi media
Salah satu solusi yang ditawarkan untuk mengatasi masalah ini adalah peningkatan literasi media dan informasi. Masyarakat perlu dilatih untuk berpikir kritis dan mampu memeriksa fakta. Literasi semacam ini tidak hanya penting bagi individu tatapi juga untuk menjaga kesehatan diruang publik secara keseluruhan. Tanpa masyarakat yang kritis serta mampu mengolah informasi dengan benar, maka dialektika nalar akan sulit berkembang.
BACA JUGA TULISAN LAINNYA:
- Peran Media Dalam Pendidikan Karakter
- Kampus Sebagai Laboratorium Pembentukan Wawasan Generasi Muda
- Nasib Bahasa Indonesia di Ruang Publik
Selain itu, etika dalam berdiskusi juga harus dihidupkan kembali. Di era dimana komentar di media sosial seringkali bernada agresif dan tidak menghargai perbedaan. Maka dari itu, sangat penting bagi masyarakat untuk kembali pada prinsip-prinsip diskusi yang sehat. Misalnya menghargai serta menghormati argumen lawan, mendengarkan dengan baik, dan berfokus pada substansi daripada serangan personal.
Dengan diskusi yang kuat, dialektika nalar diruang publik akan memiliki ruang yang lebih baik untuk tumbuh dan berkembang. Pemerintah dan lembaga publik juga harus berperan aktif dalam menjaga ruang publik yang sehat. Mereka harus memastikan bahwa informasi yang disampaikan kepada masyarakat dapat dipercaya.
Selain itu, mereka juga perlu mendorong terciptanya ruang-ruamg diskusi yang inklusif dan bebas dari pengaruh kelompok-kelompok tertentu yang bertujuan menyebarkan disinformasi atau menabur kebencian. Pemerintah tidak hanya berperan sebagai regulator tetap juga sebagai fasilitator bagi dialektika nalar yang sehat. Meskipun tatangan yang besar, saya optimis bahwa dialektika nalar diruang publik masih memiliki peluang untuk berkembang terutama jika didukung oleh kesadaran kolektif tentang pentingnya diskusi rasional.
Dengan adanya pendidikan yang tepat serta kesadaran bersama tentang pentingnya menjaga ruang publik yang inklusif dan sehat, masyarakat dapat kembali memanfaatkan dialektika nalar sebagai alat untuk memperkuat demokrasi. Namun, ini membutuhkan usaha yang tidak hanya datang dari masyarakat tetapi juga dari pemerintah, media, dan institusi pendidikan. Jika kita bisa menciptakan ruang publik yang mendukung pertukaran ide secara rasional yang kuat untuk menghadapi tantangan-tantangan sosial dan politik di masa depan.
Dari semua pandangan dan pendapat di atas dapat disimpulkan dialektika nalar merupakan pilar penting dalam menjaga demokrasi yang sehat dan dinamis. Namun, dalam era digital saat ini tantangan terhadap dialektika nalar semakin kompleks mulai dari polarisasi media sosial hingga disinformasi. Meskipun demikian, dengan literasi yang tepat etika diskusi yang dijunjung tinggi dan peran aktif pemerintah kita masih dapat membangun ruang publik yang mendukung diskusi rasional.
Harapan saya masyarakat kita semakin menyadari pentingnya menjaga nalar publik dan memperkuat diskusi yang sehat demi kebaikan bersama. (*)
There is no ads to display, Please add some